Cari Blog Ini

Rabu, 25 Agustus 2010

NALAR HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Oleh: Mahsun Mahfudh, M.Ag.
A.    Otoritas Lajnah Bahsul Masāil dalam Penetapan Hukum
1.      Antropologi Lajnah Bahsul Masāil
Menelisik antropologi Lajnah Bahsul Masāil (dalam penyebutan selanjutnya penulis menggunakan akronim LBM) sama halnya menelursuri asal-usul sebuah pemikiran yang membutuhkan upaya serius menghubungkan antara pemikiran tersebut dengan ruang dan waktu serta masyarakat dan miliu yang melingkupinya. Sejarah telah membuktikan bahwa tidak satupun sebuah pemikiran muncul dari ruang kosong budaya yang terkonstruksi oleh sebuah komunitas sosial. Demikian halnya LBM  sebagai wahana untuk meretas pemikiran ulama NU sebagai respon terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat baik yang bersifat kasuistik (al-masāil al-wāqi'yyah), maupun yang bersifat pengembangan pemikiran (al-masāil al-ittirādiyyah). Dalam rentang sejarah perjalanannya, tentu LBM tidak terlepas dari pengaruh situasi dan kondisi yang ada dan sekaligus mewarnai corak dan tampilannya serta keragaman produk hukum yang dihasilkannya.
Di depan telah dijelaskan bahwa LBM adalah sebuah forum pengkajian hukum Islam milik NU yang berfungsi untuk melakukan kajian-kajian seputar masalah-masalah keagamaan secara kasuistik maupun secara tematik. Merunut asal-usul LBM NU memang bukan suatu hal yang mudah karena masih minimnya dokumen-dokumen yang menginformasikan tentang kelahiran dan perkembangan LBM baik latar belakang, metode, obyek maupun pelaku sejarahnya. Hal ini karena budaya warga NU saat itu cenderung pragmatis dalam arti lebih mementingkan hasil keputusan LBM, dari pada mencatat dan mendokumentasikan latar belakang, perdebatan yang muncul dan tokoh yang berperan dalam forum tersebut, sehingga sampai sekarang tidak diketemukan dokumen-dokumennya kecuali kumpulan hasil keputusan LBM.
Satu-satunya cara untuk mengkonstruksi latar belakang berdirinya LBM menurut hemat penulis adalah dengan mengambil bahan baku berupa Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU. Di sana ditegaskan bahwa adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam praktis (fiqh) bagi kehidupan sehari-hari mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari solusinya dengan melakukan kegiatan kajian-kajian terkait dengan masalah yang muncul melalui kajian yang dilakukan dalam sebuah forum diskusi yang disebut bahsul masāil (kajian berbagai masalah). Kegiatan seperti ini sesungguhnya telah dimulai oleh para pendahulu NU sejak kongres kali pertama beberapa bulan setelah berdirinya NU pada 1926.[1] Pada waktu itu kegiatan kajian tentang masalah-masalah yang diajukan ke forum dibahas secara seksama oleh sebuah kelompok yang dimandatkan secara khusus untuk itu dan di bawah kendali organisasi NU sebagai induknya, belum muncul institusi LBM.
Adapun LBM secara institusional baru berdiri pada Muktamar XXVIII di Yogyakarta 1989. Ketika itu Komisi I (Bahsul Masāil) merekomendasikan kepada Pengurus Besar NU untuk membentuk Lajnah Bahsul Masāil ad-Diniyyah (lembaga kajian masalah-masalah keagamaan) sebagai lembaga permanent yang khusus menangani persoalan-persoalan keagamaan. Rekomendasi tersebut kemudian didukung oleh forum halaqah (sarasehan) pada tanggal 26-28 Januari 1990 bertempat di Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar, Jombang, Jawa Timur yang juga merekomendasikan terbentuknya lembaga tersebut dengan harapan dapat menghimpun para ulama dan intelektual NU untuk melakukan ikhtiyar istinbat jama'i (penggalian dan penetapan hukum secara kolektif). Kemudian pada tahun 1990 M. terbentuklah sebuah institusi yang bernama Lajnah Bahsul Masāil ad-Diniyyah tersebut berdasarkan Surat Keputusan PBNU Nomor 30/A.I.05/5/1990.[2] Institusi tersebut bertugas mengkoordinasikan kegiatan kajian-kajian seputar masalah-masalah keagamaan yang bersifat fiqih. Kegiatannya meliputi pengumpulan masalah dari warga sampai dengan menyelenggarakan forum kajian untuk membahas masalah-masalah yang telah diinventarisasi sebelumnya.
Bahsul masāil ad-dīniyyah tingkat nasional diselenggarakan bersamaan dengan Kongres (istilah sekarang lazim disebut Muktamar),[3] Konfrensi Besar disingkat KONBES, Rapat Dewan Partai (ketika NU menjadi partai politik) atau Musyawarah Nasional disingkat MUNAS Alim-ulama. Pada kurun waktu 1926 sampai dengan 1940 kegiatan bahsul masāil ad-dīniyyah dilaksanakan sekali dalam setiap tahun pada muktamar I sampai dengan Muktamar XV. Pada saat meletus perang dunia II, pelaksanaan kegiatan tersebut mengalami ketidakstabilan mengiringi tersendatnya Muktamar, seperti Muktamar XVI dan XVII (1946-1947), Muktamar XVIII dan XIX (1950-1951), Muktamar XX dan XXI (1954 dan 1956). Demikian juga kegiatan bahsul masāil ad-dīniyyah yang menyertai Konfrensi Besar, Rapat Dewan Partai maupun Musyawarah Nasional Alim-ulama terselenggara kurang stabil selama kurun waktu 1957 sampai dengan 1979. Selama periode tersebut kegiatan bahsul masāil ad-dīniyyah hanya terlaksana sebanyak delapan kali. Selanjutnya pada dekade 1980-an dan 1990-an kegiatan tersebut baru dapat berlangsung secara periodik sekali dalam kurun 2-3 tahun secara bergantian antara Muktamar, Munas dan Konfrensi Besar.
Sejak tahun 1926 sampai dengan 2004[4] LBM telah memutus 436 masalah keagamaan kasuistik-praktis dan 20 masalah keagamaan tematik-teoritis.  Muktamar I di Surabaya pada tanggal 13 Rabius Tsani 1345 H / 21 Oktober 1926 M memutus 27 masalah, Muktamar II di Surabaya pada tanggal 12 Rabius Tsani 1346 H. / 9 Oktober 1927 M memutus 9 masalah, Muktamar III di Surabaya pada tanggal 12 Rabius Tsani 1347 H. / 28 September 1928 M. memutus 22 masalah, Muktamar IV di Semarang pada tanggal 14 Rabius Tsani 1348 H. / 19 September 1929 M. memutus 26 masalah, Muktamar V di Pekalongan pada tanggal 13 Rabius Tsani 1349 H. / 7 September 1930 M. memutus 23 masalah, Muktamar VI di Pekalongan tanggal 22 Rabius Tsani 1350 H. / 27 Agustus 1931 M. memutus 11 masalah, Muktamar VII di Bandung pada tanggal 13 Rabius Tsani 1351 H. / 9 Agustus 1932 M. memutus 11 masalah, Muktamar VIII di Jakarta pada tanggal 12 Muharram 1352 H. / 7 Mei 1933 M. memutus 15 masalah, Muktamar IX di Banyuwangi pada tanggal 8 Muharram 1353 H. / 23 April 1934 M. memutus 12 masalah,  Muktamar X di Surakarta pada tanggal 10 Muharram 1354 H. /  5 April 1935 M. memutus 25 masalah, Muktamar XI di Banjarmasin pada tanggal 19 Rabiul Awal 1355 H. / 9 Juni 1936 M. memutus 15 masalah, Muktamar XII di Malang pada tanggal 12 Rabius Tsani 1356 H. / 25 Maret 1937 M. memutus 18 masalah, Muktamar XIII di Menes Banten pada tanggal 13 Rabius Tsani 1357 H. / 12 Juli 1938 M. memutus 22 masalah, Muktamar XIV di Magelang pada tanggal 14 Jumadil Ula 1358 H. / 1 Juli 1939 M. memutus  21 masalah, Muktamar XV di Surabaya 10 Dzul Hijjah 1359 H. / 9 Pebruari 1940 M. memutus  13 masalah. Muktamar XVI di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946 M. memutus 5 masalah, Muktamar XX di Surabaya tanggal 10-15 Muharram 1374 H. / 8-13 September 1954 M. memutus 5 masalah, Konfrensi Besar Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama di Surabaya tanggal 16-17 Sya’ban 1376 H. / 19 Maret 1957 M. memutus 2 masalah, Konfrensi Besar Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama di Jakarta 21-25 Syawal 1379 H. / 18-22 April 1960 M. memutus 19 masalah, Konfrensi Besar Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama di Jakarta 1-3 Jumadil Ula 1381 H. / 11-13 Oktober 1961 M. memutus 7 masalah, Rapat dewan partai NU di Salatiga tanggal 25 Oktober 1961 M. memutus 1 masalah tentang perempuan mencalonkan diri menjadi kepala desa, Muktamar Nahdlatul Ulama XXIII di Solo tanggal 29 Rojab – 3 Sya’ban 1381 H. / 25-29 Desember 1962 M. memutus 6 masalah, Muktamar Nahdlatul Ulama XXV di Surabaya tanggal 20-25 Desember 1971 M. memutus 8 Masalah, Muktamar Nahdlatul Ulama XXVI di Semarang tanggal 10-16 Rojab 1399 H. / 5-11 Juni 1979 M. memutus 6 masalah, Munas Alim Ulama di Kaliurang Yogyakarta tanggal 30 Syawal 1401 H. / 30 Agustus 1981 . memutus 11 masalah, Munas Alim Ulama di Sukorejo Situbondo tanggal 6 Rabiul Awal 1404 H. / 21 Desember 1983 M. memutus 6 masalah, Muktamar Nahdlatul Ulama XXVII di Situbondo 8-12 Desember 1984 M. memutus 16 masalah, Munas Alim Ulama di Kesugihan Cilacap 23-26 Rabiul Awal 1408 H. / 15-18 Nopember 1987 M. memutus 8 masalah, Muktamar Nahdlatul Ulama XXVIII d Muktamar Nahdlatul Ulama di Pndok Pesantren Krapayak Yogyakarta 26-29 Rabiul Akhir 1410 H. / 25-28 Nopember 1989 M. memutus 23 masalah, Munas Alim Ulama di Bandar Lampung 16-20 Rajab 1412 H. / 21-25 Januari 1992 M. memutus 1 masalah penting yaitu tentang sistem pengambilan keputusan hukum dalam Bahsul Masail di lingkungan NU. Pada saat inilah dunia pemikiran di kalangan NU telah mengalami kejuan yang signifikan karena melelui Munas ini dapat disepakati tentang metode bermazhab secara manhaji (metodologi). Metode ini sebagai metode alternatif dari dua metode yang telah digunakan sebelumnya yakni metode qauli (tekstual) dan metode ilhaqi (analogi).
