Cari Blog Ini

Rabu, 22 September 2010

Peran Agama di Indonesia dalam Era Modern: Bangkit atau mati Suri?


Peran Agama di Indonesia dalam  Era Modern: Bangkit atau mati Suri?[1]
Oleh: Mahsun Mahfudz[2]  

A. Pendahuluan
1. Sosok Agama-agama di Tahun 1980-an[3].
Agama di tahun 80-an “go public” dalam dua arti. Pertama, ia memasuki “ruang publik” dan meraih “publisitas.” Kedua, sejumlah “tokoh-tokoh publik”---mass media, ilmuwan sosial, politikus profesional, dan ‘publik’ pada umumnya---mendadak sontak menaruh perhatian (lagi) pada Agama. Agama, dengan segala kebesaran jubah masa lalu yang telah dilucuti satu per satu, kembali tampil gagah masuk ke kancah kontestasi moral dan politik. Setidaknya ada empat fenomena yang mencolok yang dapat kita jadikan tolak ukur kembalinya Agama ke ruang publik ini: (1) Revolusi Islam di Iran; (2) naiknya gerakan Solidaritas di Polandia; (3) Peranan Katolisisme dalam revolusi Sandinista dan konflik-konflik berbau politik lainnya di  Amerika Latin; dan (4) mentas-nya fundamentalisme Protestantisme sebagai salah satu kekuatan politik yang pantas diperhitungkan di dalam kancah percaturan politik di Amerika (USA). Bagaimana kita mau membaca fenomena ini? Mengapa agama selama sejarah perkembangannya selalu menampilkan wajah Janus[4], di satu sisi membawa identitas eksklusif, partikularis, dan primordial; di sisi lain inklusif, universalis dan transenden? Kebangkitan agama menandai kebangkitan fundamentalisme dan peranannya di dalam resistensi ‘kaum tertindas’ serta bangkitnya “the powerless”.[5] Max Weber mungkin akan menemani kita meratap seandainya ia masih hidup sekarang dan menyaksikan pembalikan arah modernisasi, from rational collective action back to primitive rebellion. Pertanyaan yang pantas kita ajukan bersama dan akan coba dijawab dalam paper ini adalah mengapa agama mendesak untuk masuk kembali ke gelanggang publik?

2. Sosok Agama-agama di Tahun 2000-an
Terasa sekali bahwa citra agama di tahun 2000-an ini semakin terpuruk, terlebih setelah peristiwa serangan teroris 11 September 2001 terhadap pilar-pilar kekuasaan “sekuler” yaitu gedung World Trade Center (ekonomi) dan Pentagon (pemerintahan-militer). Ukuran keterpurukan ini tidak hanya berlaku di USA, namun seperti sebuah epidemi, ia menyebar ke seluruh dunia. Agama, lebih-lebih dalam hal ini Islam, diidentikkan dengan terorisme dan penghalalan jalan kekerasan. Masih belum puas? Bagaimana kita menilai meningkatnya aksi bom bunuh diri sejumlah muda-mudi Palestina (dengan keyakinan ‘mati syahid’ / menjadi martir di benak mereka) yang meluluh-lantakkan ketegaran Israel kalau pembenarannya bukan berasal dari keyakinan religius? Bagaimana menjelaskan orang-orang Muslim dan Kristen yang tanpa kenal lelah saling berjibaku-bunuh di arena perang Ambon-Maluku selama bertahun-tahun? Begitu juga baku bunuh Muslim-Kristen yang baru-baru ini (akhir November 2002) terjadi di Nigeria menyusul hebohnya kontes Ratu Ayu sejagat di sana? Lalu, menyangkut peledakan bom pada malam Natal 2000 di sejumlah tempat di Indonesia dan peledakan edan-edanan yang terjadi di Paddy’s Club dan Sari’s Club (Bali) 12 Oktober 2002 lalu yang, paling tidak sampai saat ini terbukti demikian, dilakukan oleh sekelompok psikopat yang membawa-bawa atau dikaitkan dengan kegiatan keagamaan tertentu (Jamaah Islamiyah)? Tidak begitu mengherankan kalau sebagian besar dari kita di satu sisi merasa kasihan dengan ‘nasib’ agama yang terus menerus di-abuse[6], menjadi tunggangan nafsu partai-partai politik entah untuk melanggengkan kekuasaan, entah untuk merebut kekuasaan, di sisi lain merasa terancam dengan keganasan segelintir penganut agama yang dengan entengnya menghabisi nyawa ratusan bahkan ribuan orang dengan mengibarkan panji-panji atau menyerukan ayat-ayat keyakinan religius mereka. Bagaimana kita, entah mengaku diri beragama atau tidak, mau menjernihkan image bahwa agama itu “identik dengan Kekerasan dan Terorisme”? Apakah memang ini peranan agama dalam arena publik modern di era milenium yang baru? Bagaimana gejala ini bisa diterangkan?