Selanjutnya pada Muktamar Nahdlatul Ulama XXIX di Cipasung Tasikmalaya tanggal 1 Rojab 1415 H. / 4 Desember 1994 M. memutus 9 masalah waqi’iyyah dan 3 masalah maudu’iyyah, Munas Alim Ulama di Pondok Pesantren Qomaeul Huda Bagu, Pringgarata Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat tanggal 16-20 Rojab 1418 H. / 17-20 Nopember 1997 M. memutus 13 masalah waqi’iyyah dan 4 masalah maudu’iyyah, Muktamar Nahdlatul Ulama XXX di Lirboyo Kediri Jawa Timur 21-27 Nopember 1999 M. memutus 10 masalah waqi’iyyah dan 6 masalah maudu’iyyah, Munas Alim Ulama di Pondok Gede Jakarta tanggal 14-17 Rabiul Akhir 1423 H. / 25-28 Juli 2002 M. memutus 5 masalah waqi’iyyah (kasuistik) dan 4 masalah muduiyyah siyasiyyah (tematik-teoritis-politik) kontemporer seperti masalah zakat profesi, Hutang Negara, hukuman bagi koruptor, dan money politik. Muktamar Nahdlatul Ulama XXXI di Asrama Haji Donohudan Boyolali Jawa Tengah 16-18 Syawal 1425 H. / 29 Nopember-1 Desember 2004 M. memutus 4 masalah waqi’iyyah (realistis-kasuistik) dan 3 masalah mauduiyyah (tematik-teoritis). -………
Kegiatan bahsul masail sesungguhnya tidak hanya dilakukan di tingkat Pengurus Besar NU tetapi juga dibudayakan di tingkat Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, dan Pengurus Majelis Wakil Cabang di tingkat kecamatan. Pelaksanaannya bervariasi tergantung kebutuhan dan kebijakan pengurus di tingkat masing-masing yang antara satu dengan lainnya tidak ada keharusan keterikatan secara hirarkis vertikal baik dalam menentukan frekuensi pelaksanaannya maupun teknik dan waktu pelaksanaannya dan bahkan hasil keputusan yang diambil. Pola kebijakan dalam forum ini mengarusutamakan tanggungjawab secara moral dan agama secara vertical, artinya dalam bahsul masail diupayakan memberikan jawaban hukum dengan sebenar-benarnya yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah dan secara horisontal, artinya masyarakat sebagai sasaran dakwah menjadi titik berat dalam forum kajian ini.
2.      Dominasi Fiqh Empat Mażhab dalam Bahsul Masāil
Dalam setiap kajian hukum Islam (fiqh) di NU, yang secara operasional pelaksanaannya dilaksanakan oleh LBM menggunakan pola bermazhab, yakni mengikuti salah satu dari empat mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali, baik secara qauliy (tektual) maupun manhajiy (metodologis). Menurut Kyai Hasyim Asy'ari, dengan mengikuti pola bermazhab akan mendapatkan kebaikan dan mashlahah yang tak terhitung bagi umat Islam. Sebab ajaran Islam tidak dapat difahami kecuali melalui pemindahan dan pengambilan hukum dengan cara tertentu yang disebut istinbāt al-ahkām. Pemindahan tidak akan benar dan murni kecuali dengan cara mentransformasikan ajaran secara langsung dari suatu generasi ke generasi selanjutnya.[5] Dalam konteks istinbāt al-ahkām, mazhab-mazhab sebelumnya harus dikenali agar tidak keluar dari pendapat ulama sebelumnya yang dapat menyebabkan keluar dari ijma'. Dalam Qanūn Asāsi (undang-undang dasar) NU juga disebutkan, barang siapa mengambil ilmu dengan tidak menyebut sanad (dengan kata lain tidak bermazhab), maka orang itu seperti pencuri.[6] Oleh karenanya ilmu yang di dapat dengan cara seperti itu disebut ilmu tanpa guru yang berkonsekuensi diragukan akan kebenaran dan validitasnya.
Pola bermazhab seperti ini di dasarkan pada beberapa alasan. Pertama, empat mazhab tersebut memiliki cara istinbāt al-ahkām yang hampir sama, yang masing-masing mempunyai validitas tersendiri serta tidak didapatkan dalam mazhab lainnya. Di luar mazhab empat tersebut, misalnya Sufyan Sauri, Daud al-Zahiri, al-Auza'i dan sebagainya, pendapat mereka dipandang kurang valide lantaran tidak memiliki sanad[7] yang dapat menghindarkan terjadinya perubahan dan pergantian. Kedua, mengikuti salah satu dari mazhab empat berarti mengikuti golongan terbesar atau mayoritas, seperti yang dianjurkan oleh nabi. Ketiga, empat mazhab tersebut dan empat imam ahli fikihnya memiliki kualifikasi keilmuan sebagai mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil.[8]
Ditilik dari aspek operasionalnya Ahmad Arifi menjelaskan tiga alasan mengapa penganut mazhab (termasuk NU) memegangi pemikiran mazhab mereka. Ketiga alasan itu adalah sebagai berikut:[9]
a)   Pemikran madzhab (terutama fiqih madzhab empat: Hanafi, Maliki Syafi’i, dan Hanbali) telah terkodifikasi (terhimpun) secara sistematis sehingga mudah mempelajarinya.
b)   Kredibilitas imam madzhab dan keandalan pemikirannya telah teruji oleh sejarah. Hal ini terbukti diikutinya para imam madzhab oleh sebagian besar umat Islam di seluruh dunia.
c)   Mengikuti pemikiran imam madzhab mempunyai nilai praktis dan pragmatis. Dengan mengacu dan mengikuti pemikiran madzhab tidak perlu bersusah-susah untuk memulai dari awal dalam mencari solusi dan menjawab permasalahan hukum yang dihadapi, apalagi ketika masalah tersebut menghendaki segera untuk diperoleh jawabannya.
Bermazhab bagi komunitas NU merupakan sebuah keniscayaan sebagai tradisi keilmuagamaan yang selalu dipegangi baik dalam tataran orang-perorang maupan dalam tataran organisasi NU. Tradisi keilmuagamaan yang dianut komunitas NU dengan mengikuti pola bermazhab seperti ini sesungguhnya telah dikemukakan secara terbuka oleh warga NU sendiri sejak permulaan berdirinya; adalah bertumpu pada pengertian tersendiri tentang apa yang oleh NU disebut aqidah ahlussunnah wal jama’ah.[10]
Selanjutnya aqidah tersebut diterjemahkan secara operasional dengan berpangkal pada tiga panutan yaitu mengikuti paham Abu Hasan al-Asy’ari[11] dan Abu Mansur al-Maturidi[12] dalam bertauhid (mengesakan Allah dan mengakui kerasulan Muhammad), mengikuti salah satu mazhab fiqih yang empat yang terkenal dengan sebutan al-mazāhib al-arba’ah (Hanafi,[13] Maliki,[14] Syafi’i,[15] dan Hanbali[16]), dan mengikuti cara yang ditetapkan dan dirumuskan al-Junaid al-Bagdadi[17] dan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali[18] dalam bertasawuf.[19]  Pengertian seperti ini dipertegas oleh al-Hāsyiah asy-Syanwani sebagaimana diukutib Syekh Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah wal jamaah.[20]
Berbeda dari pandangan kelompok seperti Muhammadiyah dan Persis (keduanya hanya menerima skolastisisme al-Asy’ari sebagai landasan “kesunnian” mereka), NU melalui doktrin Ahlussunnah wal jamaah-nya senagaja mengembangkan tradisi keilmuagamaan paripurna dan baku karena telah membagi siklus kehidupan para warganya dalam sejumlah lingkaran kegiatan atau bidang yang baku.[21]
Dalam berfiqih, NU sesungguhnya tidak hanya terbatas pada mengikuti pandangan empat imam mazhab besar tersebut tetapi juga pendapat ulama-ulama turunannnya yang telah mengembangkan tidak hanya literatur keputusan hukum agama dalam skala massif ( misalnya sebuah corpusmagnum berjudul al-Majmu’, komentar atas kitab al-Muhazzab, terdiri dari empat belas jilid dengan rata-rata 400 halaman perjilidnya), melainkan juga cara-cara untuk menyusun pemikiran hukum (legal maxim, qawaidul fiqh), menentukan bentuk akhir keputusan hukum yang akan diambil jika kondisinya dan persyaratan yang melatarbelakangi sesuatu masalah yang tadinya sudah diputuskan ternyata telah mengalami perubahan. Di sinilah terletak dinamika perkembangan hukum Islam melalui fiqh dapat dilakukan, walaupun dalam batasan-batasan yang tetap masih ketat karena harus tidak boleh keluar dari lingkup bermazhab.[22]
Inti dari tradisi keilmuagamaan yang dianut NU adalah perpautan organis antara tauhid, fiqh, dan tasawuf secara integral, yang dalam jangka panjang dapat menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrawi dari kehidupan. Yang paling disukai di lingkungan NU adalah ungkapan “Hidup dunia sangatlah penting kalau dijadikan persiapan untuk kebahagiaan di akhirat, dan akan kehilangan artinya jika tidak diperlakukan seperti itu”. Perpautan antara dimensi duniawi yang profane dan dimensi ukhrawi yang sakral dari kehidupan ini merupakan mekanisme kejiwaan yang lazim dan berkembang di kalangan warga NU untuk menghadapi tantangan sekularisme terang-terangan yang timbul dari proses modernisasi dan westernisasi.[23]
  Pada praktiknya NU mempunyai kecenderungan mengikuti mazhab Syafi'i secara lebih dominan dibanding tiga mazhab yang lain bahkan sering “tidak konsisten” karena menggunakan pegangan pendapat para ahli fikih "turunan" imam mazhab, tidak langsung dari sumberutamanya (pendapat imam mazhab). Hal itu terjadi karena keterbatasan refrensi di luar mazhab Syafi’i dan kebiasaan para pengkajinya yang mayoritas di lingkungan pesantren yang diasuh oleh para Kyai yang mengajarkan kitab-kitab syafi’iyyah seperti Fath al-Qarīb al-Mujīb, Fath al-Mu’īn, Fath al-Wahhāb, Qulyubi ibn ‘Amīrah, Tuhfah, dan sebagainya. Dalam mazhab Syafi'i misalnya, NU lebih sering menggunakan pendapat Imam Nawawi[24] atau Imam Rafi'i[25] dan para ulama syafi’iyyah lainnya seperti al-Muzani, [26] ar-Ramli,[27] ibn Hajar al-Haitami,[28] Zakariya al-Anshari[29] dan sebagainya dari pada pendapat Imam Syafi'i sendiri. Dengan kata lain, NU sebetulnya mengikuti pendapat "syafi'iyyah" ketimbang "Syafi'i". Hal itu tampak jelas terutama dalam kajian-kajian wāqi’iyyah, qānūniyyah, dan maudū’iyyah di forum-forum bahsul masāil yang merupakan forum ilmiah di lingkungan NU untuk membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum.[30]

B.     Sistem Pengambilan Keputusan Hukum
1.      Prosedur Pemecahan Masalah
Keputusan Bahsul Masāil di lingkungan Nahdlatul Ulama dibuat dalam kerangka bermazhab kepada salah satu mazhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qauliy dari pada bermazhab secara manhaji. Oleh karena itu, prosedur pemecahan masalah yang dibahas dalam forum tersebut sederhana dan praktis dengan langkah sebagai berikut:[31]
Pertama, dalam kasus ketika jawaban masalah bisa dicukupi oleh 'ibārah al-kitāb (ungkapan teks kitab rujukan) dan di sana terdapat hanya satu qaul/wajah (pendapat), maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam teks tersebut. Secara operasional prosedur pertama ini dilakukan dengan mencocokkan kasus yang hendak dicari jawaban hukumnya dengan arti teks fiqh secara tektual tanpa ada pertimbangan konteks situasi dan kondisi dimana teks itu muncul.
Kedua, dalam kasus ketika jawaban masalah bisa dicukupi oleh 'ibārah al-kitāb (ungkapan teks kitab rujukan) dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrīr jama'i (penetapan secara kolektif) untuk memilih satu qaul/wajah yang dianggap lebih valide. Perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih secara hirarkis sebagai berikut; 1)pendapat yang disepakati asy-Syaikhani (al-Nawawi dan Rofi’i), 2)pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi saja, 3) pendapat yang dipegang oleh Rafi’I saja, 4)pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama, 5)pendapat ulama yang terpandai, 6)pendapat ulama yang paling wara’.
Ketiga, dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama sekali yang dapat memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhāqul masāil bi naza'iriha[32](mempersamakan masalah-masalah dengan masalah-masalah lain yang mempunyai kemiripan) secara jama'i (kolektif) oleh para ahlinya. Prosedur yang ketiga ini dilakukan dengan mengikuti logika analogi dalam metode al-qiyās. Prosedur ini sering disebut sebagai metode “al-qiyās” khas Nahdlatul Ulama. Betapapun dinamisnya, metode ini masih belum beranjak dari kerikatan dengan teks fiqh tanpa mempertimbangkan konteks masing-masing masalah yang hendak dipersamakan hukumnya.
Keempat, dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhāqul masāil bi naza'iriha [33](mempersamakan masalah-masalah dengan masalah-masalah lain yang mempunyai kemiripan) secara jama'i (kolektif), maka bisa dilakukan istinbatjama'i[34](menggali hukum dari sumbernya secara kolektif) dengan prosedur bermazhab secara manhaji (metodologis) oleh para ahlinya. Metode ini secara operasional dilakukan dengan cara mengalisa masalah menggunakan perangkat metodologis teori-teori dalam uşūl fiqh dan qawāidul fiqhiyyah. Dari hirarki tersebut dapat dipahami bahwa arus utama prosedur yang digunakan oleh Lembaga Bahtsul Masail NU masih bersifat tekstual.
2.      Hirarki dan Sifat Keputusan
Ketetapan hukum yang dihasilkan di lingkungan Nahdlatul Ulama hanya bersifat sebagai fatwa yang diambil dalam rangka memberikan jawaban terhadap kasus yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan demikian tidak ada keharusan bagi setiap warga Nahdlatul Ulama  tunduk pada hasil keputusan hukum  tersebut. Begitu pula tidak ada tata urutan yang secara hirarki dapat membedakan dari segi  kekuatan hukum antara yang satu dengan yang lain. Hal ini dilatarbelakangi bahwa apa pun hasil keputusan hukum yang telah dihasilkan dalam bahsul masail (kajian masalah) baik dalam tingkatan Muktamar, Munas, Konfrensi, maupun yang lain adalah tidak ubahnya sebagai hasil ijtihad.[35]
Oleh karenanya seluruh keputusan bahsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam Munas 1992, baik diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajad dan tidak saling membatalkan.[36] Suatu hasil keputusan bahsul masail dianggap mempunyai kekuatan daya ikat (secara moral bagi warga NU) lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriah NU tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama maupun Muktamar.[37]Adapun sifat keputusan dalam bahsul masail tingkat Munas dan tingkat Muktamar adalah untuk mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan atau diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.[38]
Macam-macam bahsul masail dapat dipetakan dengan mengikuti ragam permusyawaratan organisasi yang meliputi empat tingkatan yakni (1)tingkat pusat/berskala nasional terdiri dari Muktamar, Musyawarah Nasional Alim-ulama, Konfrensi Besar; (2)tingkat wilayah/setingkat propinsi, permusyawaratan (termasuk bahsul masail) dilaksanakan dalam Konfrensi Wilayah; (3)tingkat cabang/kabupaten dan kecamatan bahsul masail dilakukan melalui forum Konfrensi Cabang (untuk tingkatcabang/kabupaten dan kotamadya), dan Konfrensi Majelis Wakil Cabang (untuk tingkat majelis wakil cabang/kecamatan); (4) tingkat desa pembahasan tentang masalah-masalah keagamaan dilaksanakan dalam forum Rapat Anggota.[39]
Muktamar diselenggarakan oleh Pengurus Besar setiap lima tahun sekali dan dihadiri oleh Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang di Seluruh Indonesia dan dihadiri juga oleh para alim-ulama serta undangan dari tenaga ahli yang berkompeten. Muktamar NU membahas persoalan-persoalan sosial dan keagamaan (wāqi’iyyah, maudūiyyah, dan qānūniyyah), program pengembangan NU, laporan pertanggungjawaban Pengurus Besar, menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta memilih pengurus baru.[40]
Musyawarah Nasional (Munas) Alim-ulama adalah permusyawaratan yang dihadiri oleh para alim-ulama diselenggarakan oleh Pengurus Besar Syuriah yang dipimpin oleh seorang Ra’is Am sebagai pimpinan tertinggi dalam organisasi NU, sebanyak-banyaknya satu kali dalam satu periode masa khidmah (pengabdian/5 tahun) Pengurus Besar. Pertemuan nasional tersebut diselenggarakan secara khusus untuk membahas masalah keagamaan. Munas Alim-ulama tidak dapat mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, keputusan-keputusan Muktamar, dan tidak dapat memilih pengurus baru.[41]  
Permusyawaratan lain yang setingkat dengan Munas Alim-ulama adalah Konfrensi Besar. Permusyawaratan ini diadakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (tingkat pusat) atau direkomendasikan oleh sekurang-kurangnya separoh dari jumlah Pengurus Wilayah (tingkat propinsi) yang sah dan merupakan instansi permusyawaratan tertinggi setelah Muktamar. Konfrensi ini dihadiri oleh Pengurus Wilayah untuk membicarakan, mengevaluasi dan monitoring pelaksanakan keputusan Muktamar, mengkaji perkembangan organisasi dan peranannya di masyarakat, serta membahas masalah-masalah sosial dan keagamaan baik yang bersifat wāqi’iyyah (kasuistik), maudūiyyah (tematik), maupun qānūniyyah (peraturan dan perundang-undangan). [42]
Adapun permusyawaratan yang lain di tingkat wilayah/propinsi, daerah/kabupaten dan kota madya, dan majelis wakil cabang/kecamatan secara berurutan bernama Konferesi Wilayah, Konferensi Cabang, dan Konferensi Majelis Wakil Cabang. Ketiga-tiganya digelar sekali dalam lima tahun, dihadiri oleh pengurus pada tingkat masing-masing dan pengurus satu tingkat di bawahnya, kecuali Konferensi Cabang yang diikuti oleh Pengurus Cabang, pengurus Wakil Cabang, dan Pengurus Ranting. Agenda utama yang dibahas dalam forum ini adalah disamping membahas tentang laporan pertanggungjawaban kerja dari pengurus lama, evaluasi keorganisasian, pemilihan pengurus baru termasuk program kerja dan tugas-tugas terkait, juga membahas masalah-masalah sosial dan keagamaan.[43]
Selain bentuk permusyawaratan tersebut masih terdapat bentuk permusyawaratan tingkat paling rendah. Permusyawaratan itu bernama Rapat Anggota; diselenggarakan oleh pengurus ranting sekurang-kurangnya setiap lima tahun sekali, untuk membahas laporan pertanggungjawaban pengurus serta membahas masalah-masalah sosial keagamaan.[44]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa forum bahsul masail diselenggarakan pada setiap event permusyawaratan dari tingkat Pengurus Besar sampai dengan tingkat Pengurus Ranting di desa-desa. Di luar event tersebut sesungguhnya Lembaga Bahsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) diberikan kelonggaran untuk menyelenggarakan kajian-kajian sosial keagamaaan secara rutin yang waktu, durasi, dan frekuensinya secara teknis dapat ditentukan oleh pengurus lembaga tersebut di bawah koordinasi pengurus NU pada tingkat masing-masing sesuai dengan kebutuhan.
Sebagaimana disebutkan di atas pola kekuatan hasil putusan masalah keagamaan dalam bahsul masail tidak mengikuti pola hirarki vertical tetapi horizontal, sehingga keputusan bahsul masail di tingkat  Pengurus Besar sekalipun secara normatif tidak bisa mengikat apalagi membatalkan pada keputusan bahsul masail di tingkat ranting. Masing-masing mempunyai pengaruh secara horizontal di tingkat masing-masing.
Pola seperti inilah yang pada perkembangannya menjadi sebuah budaya yang dapat memberikan ruang kebebasan bagi masyarakat NU untuk memberikan pendapat hukum terkait dengan persoalan yang muncul. Budaya tersebut di satu sisi memang positif karena dapat memunculkan egalitarianitas pendapat hukum karena keputusan hukum tidak harus ditentukan oleh institusi tertentu yang lebih tinggi dan bersifat absolute. Di sisi yang sama juga memunculkan dampak negatif karena kepastian hukum menjadi relatif artinya masyarakat dihadapkan pada alternatif-alternatif pendapat hukum yang beragam, sehingga terkesan sebuah keputusan hukum menjadi sebuah informasi biasa yang tidak punya daya ikat sama sekali. Akibatnya keputusan hukum yang dihasilkan dari forum tertinggi (tingkat muktamar) sekalipun misalnya, menjadi tidak dapat tersisialisasi dan terimplementasi dengan baik ketika ternyata bertentangan atau tidak disetujui oleh keputusan ditingkat paling rendah yakni pengurus ranting (para kyai “ndeso”) yang sesungguhnya merekalah yang berurusan langsung dengan masyarakat NU di bawah.