B. Pembahasan 
1. Weber: Sekularisasi sebagai Rasionalisasi dan “Sangkar Besi Modernitas[7]
Dalam bagian ini tidak akan dibahas secara panjang-lebar-mendalam jalur argumentasi dan pengamatan sosiologis Weber atas asal-usul dari etika Protestan dan spirit kapitalis. Cukuplah untuk dituturkan di sini sejumlah pandangan pokok Weber hingga ia sampai pada sebuah pesimisme termasyhur akan arah perkembangan modernitas dengan berkata “but fate decreed that the cloak should become an iron cage.”[8]  Bertolak dari world-view mitos menuju world-wiew rationality yang adalah bureaucracy, Weber menggali asal-usul spirit kapitalis dari peradaban Barat modern. Jalan-jalan menuju keselamatan yang dipahami oleh Protestantisme Lutheran (dan sejumlah sekte berikutnya seperti Kalvinisme, Pietisme dan Methodisme), konsekuensi logisnya adalah sekularisasi dalam artian orientasi praktis sehari-hari tidak lagi tertuju pada dunia yang lain (seperti pada Katolik, pada “surga” dan “akhir zaman”) tapi terlebih pada dunia sini di mana individu yang menghayati panggilan keselamatannya harus bekerja keras sebagai bagian dari pelaksanaan duty & calling.[9]  Dan itu dikonkretkan dengan menghindari gaya hidup yang enak-enakan, istirahat yang berlebihan, kegiatan-kegiatan yang tidak perlu seperti olahraga dan menonton teater, singkat kata sebuah asketisme terhadap kenikmatan duniawi. Di sisi lain semua tindakan dan upaya itu adalah jalur menuju sekularisasi yang radikal. Motif awal yang murni religius, dalam perkembangannya, menjadi sebuah orientasi praktis utilitarianis semata-mata. Oleh Ralph Schroeder dibahasakan, “sebuah etika protestan yang dihayati dalam kehidupan sehari-hari secara paradoks memberikan kontribusi pada penurunan pengaruh Protestantisme sebagai sebuah doktrin keagamaan”.[10] Lebih jauh lagi, dikatakan Schroeder bahwa jurang pemisah yang tidak bisa dijembatani antara yang sakral dan duniawi inilah yang membawa pada sekularisasi. Ketegangan antara keinginan Tuhan dan subordinasi manusia sekarang terjadi secara eksklusif dalam kesadaran penganut. Inilah sebuah logika korosif yang inheren dari Protestantisme, meminjam istilah David Martin.
Ciri sentral dari tesis Weber adalah rasionalisme yang terdiri dari rutinisasi dan disenchantment of the world dalam kehidupan sosial. Ketika orang tidak lagi membutuhkan pendasaran pada nilai-nilai religius dan kultural untuk setiap aktivitasnya di dunia ini, pada saat itu jugalah ia mengalami suatu rutinisasi dan sekaligus sekularisasi. Hilangnya berbagai elemen ke-religius-an secara progresif dari kehidupan sosial juga meninggalkan sebuah kekosongan yang bisa segera diisi oleh kekuatan-kekuatan sekuler, seperti pasar modern dan negara birokratis.  “Sangkar besi kehidupan sosial modern” lalu sebaiknya dimengerti sebagai penyesuaian diri yang semakin meningkat pada kepentingan-kepentingan material dan tuntutan-tuntutan akan keberadaan keduniawian sehari-hari. Kehidupan manusia menjadi terdominasi oleh kebutuhan-kebutuhan material dan manusia akan menyesuaikan diri dengan cara-cara paling rutin untuk menjamin kebutuhan-kebutuhannya tersebut.[11]
Apakah ramalan Weber tentang “sangkar besi modernitas” yang di dalamnya berisi burung-burung “specialists without spirit, sensualists without heart”, di mana nilai-nilai religius dan kultural dipinggirkan ke wilayah privat, itu terbukti valid dalam perjalanan waktu? Kiranya tidak sesederhana itu. Seperti akan kita buktikan di bawah ini, lewat analisis José Casanova, ada gerak menyeruak dari agama (deprivatisasi) di zaman modern untuk kembali masuk ke ruang publik dan ikut menentukan aturan permainan di dalamnya.

2. José Casanova dan deprivatisasi agama
a. Definisi dan Klarifikasi dari Sejumlah Konsep tentang Sekularisasi
Casanova percaya bahwa teori sekularisasi yang sudah kita pelajari sejauh ini semestinya membuat kita memikirkannya kembali atau me-reformulasi, dan bukan meninggalkannya diam-diam tanpa penyelesaian apapun yang dapat dipegang. Teori sekularisasi tunggal sebenarnya terdiri dari tiga proposisi yang berbeda yaitu sekularisasi sebagai religious decline, sekularisasi sebagai diferensiasi dan sekularisasi sebagai privatisasi. Untuk memulainya, hal menarik yang disodorkan Casanova adalah pertanyaan berikut: Siapa yang masih percaya pada mitos sekularisasi? Ada sejumlah penganut lama seperti Bryan Wilson dan Karel Dobbelaere yang masih percaya (dan mengajak orang untuk percaya) bahwa the theory of secularization still has much explanatory value in attempting to account for modern historical processes. Namun, mayoritas ahli sosiologi agama kini sudah berkemas-kemas mengepak intelektualitas mereka dan siap meninggalkan paradigma lama ini. Dipersenjatai dengan bukti-bukti “ilmiah”, para pakar sosiologi agama kini merasa lebih percaya-diri tatkala meramalkan masa depan yang cerah bagi agama. Mengapa ada pembalikan paradigma dalam memandang agama? Mengapa 20 tahun lalu belum ada seorangpun yang mendengarkan David Martin dan Andrew Greeley yang sudah memberi wanti-wanti dengan mempertanyakan konsep dan bukti empiris di balik teori sekularisasi? Casanova menawarkan jawaban lewat pen-distingsi-an. Ia membedakan antara sekularisasi sebagai konsep dengan sekularisasi sebagai teori. Setelah itu, ia menunjukkan dengan gigih kesalahan pokok baik para pembela maupun kritikus dari teori sekularisasi yaitu mencampur-adukkan proses-proses historis dari sekularisasi dengan konsekuensi-konsekuensi logis dari proses-proses tersebut terhadap agama. Untuk menyingkat alur, saya sampai pada kesimpulan Casanova di mana “paradigma dunia dibagi menjadi dua: dunia sini (bumi) dan dunia sana (surga). Dunia sini---dalam konteks Barat yang didominasi alam pikiran Kristen---dibagi menjadi dua yaitu dunia religius (Gereja) dan dunia sekular. Namun pembagian macam itu sudah kurang diperhatikan sekarang.[12] Yang lebih diperhatikan adalah bahwa dunia di sini yang tadinya all-encompassing religious (menyisakan ruang kecil saja bagi yang sekuler) kini telah berubah menjadi all-encompassing secular (menyisakan ruang kecil saja bagi yang religius).

b. Distingsi dan Klarifikasi atas Sejumlah Konsepsi tentang “yang publik dan yang privat” dari Agama
Cara berpikir yang dikotomis kerap kali ambigu dan terbuka untuk diperdebatkan sifatnya. Namun, suka tidak suka, distingsi privat/publik adalah salah satu jargon yang paling krusial dalam keseluruhan konsepsi mengenai tatanan sosial di zaman modern ini. Didahului oleh pernyataan yang nampaknya empiris “persoalan agama adalah persoalan pribadi” berenang-renanglah kita ke jantung modernitas itu sendiri: otonomi suara-hati (yang oleh banyak pihak diklaim sebagai “kebebasan perdana” sekaligus “prasyarat dari kebebasan-kebebasan modern lainnya)”. Dan kebebasan suara hati ini, sejauh ia dikaitkan dengan “the right to privacy”[13] yang menjadi pilar kokoh penyangga bangunan liberalisme dan individualisme modern, tidak bisa tidak akan melahirkan hakikat dari “privatisasi agama” dalam modernitas. Dan berbicara tentang “agama sudah menjadi privat” tidak bisa lain dari mengacu pada sebuah proses historis modern bernama ‘sekularisasi’ di mana yang sekular “mentas-bebas” (emancipated) dari kungkungan kontrol gereja dan juga norma-norma religius. Dan “yang sekular” itu kurang lebih bisa kita tunjuk pada 2 entitas yaitu modern secular state dan modern capitalist economy.   
Di sini yang pantas kita pertanyakan adalah apakah benar bahwa tembok-tembok yang (kita andaikan) memisahkan gereja (yang privat) dan negara (yang publik) itu sungguh-sungguh ada? Kalaupun ada, tidakkah tembok-tembok itu kini dirasakan banyak menyisakan retakan-retakan yang mana lewat itu kedua-duanya berinteraksi dan berinter-penetrasi? Meskipun boleh dikatakan bahwa institusi-institusi religius manapun menolak untuk dikesampingkan peranannya dalam permainan di ruang publik, atau, bila dibahasakan secara lain: menolak tempat yang sudah disediakan untuknya di lapangan privat, namun seberapa jauh penolakan ini punya suara? Maka, sembari kita menyaksikan panorama a process of ‘deprivatization’ of religion yang dipandu Casanova, kita juga perlu merogoh kantung bekal dalam-dalam dan menemukan di sana 3 butir kristal tujuan berikut ini sebelum melanjutkan perjalanan: bahwa klarifikasi yang privat/publik dalam buku ini bertujuan untuk (1) melayani kita dalam menemukan alat konseptual yang pas dalam menafsirkan “beraneka ragam agama publik” dalam dunia modern; (2) menyingkapkan batas sampai mana teori-teori tentang sekularisasi bekerja secara ganda: empiris-deskriptif untuk proses-proses sosial, dan preskriptif-normatif untuk masyarakat-masyarakat modern. Dengan demikian teori-teori sekularisasi itu menjadi alat bantu untuk secara ideologis melegitimasi bentuk historis-partikular dari pelembagaan modernitas; (3) menelaah apakah bukannya tidak mungkin bahwa agama-agama publik itu memainkan peranan dalam menarik kembali garis-garis batas yang telah begitu lama diperdebatkan antara ruang publik dan privat di kancah dunia modern ini.
Mengikuti alur pemikiran Jeff Weintraub dalam “The Theory and Politics of the Public/Private Distinction”[14]  ada 4 cara pokok untuk mengenali distingsi-distingsi yang dipakai dalam analisis sosial mengenai yang publik/privat, yaitu:
(1) model liberal-ekonomistis, di mana distingsi yang publik/privat itu lebih mengacu pada distingsi antara administrasi negara dengan ekonomi pasar.
(2) model republican-virtue (klasik) yang melihat ruang “publik” dalam termin komunitas dan kewarganegaraan politis, dan itu terbedakan dari dua hal “privat” yaitu pasar dan administrasi negara.
(3) Pendekatan yang dipelopori oleh sejumlah pakar sosiologi dan antropologi (seperti Philippe Ariès) yang melihat ruang “publik” sebagai a sphere of fluid and polymorphous sociability.
(4) sebuah kecenderungan yang muncul dalam sejarah ekonomi dan analisis kaum feminis, untuk menggagas distingsi antara ‘yang publik dengan yang privat’ dalam termin distingsi antara keluarga (privat) dengan ekonomi pasar (publik).
Yang masih perlu diuji dan kita diskusikan adalah memikirkan kembali beraneka macam cara/jalan di mana agama-agama, lama maupun baru, tradisional dan modern, mempunyai kemungkinan untuk memainkan peranan-peranannya dalam ruang publik masyarakat madani (civil society).