C.    Konstruksi Nalar F1iqh Nahdlatul Ulama
1.      Konstruksi Pemikiran Fiqh Lembaga Bahtsul Masail NU (LBMNU)
Membincang konstruksi pemikiran fiqh LBMNU sesungguhnya tidak terlepas dari tiga model pemikiran fiqh yang berkembang sepanjang rentang sejarah NU itu sendiri. Menurut Arifi dengan mengacu paradigma Thomas Kuhn dalam sebuah disertasinya menyimpulkan bahwa dinamika pemikiran fiqh NU mengerucut pada tiga kategori yaitu formalistik-tekstual, social-kontekstual, kritis-emansipatoris atau dikenal dengan nalar fiqh transformatif.[45]
  Pola pemikiran NU tidak bisa terlepas dari corak klasik dan pesantren centris bila ditinjau dari sumber rujukannya. Yang demikian itu dapat dimengerti karena secara riil basis NU  adalah pesantren, sebuah lembaga pendidikan yang melestarikan pengajaran kitab-kitab klasik yang mengikuti pola bermazhab. Oleh karenanya wajar jika dikatakan bahwa pesantren adalah NU kecil dan NU adalah pesantren besar karena tradisi-tradisi pesantren sangat dominan mempengaruhi NU baik dari sisi budaya berpikir, bersosialisasi dan sebagainya. Sebagaimana dikutib oleh Bibit Suprapto dalam sebuah buku tentang eksistensi, peran dan prospek NU, Abdurrahman Wahid  mengatakan bahwa NU adalah pesantren besar, kultur NU adalah kultur pesantren. Begitu juga maju dan mundurnya NU akan berbanding lurus dengan maju mundurnya pesantren itu sendiri dengan segala aspek yang terkait di dalamnya yakni ulamanya, pemikirannya dan tradisinya.[46]                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     
Sejalan dengan mayoritas ulamanya, NU secara organisasi mendasarkan paham keagamaannya pada empat sumber ajaran Islam, yakni Al-Qur’an, As-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas.  Sedangkan dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam dari sumber-sumbernya tersebut, NU tidak melakukannya secara langsung melalui ijtihad para ulamanya, melainkan dengan menggunakan pendekatan mazhab. Bagi ulama NU sebagaimana disebutkan dalam Qanūn Asāsi (Undang-undang Dasar) NU, bermazhab adalah pola keberagamaan yang tidak dapat dihindarkan.
Khusus dalam bidang fiqh, NU secara teoritis mengikuti salah satu di antara keempat mazhab fiqh yang terkenal (al-mażāhib al-arba’ah). Hal ini telah digariskan dalam pasal 2 Anggaran Dasar NU yang pertama yang lebih dikenal dengan sebutan statuten 1926.[47] Ketentuan pasal 2 ini diperkuat kembali dalam berbagai keputusan muktamar sampai dengan muktamar yang terakhir (ke-31) di Donohudan Solo Jawa Tengah.
Namun ketentuan mengikuti salah satu diantara keempat mazhab fiqh, (mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali) tersebut, belum sepenuhnya tercermin secara seimbang dalam  setiap pengambilan keputusan hukum Bahtsul Masa’il NU yang masih didominasi oleh pendapat dari mazhab Syafi’i. Hal ini tampak dalam teks-teks dasar yang dijadikan rujukan dalam seluruh atau kebanyakan fatwa NU msih didominasi kitab mazhab Syafi’i, seperti kitab Minhāj at-Tālibīn karya an-Nawawi, al-Muharrar karya al-Dimasyqi, Fath al-Mu’īn karya Syamsuddin al-Malibari, I’Ānah At-Tālibīn karya Sayyid Bakri al-Dimyati, Kanz ar-Rāgibīn karya Jalaluddin al-Mahalli, Syarh Kanz ar-Rāgibīn karya al-Qalyubi, Tuhfah al-Muhtāj karya Ibn Hajar al-Haitami, Mugnī al-Muhtāj karya Syarbini dan Nihāyah al-Muhtāj karya ar-Ramli.[48] 
Sistem pengambilan keputusan hukum dalam tradisi NU sebagaimana yang diputuskan oleh Munas Bandar Lampung tahun 1992 adalah sebagai berikut:[49] Keputusan bahtsul masa’il di lingkungan NU dibuat dalam rangka bermazhab kepada salah satu mazhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qauli dengan mengutamakan rujukan dari al-Kutub al-Mu’tabarah (kitab standard yang dianggap reliable).
Dalam ketentuan umum sebagaimana keputusan Munas Alim-ulama dan Konbes NU di Bandar Lampung tahun 1992 disebutkan penjelasan beberapa istilah tersebut di atas, diantaranya :[50]
1.      Yang dimaksud dengan al-Kutub al-Mu’tabarah yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah Ahlussunnah wal  Jama’ah (rumusan Muktamar NU ke- 27).
2.      Yang dimaksud dengan bermazhab secara qauli adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup madzhab tertentu.
3.      Yang dengan bermazhab secara manhaji adalah bermazhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam mazhab.
4.      Yang dimaksud dengan Istinbat adalah mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan qawa’id usuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah.
5.      Yang dimaksud dengan qauli adalah pendapat imam madzhab
6.      Yang dimaksud dengan Wajah adalah pendapat ulama madzhab.
7.      Yang dimaksud dengan Taqrir Jama’i adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul dan wajah.
8.      Yang dimaksud dengan (Ilhāq al-Masā’il binażā‘irihā) adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi. Metode  ini mirip dengan metode al-Qiyas, hanya saja sumber dari metode ilhaq bukan al-Qur’an dan assunnah melainkan kitab-kitab klasik.

Demikian juga Munas Alim-ulama NU di Bandar Lampung 1992 juga memutuskan tentang petunjuk pelaksanaan pengambilan keputusan dan prosedurnya meliputi sebagai berikut:
1.      Peosedur Pemilihan Qaul/ wajah
a.       Ketika dijumpai beberapa qaul/wajah (pendapat)dalam satu masalah yang sama, maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat.
b.      Pemilihan salah satu pendapat dilakukan dengan tata urutan sebagai berikut:[51]
1)      Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan/atau yang lebih kuat
2)      Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar NU ke-1 bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih:
a)      Pendapat yang disepakati oleh Asy-Syaikhan (An-Nawawi dan Rafi’i)
b)      Pendapat yang dipegangi oleh An-Nawawi saja
c)      Pendapat yang dipegangi oleh Rafi’i saja
d)     Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama
e)      Pendapat ulama terpandai
f)       Pendapat ulama yang paling wara’
2.       Prosedur Ilhaq
Dalam hal ketika suatu masalah/kasus belum dipecahkan dalam kitab, maka masalah/kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur Ilhāq al Masā’il binazā‘irihā (mempersamakan hukum suatu kasus yang belum ada ketentuan hukumnya dengan kasus yang mirip yang telah ada ketentuan hukumnya dalam kitab fiqh) secara jama’i (kolektif). Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq bih (kasus yang telah ada ketentuan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh), mulhaq ilaih (kasus yang hendak dicari hukumnya/dipersamakan hukumnya) oleh para mulhiq (ulama penggali hukum) yang ahli.
3.      Prosedur Istinbat
Dalam hal ketika tak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya mulhaq bih dan wajh al-ilhāq (sisi persamaannya) sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan istinbat secara jama’i, yaitu dengan mempraktekkan qawā’id usūliyyah dan qawā’id fiqhiyyah oleh para ahlinya.[52]

Dari paparan tersebut, dapat dikemukakan bahwa sistem pengambilan keputusan dalam Bahsul Masā’il Nahdlatul Ulama (BMNU) dirumuskan dalam tiga prosedur. Pertama, melalui apa yang disebut taqrīr jama’i (penetapan hukum secara kolektif). Melalui cara ini permasalahan dicarikan jawabannya dengan mengutip sumber fatwa dari kitab-kitab yang menjadi rujukan.
Cara taqrīr dengan demikian, hanyalah menetapkan saja apa yang sudah ada. Hal ini dilatarbelakangi oleh suatu pandangan yang diyakini bahwa apa yang sudah diputuskan oleh ulama atau qaul al-faqīh (pendapat ahli fiqh) dipandang selalu memiliki relevansi dengan konteks kehidupan masa kini dan harus dipakai tanpa reserve apalagi kriitik. Qaul (pendapat) ulama yang dikemukakan dalam kitab-kitab rujukan dianggap sebagai kata final. Boleh jadi pandangan demikian juga berkaitan dengan hakikat ilmu itu sendiri.
Cara berpikir seperti inilah yang melatarbelakangi munculnya kegelisahan sebagian masyarakat nahdliyyin (komunitas NU) dalam rangka mendinamisasi hukum Islam (fiqh). Kegelisahan Tersebut pada akhirnya terjawab oleh Munas NU di Bandar lampung yang memutuskan bermazhab secara manhaji sebagai metode alternatif  dalam penggalian hukum Islam dengan sistem bermazhab, di samping metode qauli dan ilhaqi.
Pada masa lampau ilmu dirumuskan sebagai sesuatu yang diketahui dan diyakini secara tuntas (mā yu’rafu wa yusqā). Pada sisi lain, upaya-upaya melakukan kritik terhadapnya sering kali dipandang telah menyalahi etika. Seringkali dilontarkan pikiran bahwa kemampuan kita untuk mengkritisi tokoh tidak bisa menyamai sang tokoh baik dari sisi intelektual maupun moral. Pernyataan ini benar-benar telah memasung  kreativitas dan keberanian  intelektual para pengikut NU.[53]
Selanjutnya menjawab permasalahan fiqh dengan pendapat tunggal sesungguhnya hampir tidak dijumpai kecuali bila telah menjadi ijma’. Ini lebih berkaitan dengan pernyataan fiqh, yaitu fiqh yang berbasis dalil ‘am yang secara apriori akan melahirkan keputusan dan pemikiran ganda, dua, tiga dan seterusnya.
Terhadap kemungkinan pengambilan keputusan dengan menggunakan pendapat ulama yang paling dominan, Sistem Pengambilan Keputusan Bahtsul Masa’il NU (SPKBMNU) mengikuti cara baku yang telah disepakati di kalangan ulama NU yang telah memberikan alternatif pilihan yang disusun secara hirarkhis. Pertama, kesepakatan Nawawi-Rafi’i; kedua, pendapat Nawawi; ketiga, pendapat Rafi’i; keempat, pendapat yang didukung mayoritas ulama; kelima, pendapat ulama terpandai dan keenam, pendapat ulama paling wara’. Banyak hal yang melatarbelakangi pilihan Nawawi atas Rafi’i. Pertama, Nawawi dikenal sebagai muharrir (penyeleksi) mazhab Syafi’i, di tangan ulama inilah pemikiran-pemikiran Syafi’i terseleksi. Kedua, Nawawi dipandang sebagai muhaddis ‘aqil (ahli hadis yang cerdas), sementara Rafi’i hanyalah faqih (ahli fiqh). Nawawi memiliki cukup banyak karya hadis, seperti al-Manhāj, Syarh al-Muslim, al-Azkār, Arba’īn an-Nawāwī, Hulasah fi al-Hadīs dan lain-lain. Sementara Rafi’i tidak demikian. Ketiga, Nawawi memiliki kecenderungan sikap asketis lebih tinggi dari Rafi’i. Konon ada yang mengatakan bahwa jika Rafi’i menulis, penanya bersinar, sementara jika Nawawi menulis, jari-jarinya yang bercahaya.[54]
Prosedur kedua adalah ilhaq, lengkapnya ilhāq al-masā’il bi nażā’irihā. Istilah ini dipakai untuk menggantikan istilah qiyas yang dipandang tidak patut dilakukan karena penggunaan qiyas hanya menjadi kompetensi mujtahid. Ini jelas memperlihatkan kehati-hatian –untuk tidak menyebut ketidakberanian- pemikir fiqh Nahdiyyin (komunitas NU) untuk melakukan kajian-kajian langsung terhadap sumber-sumber syari’ah. Pada ilhaq yang diperlukan adalah mempersamakan persoalan fiqh yang belum ditemukan jawabannya dalam kitab secara tekstual dengan persoalan yang sudah ada jawabannya. Sementara pada qiyas, persoalan yang belum terjawab tersebut dirujuk langsung kepada al-Qur’an dan Hadis guna mempersamakan oleh karena keduanya memiliki ‘illat (alasan hukum) yang sama.
Cara ketiga adalah  istinbāt. Ini adalah istilah lain dari ijtihad yang hendak dihindari oleh ulama NU. Secara esensial kedua istilah ini adalah sama, yakni melakukan kajian intensif dan maksimal dari para ahli terhadap persoalan-persoalan fiqh melalui teori-teori atau kaidah fiqh. Inilah yang kemudian dikenal dengan ijtihad manhaji. Dalam tradisi NU, ijtihad seakan-akan telah tertutup dan tidak mungkin dilakukan oleh ulama-ulama sekarang karena tidak mempunyai kompetensi sebagaimana para mujtahid masa lalu.[55]
Sebagai sebuah lembaga fatwa, Bahtsul Masa’il menyadari bahwa tidak seluruh peraturan-peraturan syari’at Islam dapat diketahui secara langsung dari nas al-Qur’an (an-nusūs asy-syar’iyyah), melainkan banyak aturan-aturan syari’ah yang membutuhkan daya nalar kritis melalui istinbāt al-hukm (ekplorasi hukum). Tidak sedikit ayat-ayat yang memberikan peluang untuk melakukan istinbat hukum baik dilihat dari kajian kebahasaan maupun esensi makna yang dikandungnya.[56]
Dalam Bahtsul Masa’il NU, istilah istinbāt hukum tidak banyak dikenal. Bagi ulama NU, term ini lebih dikonotasikan pada istikhrāj al-hukm min an-nusūs (mengeluarkan hukum dari teks-teks primer; al-Qur’an dan as-Sunnah) yang dilakukan oleh mujtahid mutlak, yang menurut ulama NU sangat berat untuk dilakukan ulama sekarang dengan segala keterbatasannya baik dalam ilmu pokok yaitu penguasaan ilmu tentang al-Qur’an dan assunnah maupun ilmu bantu yaitu penguasaan dalam bidang bahasa Arab dan sebagainya. Untuk itu sebagai gantinya adalah istilah ittifāq al-hukm (kesepakatan hukum).[57]
Menurut Sahal Mahfud, istinbat hukum langsung dari sumber primer  yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlaq, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang memang disadari terutama dalam ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara jika ijtihad dilakukan dalam batas  mazhab yang lebih praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu  memahami ibarat kitab-kitab fiqh sesuai dengan terminologinya yang baku.[58]
Istinbat hukum diartikan bukan untuk memgambil hukum secara langsung dari sumber hukum yang asli yakni al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi melakukan tatbīq (penerapan) secara dinamis terhadap nas-nas (teks-teks) yang telah dielaborasi ulama fiqh periode klasik dan menengah kepada persoalan waqi’iyyah (kasuistik) yang dicari hukumnya. Secara definitif, NU memberikan definisi istinbāt  hukum sebagai suatu upaya mengeluarkan hukum syara’ dengan al-qawā’id fiqhiyyah (the general principles of the law) dan al-qawā’id al-usūliyyah (Islamic legal teory) baik berupa adillah ijmāliyyah (dalil global), adillah tafsīliyyah (dalil terperinci) maupun adillah al-ahkām (dalil hukum). Dengan demikian produk hukum yang dihasilkan merupakan hasil ijtihad ulama atas nas-nas al-Qur’an dan assunnah yang sesuai dengan prinsip-prinsip ijtihad yang di gunakan para mujtahid (jurist) tempo dulu.
Penggunaan kaidah fiqhiyyah di kalangan NU, nampaknya dilatarbelakangi oleh konsep bermazhab dalam mengembangkan hukum Islam, yang menjadi pilihan bagi the founding fathers NU di masa awal. Pilihan ini dilatarbelakangi oleh situasi masyarakat Indonesia yang telah menganut mazhab Syafi’i secara kultural. Dengan demikian, apa yang dipilih NU adalah akumulasi pendapat masyarakat dalam memahami dan mengamalkan hukum Islam  yang dielaborasi dari teks al-Qur’an dan assunnah. Akumulasi tersebut selanjutnya terformat dalam konsep bermazhab, dengan cara mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkungan mazhab tertentu, yakni berupa aqwal (pendapat-pendapat) hasil ekplorasi hukum yang dilakukan oleh seorang mujtahid, sekaligus menggunakan manhaj (metode) tersebut, bila memang diperlukan.[59]
Dalam Munas Alim Ulama Bandar Lampung 1992 juga dirumuskan kerangka analisis masalah, terutama dalam memecahkan masalah sosial sebagai berikut:[60]
1.      Analisa masalah (sebab mengapa terjadi kasus ditinjau dari berbagai faktor):
a.       Faktor ekonomi
b.      Faktor budaya
c.       Faktor politik
d.      Faktor social lainnya
2.      Analisa Dampak (dampak positif dan negatif yang ditimbulkan oleh sesuatu kasus yang hendak dicari hukumnya ditinjau dari berbagai aspek) anatar lain:
a.       Secara sosial ekonomi
b.      Secara sosial politik
c.       Secara sosial budaya
3.      Analisa Hukum (fatwa tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala bidang. Di samping putusan fiqhi/yuridis formal, keputusan ini juga memperhatikan pertimbangan Islam dan hukum positif)
a.       Status hukum (al-ahkam al-khamsah/sah dan batal)
b.      Dasar dari ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah
c.       Hukum positif
4.      Analisa Tindakan; peran dan pengawasan terhadap apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari fatwa di atas. Kemudian siapa saja yang akan melakukan, bagaimana, kapan, dan dimana hal itu hendak dilakukan, serta bagaimana mekanisme pemantauan agar semua berjalan sesuai dengan rencana.
    1. Jalur politik (berusaha pada jalur kewenangan negara dengan sasaran mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah).
    2. Jalur budaya (berusaha membangkitkan pengertian  dan kesadaran  masyarakat melalui berbagai media dan forum seperti pengajian dan lain-lain)
    3. Jalur ekonomi (meningkatkan kesejahteraan masyarakat)
    4. Jalur social lainnya (upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan dan lain-lain).

Kemudian muncul perkembangan baru yang dimunculkan oleh para kaum santri yang melek metodologi sehingga dalam Muktamar NU ke-31 di Solo dibahas tentang hermeneutika/takwil yaitu sebagai berikut:[61]
Hermeneutika adalah metode pemaknaan terhadap teks yang memadukan tiga horizon; horizon teks, horizon konteks, dan horizon pembaca. Secara substansial hermeneutika bukanlah suatu yang baru dalam metode penafsiran dalam Islam, itulah yang disebut takwil. Kebutuhan  kita bukan mengadopsi metodologi tetapi mendalami dan mengembangkan takwil. Takwil dalam khasanah kita didefinisikan; mengalihkan lafaz dari artinya yang nampak dan dekat kepada makna yang dalam dan jauh. Kita membutuhkan pengembangan metode takwil, antara lain:
1.      Takwil tidak hanya mengalihkan dari makna yang tampak dan dekat kepada makna yang dalam dan jauh, tetapi juga memperhatikan teks, konteks dan pembaca.
2.      Pengembangan takwil dengan tetap memperhatikan metode tafsir
3.      Dalam melakukan takwil harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
    1. Mengaitkan buhūs al-ahkam antara satu dengan yang lain
    2. Mengaitkan ahkam dengan maqāsid al-ahkām
    3. Mengaitkan teks dengan konteks
    4. Mencermati dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan yang terpadu di dalam hukum Islam.
Dari metode hermeneutika yang telah dirumuskan tersebut, terdapat perkembangan pemikiran dalam metode istinbat hukum yang digunakan dalam Bahtsul Masa’il NU dari periode-periode sebelumnya yang hanya menggunakan pendapat dalam kitab-kitab standard atau yang disebut al-kutub al-mu’tabarah, ilhaqul masāil bi nażāiriha (semacam qiyas) dan istinbat dengan qawā’id ushūliyyah dan qawā’id fiqhiyyah, ditambah dengan satu metode yang relatif baru yaitu hermeneutika (yang nota bene dimunculkan dari wacana filsafat Barat), walaupun dalam hal ini para perumus mengklaim metode hermenetika sebagai metode takwil yang telah dikenal selama ini.
Dilihat dari hasil keputusan-keputusan tentang metode penggalian hukum tersebut terkesan NU telah mengalami kemajuan yang signifikan dalam konteks menjaga dinamisasi perkembangan hukum Islam, tetapi kalau dilihat realitanya kiranya cukup beralasan jika muncul pertanyaan, mengapa metode-metode selain qauli dan ilhaqi cenderung tidak produktif atau tidak diproduktifkan. Jawaban yang paling gampang adalah melihat basis dari NU yakni pesantren dengan segala tradisi tekstualnya artinya –meminjam istilah Gus Dur- bahwa NU adalah pesantren besar, sehingga tradisi intelektual dan kultural NU tidak akan bisa terlepas sama sekali dari pengaruh tradisi pesantren itu sendiri.
Jika tesis tersebut dapat diterima maka dapat disimpulkan bahwa konstruksi pemikiran lembaga bahsul masail NU banyak dipengaruhi oleh tradisi kultural dan intelektual pesantren yang cenderung tradisional dan bercorak tekstual. Bahwa pada perkembangannya mengalami penambahan kecenderungan, dikarenakan banyak kader dari pesantren yang mulai bersinggungan dengan ilmu-ilmu dan metodologi-metodologi penggalian hukum modern. Ketika itulah konstruksinya menjadi mengalami modifikasi yakni tidak hanya tektual an sich tetapi juga sudah kontekstual. Yang demikian ini ditandai dengan munculnya metode bermazhab secara manhaji dan hermeneutika sebagai perangkat metodologis dalam penggalian hukum yang diselenggarakan oleh lembaga bahsul masail. Metode yang disebut terakhir ini tidak bisa diterima dengan bulat oleh kalangan pesantren (minus pendidikan umum), karena mereka menganggap bahwa metode tersebut adalah bukan produk Islam tetapi produk dari Barat yang dianggap tidak senafas.
2.      Lembaga Bahtsul Masail NU dan Disiplin Organisasi
NU sebagai organisasi Islam yang terbesar di Indonesia, mempunyai tanggung jawab besar pula dalam memajukan kehidupan beragama Islam di Indonesia. Sebagai organisasi Islam yang mempunyai tradisi keilmuagamaaan yang akrab dengan khasanah lama (al-kutub al-mu’tabarah al-qadīmah), secara fungsional salah satu tugas yang diembannya adalah memberikan petunjuk pelaksanaan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan. Forum yang diselenggarakan untuk membahas masalah-masalah dalam rangka tugas itu adalah forum Bahtsul Masa’il.
Praktek kajian masalah-masalah praktis melalui forum Bahtsul Masa’il telah berlangsung sejak Nahdlatul Ulama (NU) didirikan yakni tanggal 13 Rabi’ al-Tsani1345 H / 21 Oktober 1926 M. Waktu itu dilakukan sidang Bahtsul Masa’il NU yang pertama kali. Karena itu, untuk melihat setting sosio-historis Bahtsul Masa’il harus mengetahui proses sejarah berdiri NU di Indonesia.
Pada 31 Januari 1926, sebuah kelompok yang terdiri dari lima belas Kiai (sebutan bagi ulama Jawa) terkemuka berkumpul di rumah Wahab Hasbullah (1888-1971) di Kertopaten Surabaya. Sebagian besar dari mereka datang dari Jawa Timur dan masing-masing adalah tokoh pesantren. Mereka berdiskusi dan akhirnya memutuskan mendirikan sebuah organisasi keagamaan bernama “Nahdlatoel Oelama” untuk mewakili dan memperkokoh Islam tradisional di Hindia-Belanda.
Sebelumnya, tokoh-tokoh tradisional telah membentuk berbagai organisasi kecil dan bersifat lokal yang bergerak di bidang pendidikan, ekonomi atau keagamaan.[62] Kelompok-kelompok itu cenderung independen, dengan Kiai sebagai panutan masing-masing, namun memiliki banyak kesamaan mulai dari paham keagamaan (Islam Ahlussunnah wal Jama’ah), aliran, bermazhab Syafi’i dalam bidang fiqh, kecenderungan bertasawwuf, sampai kepada pola karakter tingkah laku sehari-hari seperti kepatuhan yang tinggi kepada pribadi kiai atau ulama panutannya. Mereka mempunyai tradisi berkomunikasi secara personal maupun secara komunal yang intensif. Komunikasi ini berlangsung melalui jalur tradisional seperti pertemuan haul,[63] imtihanan[64], walimah dan sebagainya. Mungkin dirasakan belum dibutuhkan  adanya ikatan organisatoris, cukup dengan ikatan ideologis cultural. Menurut Mukhit Muzadi, keinginan untuk mendirikan organisasi formal struktural  bukan tidak ada, tetapi pertumbuhannya masih lambat, karena hanya melalui kegiatan dakwah secara tradisional dan cultural seperti pengajian-pengajian keliling yang bersifat lokal.[65]
Namun dengan perkembangan zaman dan kebutuhan untuk meningkatkan daya guna dan hasil perjuangan, akhirnya lahir pula keinginan untuk membentuk wadah organisasi untuk mengarahkan dan mengatur perjuangan para kiai/ulama beserta kelompoknya. Mula-mula dibentuk wadah pengembangan pemikiran dan penalaran (kelompok diskusi, dengan nama Taswirul Afkar),[66] organisasi dagang (Nahdlatut Tujjar), pendidikan (Nahdlatul Wathan) pemuda (Nahdlatus Syubban), dan lain-lain[67]. Baru setelah NU didirikan sebagian besar kiai mau melibatkan diri mereka dalam sebuah organisasi berskala nasional dengan program kegiatan yang luas.
Pada dasarnya pembentukan jam’iyyah NU merupakan akomodasi atas potensi dan peran ulama-ulama pesantren yang secara kultural telah eksis sebelum abad ke-20. Dengan didirikannya NU, diharapkan peran-peran mereka akan dapat lebih efektif sekaligus merupakan ulama-ulama untuk eksis dalam pergolakan zaman yang semakin pesat. Perlu diketahui bahwa pesantren telah lama menjadi lembaga pendidikan yang memberi bekal hidup bermasyarakat, namun secara social-politik tidak banyak diperhitungkan, baik oleh sesama umat Islam  Indonesia maupun di mata penjajah kolonial. Kelompok ulama pesantren dianggap hanya mampu berkiprah dalam dunia pendidikan pesantren an sich tidak seperti organisasi Syarikat Islam atau Muhammadiyah pada saat itu.
Pada waktu itu sedang dilakukan persiapan-persiapan penyelenggaraan Kongres Khilafat yang akan diadakan di Kairo pada bulan maret 1925. Inisiatif datang dari para ulama Al-Azhar yang didorong oleh Raja Fuad Mesir, calon lain untuk kursi khilafah. Pemikir pembaharuan terkemuka, Muhammad Rasyid Ridlo, salah seorang panitia penyelenggara sudah mengirim undangan kepada Syarikat Islam dan Muhammadiyah, sebagai dua organisasi penting yang ada di Indonesia pada waktu itu.
Untuk itu, respons ulama tradisionalis rupanya tidak mau ketinggalan dalam memberikan respon terhadap event tersebut. Melalui juru bicara KH. Abdul Wahab Hasbullah, seorang tokoh vokal mengajak para ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mengirim wakilnya dalam perhelatan Islam tingkat dunia di Makkah, khususnya berkaitan dengan upaya dialog  bersama raja Ibn Sa’ud tentang kebebasan dalam bermazhab. Wakil-wakil mereka terhimpun dalam sebuah komite yang terkenal dengan Komite Hijaz yang diputuskan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. Mereka adalah KH. Khalil Masyhudi (Pondok Pesantren Lasem Jawa Tengah ) dan KH. Abdul Wahab (Surabaya ). Dibentuknya komite Hijaz mempunyai dua tujuan yaitu pertama, sebagai balance atas merebaknya komite khilafat yang cenderung dikuasai oleh kelompok modernis. Kedua, memberikan tausiyah (rekomendasi) kepada raja Ibnu Sa’ud agar melestarikan tradisi-tradisi yang berkembang di daerah Makkah al-Mukarramah.[68]
Tak berbeda dengan proses lahirnya NU, sebagai sebuah tradisi, Bahtsul Masa’il telah berjalan mendahului NU. Jauh sebelum NU berdiri, pesantren-pesantren beserta kiai pengasuhnya selaku penopang berdirinya NU, telah mempraktekkan model musyawarah untuk memperoleh keputusan hukum dari kitab-kitab kuning yang sehari-hari dipelajarinya.[69] Karena tuntutan masyarakat yang semakin tinggi, secara individual mereka bertindak langsung sebagai penafsir hukum bagi kaum muslim di sekelilingnya.[70] Saat itu sudah ada tradisi diskusi dikalangan pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO (Lailatul Ijtima’ Nahdlatul Oelama). Dalam buletin LINO selain memuat hasil Bahtsul Masa’il, juga menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar para ulama.[71]
Ada dua macam fatwa yang dikembangkan oleh para ulama pesantren saat itu.[72] Fatwa yang pertama bersifat praktis-aplikatif, berupa hukum fiqih untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah, seperti bilangan raka’at shalat tarawih, tata cara berkirim do’a pada mayat, talqin dan sebagainya. Kedua fatwa yang bersifat preventif yakni fatwa yang diberikan untuk menjaga kelestarian agama Islam dari pembauran budaya asing atau nilai-nilai ajaran agama lain, seperti diharamkannya memakai celana panjang karena menyerupai orang non muslim (saat itu adalah kaum kolonialis Bealanda), keharusan memakai peci dan sebagainya.
Secara formal-substansial, forum Bahtsul Masa’il telah diselenggarakan sejak Muktamar I NU di Surabaya 13 rabi’ul Awal 1345 H atau 21 Oktober 1926 M. Dengan terakomodasikannya seluruh kekuatan ulama tradisional pesantren dalam wadah jam’iyyah NU, maka aksi fatwa yang dilakukan dirubah menjadi fatwa kolektif. Secara substansial fatwa individu sebelum berdirinya NU dengan fatwa kolektif pasca berdirinya NU tidak terdapat distingsi, perbedaannya hanya pada prosedur pelaksanaannya. Fatwa kolektif harus didiskusikan bersama antara beberapa pakar, dan kesepakatan hukum (ittifaq al-hukum) dari fatwa kolektif adalah representasi kelompok, sedang fatwa individual adalah hasil karya seorang mufti.
Dalam pelaksanaannya forum Bahtsul Masa’il ini dikoordinasi oleh lembaga syuriah (legislatif), sebagaimana pada zaman KH. Hasyim Asy’ari, syuriah sebagai pemegang otoritas penafsiran hukum, konsentrasi penuh pada kegiatan Bahtsul Masa’il, namun karena adanya dinamika yang terjadi dalam NU, pada masa kepemimpinan KH. Wahab Hasbullah, NU lebih cenderung pada political oriented (orientasi politik). Masa tersebut berimbas langsung pada forum Bahtsul Masa’il. Para ulama baik di jajaran Tanfiziyah maupun Syuriah disibukkan dengan persoalan politik praktis, sementara tuntutan hukum semakin lama semakin berkembang.
Kemudian setelah NU kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 melalui keputusan Muktamar di Situbondo, Bahtsul Masa’il mulai giat kembali dan diselenggarakan secara intens.[73] Bahkan forum Bahtsul Masa’il semakin dinamis  baik dari segi tematiknya, maupun metode istinbat hukumnya, yakni semula metode yang digunakan hanya qauli dan ilhaqi kini berkembang menjadi manhaji bahkan hermeneutika juga menjadi alternatif metode dalam bahsul masail. Dari sisi materi kajiannya juga mengalami perkembangan yakni semula terbatas pada masalah waqi’iyyah kemudian kini berkembang menjadi maudu’iyyah, dan qanuniyyah.
Bahtsul Masa’il atau lembaga Bahtsul Masa’il Diniyah (lembaga masalah-masalah keagamaan) di lingkungan NU adalah sebuah lembaga yang memberikan fatwa-fatwa hukum keagamaan kepada umat Islam. Dalam Pasal 16 (e) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU menyebutkan bahwa tugas Bahtsul Masa’il adalah menghimpun, membahas, dan memecahkan masalah-masalah yang mauquf (terhenti kajiannya karena tidak ditemukan jawabannya) dan waqi’iyyah yang harus segera mendapat kepastian hukum.[74] Hal ini menuntut Bahtsul Masa’il NU untuk mampu membumikan nilai-nilai Islam, sekaligus mengakomodasi berbagai pemikiran yang relevan dengan kemajuan zaman dan lingkungan sekitarnya.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, khasanah lama (al-kutub al-mu’tabarah) selalu menjadi rujukan andalan. Segala persoalan diusahakan agar dicarikan penyelesaian melalui rujukan tersebut. Di samping adanya bukti tentang keandalan al-kutub al-mu’tabarah, untuk menyelesaikan soal kontemporer (kekinian, al-mustahdasah) dan masā’il waqī’iyyah, kini semakin banyak ulama NU yang mengandaikan apabila al-kutub al-mu’tabarah itu tidak memberikan penyelesaian yang tuntas. Namun telah menjadi kesadaran bersama bahwa membiarkan persoalan tanpa jawaban adalah tidak bisa dibenarkan, baik secara i’tiqadi (akidah) maupun secara syar’i (hukum). Oleh karena itu, segala yang menghambat proses pengambilan keputusan dalam Bahtsul Masa’il seharusnya segera ditanggulangi.[75]
Dalam kehidupan NU, forum Bahtsul Masa’il boleh dikatakan merupakan inti dari kegiatan-kegiatan NU sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan). Karena itu, ada atau tidak ada lembaga formal Bahtsul Masa’il di daerah-daerah baik yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah NU, Pengurus Cabang NU tingkat kabipaten dan kota madya , Pengurus Wakil Cabang tingkat Kecamatan, Pengurus Ranting tingkat desa, maupun setiap pondok-pondok pesantren di lingkungan NU, tradisi kajian hukum semacam ini tetap berjalan.
Forum Bahtsul Masa’il diselenggarakan secara periodik dan biasanya terbatas untuk wilayah kepengurusannya. Praktis, Bahtsul Masa’il di lingkungan NU bukan saja forum penting bagi pencarian dan perumusan hukum yang mauqūf dan waqī’ di tengah-tengah masyarakat kontemporer, melainkan telah menjadi tradisi keorganisasian biasa. Hebatnya, Bahtsul Masa’il di NU tidak bersifat hirarkhis-struktural, termasuk kekuatan pengikat hukum dari hasil keputusan Bahtsul Masa’il. Ini secara tegas dinyatakan dalam keputusan Munas lampung:
“Seluruh keputusan bahtsul masa’il dilingkungan NU yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini, baik yang diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan.”[76]

Ada tiga pendekatan dalam memandang Bahtsul Masa’il yaitu bahwa: pertama, bahsul masa’il merupakan bagian dari mata rantai tradisi intelektual NU; kedua, bahsul masa’il sebagai satu bentuk tradisi akademis pondok pesantren sebagai basis NU, dan ketiga, bahsul masa’il sebagai suatu institusi atau forum pengambilan keputusan hukum Islam secara kolektif dari jam’iyyah NU.[77] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahsul masa’il adalah jantung kegiatan NU sebagai organisasi sosial-keagamaan.
3.      Sosialisasi Hasil Keputusan Lembaga Bahtsul Masail NU
Menurut Sahal Mahfudh rumusan hukum hasil produk Bahtsul Masa’il Syuriyah NU, bukan merupakan keputusan akhir. Masih dimungkinkan adanya koreksi dan peninjauan ulang bila diperlukan. Bila di kemudian hari ada salah seorang ulama meskipun bukan peserta forum syuriyah menemukan nash/qaul (pendapat) atau ‘ibarat (ungkapan teks) lain dari salah satu kitab yang lebih valide dan ternyata bertentangan dengan keputusan tersebut, maka keputusan itu bisa ditinjau kembali dalam forum yang sama.
Tidak ada perbedaan, antara pendapat ulama senior maupun yunior, antara yang sepuh dan yang muda dan antara kiai dan santri. Karena dalam dialog hukum ini yang paling mendasar adalah benar atau tepatnya pengambilan hukum sesuai dengan substansi masalah dan latar belakangnya.[78]
Lebih tegas dalam keputusan Munas Alim-ulama NU di Bandar Lampung tahun 1992 menyebutkan bahwa:
1.      Seluruh keputusan Bahtsul Masa’il di lingkungan NU yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan.
2.      Suatu hasil keputusan Bahtsul Masa’il dianggap mempunyai kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuri’ah NU tanpa harus menunggu Munas Alim-ulama maupun Muktamar.
3.      Sifat keputusan dalam Bahtsul Masa’il tingkat Munas dan Muktamar adalah:
a.       Mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan/atau,
b.      Diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.
Hasil keputusan Bahtsul Masa’il syuriyah NU tersebut oleh cabang-cabang dan ranting disebarluaskan melalui kelompok-kelompok pengajian rutin, majelis jum’at dan kemudian dijadikan pedoman dan rujukan oleh warga NU khususnya serta masyarakat pada umumnya. Para Ulama NU dalam memberikan petunjuk hukum kepada masyarakat juga merujuk kepada keputusan Bahtsul Masa’il tersebut.[79] Namun karena kurangnya sosialisasi dan penyebaran yang belum merata, hasil keputusan Bahtsul Masa’il tersebut dalam tataran realitas belum sepenuhnya dilaksanakan oleh warga NU.
Dengan demikian, yang dibutuhkan ke depan adalah upaya sosialisasi hasil bahsul masail yang telah diputuskan di tingkat Musyawarah Alim-ulama Nasional dan Muktamar kepada seluruh pengurus NU mulai dari tingkat Wilayah sampai dengan tingkatan ranting. Sosialisasi itu perlu dilakukan agar apa yang telah diputuskan oleh Munas dan Muktamar tersebut dapat dipedomani oleh pengurus NU di bawahnya.


[1] Ibid.

[2]  Imam AZ dan Nasikh, "Liputan: Dari halaqah Denanyar", Santri, No. 3, Th. I (1990), hlm. 22-26. Juga Ahmad Zahro, Tradisi intelektual NU…,  hlm. 267.


[3] Penggunaan istilah "Kongres" (saat itu ditulis "Congres") adalah mulai tahun 1926 (yang ke-1) hingga tahun 1940 (yang ke-15), sedang istilah "Muktamar" (saat itu ditulis "Moe'tamar) mulai digunakan pada tahun 1946 (yang ke-16, atau yang ke-1 sejak Indonesia merdeka, setelah mengalami kevakuman selama lima tahun). Sekarang istilah "Muktamar" yang lazim dipakai dikalangan NU untuk menggantikan istilah Kongres. Lihat hasil penelitian Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU…, hlm. 69.
[4] Pelacakan kami hanya sampai dengan tahun 2004 karena data yang telah dapat diakses dan terbukukan baru sampai dengan tahun tersebut.  
[5] Mata rantai dalam transfer ajaran tersebut dikenal dengan sebutan sanad; sebuah istilah  yang diadopsi dari istilah mata rantai dalam periwayatan hadis yang dikaji dalam ilmu dirāyah al-hadis. Lihat Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usūl al-Hadīś ‘Ulūmuh wa Mustalahuh, Cet. Baru (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), hlm. 200.
[6] M. Muhsin Jamil dkk., Nalar Islam Nusantara, Studi Islam Ala Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis, dan NU (Jakarta: Dirdiktis Dirjend Pendis, 2007), hlm. 363.     
[7] Sanad  ialah sebuah istilah dalam ilmu periwayatan hadis yang didefinisikan sebagai mata rantai yang  menyambungkan antara seorang perawi kepada perawi hadis berikutnya. Lihat  Muhammad ‘Ajjaj al- Khatib, Usūl al-Hadis,‘Ulūmuhu wa Mustalahuhu, Cet. Baru (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), hlm. 200.
[8] Ibid., hlm. 364. mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil adalah mujtahid peringkat pertama yang mempunyai kompetensi untuk menggali hukum secara langsung dari al-Qur’an dan assunnah, melakukan qiyās, istihsān, al-maslahah, dan metode penggalian hukum yang lain yang dianggap tepat. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Usūl al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1985), hlm. 309.
[9] Ahmad Arifi, "Pergulatan Pemikiran Fiqih dalam Nahdlatul Ulama (Analisis Paradigma atas Nalar Fiqh Tradisi", Disertasi, (Yagyakarta: PPs UIN Yogyakarta, 2007), hlm. 156.
[10] Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 153.
[11] Nama lengkapnya Abu al-Hasan Ibn Isma’il al-Asy’ari lahir di Basrah 873 M, wafat di Bagdad 935 M. Pada mulanya ia adalah murid al-Juba’i dan salah seorang tokoh  terkemuka dalam golongan Mu’tazilah sehingga. Menurut al-Husain Ibn Muhammad al-Asykari, al-Juba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya. Lihat Harun Nasution,  Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan  (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hlm. 65.
[12] Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi, lahir di Samarkand pada pertengahan ke-2 dari abad  ke-9 M. dan meninggal pada tahun 944 M. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham teologinya banyak persamaannya dengan paham yang dimajukan oleh Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi ahlis sunnah dan dikenal dengan nama al-Matūridiah. Lihat Harun Nasution,  Teologi Islam, hlm. 72.
[13] Nama aslinya adalah  Annu’man  ibn Sabit ibn Zauti, lahir di Kufah tahun 80 H.
[14] Nama aslinya adalah  Malik ibn Anas ibn Abi ‘Amir, lahir di Madinah tahun 93 H.
[15] Nama aslinya adalah Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Idris ibn al-‘Abbas ibn ‘Usman ibn Syafi’ al-Syafi’I al-Mutallibi (keturunan dari al-Mutallib ibn Abdi Manaf, lahir di Guzah pada tahun 150 H.
[16] Nama aslinya adalah Amad ibn Hanbal ibn Hilal al-zihli al-Syaibani al-Maruzi al-Bagdadi, lahir tahun 163 H. dan wafat tahun 241 H.
[17] Nama aslinya adalah Junaid ibn Muhammad Abu al-Qasim al-Khazzaz al-Baghdadi (830-910 AD).
[18] Nama aslinya adalah Abu Hamid al-Ghazāli Muhammad ibn Muhammad al-Ghazāli al-Thūsi, dia berkebangsaan Persia asli, lahir pada tahun 450H./1058M. di Thus (dekat Meshed) sebuah kota. kecil di Khurisan (sekarang Iran), di sini pula A1-Ghazali wafat di Nazran tahun 505H./1111 M. Tentang biografinya, dapat dilihat antara lain: Sulaiman Dunya, Al-Haqiqah Fi Nazhr al-Ghazâli, cet. III (Mesir Dar al-Ma’arif, 1971). Juga Abd. Kadri Utsrnan, Sirah Al-Ghazâli ( Demaskus: Dar al-Fikr, t.t.)
[19]Abdurrahman Wahid, Prisma…, hlm. 154.
[20] KH. M. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl Assunnah wa al-Jamā’ah: fi Hadīs al-Mauta wa Asyrāt as-Sā’ah wa Bayān Mafhū as-Sunnah wa al-Bid’ah (Jombang: Maktabah at-Turas al-Islami bi Ma’had Terbuireng, 1418 H), hlm. 23.
[21] Abdurrahman Wahid, Prisma …,hlm. 153.
[22] Ibid,  hlm. 154.
[23] Ibid, hlm. 155.
[24]Nama aslinya adalah Yahya bin Syaraf  bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah.  Lihat Anas Burhanuddin, “Biografi Imam Nawawi”, Posted on  dalam www.abuzubair.wordpres.com
[25] Nama aslinya adalah Abu al-Qasim Abdul Karim al-Rafi’i.
[26] Nama aslinya adalah Iyas Ibn Muawiyah Al-Muzani (175-264 H).
[27]Nama aslinya adalah Imam Syihabuddin Ahmad bin Hamzah ar-Ramli al-Anshari. Anaknya bernama Imam Syamsuddin Muhammad ar-Ramli al-Anshari pengarang  buku“Nihayah”.
[28] Nama aslinya adalah Syihabuddin Ahmad bin Hajar al Haitami, Lahir di Mesir tahun 909 H. dan wafat di Mekkah tahun 974H. Pada waktu kecil beliau diasuh oleh dua orang Syeikh, yaitu Syeikh.Syihabuddin Abul Hamail dan Syeikh Syamsuddin  as Syanawi. Pada usia 14 tahun beliau dipindahkan belajar masuk Jami’ Al Azhar. Pada Unirnersitas Al Azhar beliau belajar kepada Syeikhul Islam Zakariya al Anshari dan lain-lain.
[29] Nama aslinya adalah  Syeikh Zakaria al-Anshari al-Khazraji. Khazraj adalah daerah asal beliau.
[30]Abdurrahman Wahid, Prisma …, hlm. 365.
[31]Tim PW LTN NU Jatim (penyunting), Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926 – 2004 M.), Cet. III (Surabaya: LTN NU Jawa Timur – Khalista, 2007), hlm. 446-449.
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Ibid.

[35] Keputusan Muktamar 31 Nahdlatul Ulama tahun 2004 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. (Disalin kembali oleh Wago). Kamis, 24 Agustus 2006 20:46, diakses dari www.gp-ansor.org/.../sistem-pengambilan-hukum-islam-dalam-bahtsul-masail.html.
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Lihat Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama Bab
[40] Aceng Abdul Azis Dy. dkk., Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Cet. II (Jakarta: Pustaka Ma’arif  NU, 2007), hlm. 134.
[41] Ibid.
[42] Konfrensi Besar dikatakan setingkat dengan Munas Alim-ulama karena Konfrensi Besar jugs tidak memiliki kompetensi untuk mengubah AD/ART dan tidak dapat mengadakan pemilihan pengurus baru. Lihat Ibid, hlm 135.
[43] Ibid, hlm 136.
[44] Ibid.
[45] Ahmad Arifi, "Pergulatan Pemikiran Fiqih dalam Nahdlatul Ulama (Analisis Paradigma atas Nalar Fiqh Tradisi", Disertasi, hlm. 284 dan seterusnya.
[46]Bibit Suprapto, Nahdlatul Ulama: Eksistensi, Peran dan ProspeknyaFakta dan Aanalisa tentang Kehidupan NU (Malang: LP. Ma’arif Cabang  Malang, 1987), hlm. 22. Bandingkan Ahmad Arifi, "Pergulatan Pemikiran Fiqih…, hlm. 148.
[47]A. Malik Madany, "Pola Penetapan Hukum Islam Nahdlatul Ulama (Antara Fakta dan Cita)", dalam M. Masyhur Amin, Ismail S. Ahmad (eds.), Dialog Pemikiran Islam & Realitas Empirik, ( Yogyakarta, LKPSM NU DIY bekerja sama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1993), hlm. 163.
[48] M. B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia:Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, terj. Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta, Teraju, 2002), hlm. 88.
[49]Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung, (Jakarta: LTN NU dan Sumber Barokah Semarang, 1992), hlm. 5. Lihat pula dalam ‘Ittifaq Hukum Mengenai Beberapa Masalah Diniyyah, Sistem pengambilan keputusan hukum dalam Bahtsul Masa’il di lingkungan NU’ Keputusan Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung tahun 1992, dalam A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama NU, (Surabaya: Dinamika Press Group, 1977), hlm. 365. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung, (Jakarta: LTN NU bekerja sama dengan Sumber Barokah Semarang, 1992), hlm. 5
[50]Ibid., hlm. 4-5
[51] Tim PW LTN NU Jatim (penyunting), Ahkamul Fuqaha…, hlm. 449.

[52]Ibid.
[53]Husein Muhammad, “Tradisi Istinbat Hukum NU: Sebuah Kritik”, dalam M. Imdadun Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU…, hlm. 27-28.

[54]Ibid., hlm 29.
[55]Ibid., hlm. 33.
[56]Imam Yahya, “Akar Sejarah Bahtsul Masa’il: Penjelasan Singkat”, dalam M. Imdadun Rahmad (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU, hlm. 4.
[57]Ibid., hlm. 14.
[58]Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm 27.
  [59] Ahmad Arifi, "Pergulatan Pemikiran Fiqih …, hlm. 284 dan seterusnya.
[60]Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung, hlm. 6-7

[61]Materi Muktamar NU ke-31, Tata Tertib Bahtsul Masa’il Diniyyah, Program Kerja, Taushiyah, hlm. 4.
[62]Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 22.
[63]Secara bahasa bersal dari kata hāla-yahūlu-haul .Haul adalah peringatan hari ulang tahun kematian seorang tokoh, dilaksanakan sekali dalam satu tahun.
[64] Imtihan adalah sebuah acara bersifat ceremonial untuk merayakan hari tutup akhir pelajaran di pesantren, biasanya diselenggarakan pada bulan sya’ban (tergantung kebijakan pengasuh pesantren masing-masing)
 [65] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif  Seajarah dan Ajaran (Refleksin65 Th. Ikut NU), Cet. IV (Surabaya: Khalista, 2007), hlm. 33.
[66] Diskusi ini dipelopori oleh KH. A. Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansur. Kedua tokoh ini pada akhirnya berpencar, KH. Mas Mansur masuk Muhammadiyah, sedangkan KH. A. Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama. Ibid.
[67]A. Mukhith Muzadi, NU dan Fiqih Kontekstual, (Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1995), hlm. 69-70. Lihat pula dalam Andree Feillard, NU vis– a – vis Negara, ( Yogyakarta: LKiS,  1999), hlm. 7-8.  
[68]Imam Yahya, ‘Akar Sejarah Bahtsul Masa’il: Penjelajahan Singkat’, dalam M. Imdadun Rahmad (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masa’il, (Jakarta: LAKPESDAM NU, 2002), hlm. 6-7.
[69]Marzuki Wahid, “Cara Membaca Tradisi Bahtsul Masa’il NU: Tatapan Reflektif”, dalam M. Imdadun Rahmad (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU, hlm 69. Pada waktu itu telah ada buletin LINO ( Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama), yang memuat hasil Bahtsul Masa’il dan sekaligus menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar para ulama.
[70]Dikutip dari Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987 ), hlm. 140-141.
[71]Imam Yahya,”Akar Sejarah Bahtsul Masa’il: Penjelasan Singkat”, dalam M. Imdadun Rahmad (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU…,hlm. 8.
[72]Dikutip dari Maksun Mahfudz, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, (Surabaya: Yayasan Kesejahteraan Umat, 1982), hlm. 206
[73]Imam Yahya, ‘Akar Sejarah Bahtsul Masa’il: Penjelasan Singkat’, dalam M. Imdadun Rahmad (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU, hlm. 9-10.
[74]AD/ART NU dalam Hasil-hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama & Konferensi Besar Nahdlatul Ulama, ( Jakarta, Sekretariat Jenderal PBNU dan Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU, 1998 ), hlm. 161.
[75]Marzuki Wahid, ‘Cara Membaca Tradisi Bahtsul Masa’il NU: Tatapan Reflektif’, dalam M. Imdadun Rahmad (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU,  hlm. 68.
[76]Keputusan Munas Alim Ulama Tahun 1992 Nomor: 01/ Munas/ 1992 tentang Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dalam Bahtsul Masa’il di Lingkungan NU, tentang hirarkhi dan Sifat Keputusan Bahtsul Masa’il, lihat dalam Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama, (Jakarta: LTN-PBNU dan Sumber Barokah Semarang, 1992), hlm. 6
[77]Marzuki Wahid, ‘Cara Membaca Tradisi Bahtsul Masa’il NU: Tatapan Reflektif’, dalam M. Imdadun Rahmad (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU,  hlm. 71.
[78]Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, hlm. 37.
[79]Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, hlm. 38.