3. Peran Agama dalam Arena Ruang Publik Modern: Yang Normatif di bawah bayang-bayang Yang Faktual
a. Sedikit catatan tentang fundamentalisme (Giddens dan Juergensmeyer)
Anthony Giddens merumuskan fundamentalisme sebagai salah satu dari dua cara (frameworks) untuk mempertahankan tradisi. Tegasnya, fundamentalism is an assertion of formulaic truth without regard to consequences.[15] Dalam Runaway World,[16] Giddens mencari asal-usul kata fundamentalisme dan bagaimana makna kata yang asali itu mengalami sejumlah perubahan drastis dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini. Baginya, kemunculan fundamentalisme dalam wacana agama dan kehidupan sosial-politik adalah sesuatu yang tak terelakkan sebagai tanggapan terhadap pengaruh globalisasi yang begitu pervasive dalam kehidupan kita. Meskipun istilah fundamentalisme sendiri pada awalnya digunakan untuk memberi sebutan pada kepercayaan beberapa sekte Protestan di Amerika Serikat di awal abad ke-20, khususnya yang menolak teori Evolusi Darwin, namun baru pada tahun 1960-an istilah itu digunakan secara umum. Giddens berargumen bahwa fundamentalisme tidak sama dengan fanatisme atau otoritarianisme. Hasrat kaum fundamentalis pertama-tama adalah kembali ke kitab atau teks dasar (scriptural text) yang harus dibaca secara harafiah. Dan untuk menggolkan hasrat ini, mereka menuntut agar pemahaman atas doktrin yang diperoleh dengan cara membaca teks-teks suci literally seperti itu diterapkan pada kehidupan sosial, ekonomi atau politik. Untuk singkatnya, Giddens bagaimanapun berupaya untuk memberikan makna yang objektif dari fundamentalisme, yang jauh dari kesimpang-siuran dan distorsi. Dikatakan bahwa fundamentalisme adalah tradisi yang terkepung. Apa maksudnya terkepung di sini? Maksudnya, tradisi yang dipertahankan secara tradisional---dengan mengacu pada kebenaran ritual (formulaic truth)---di dunia yang dilanda globalisasi yang menuntut (bahkan meng-ilah-kan?) penalaran (rationality).[17]
Dengan demikian, fundamentalisme sama sekali tidak berkaitan dengan konteks kepercayaan, agama, atau yang lain. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kebenaran dari kepercayaan itu dipertahankan atau dinyatakan. Fundamentalisme tidak semestinya selalu dikaitkan dengan aliran-aliran kepercayaan terhadap Tuhan seperti misalnya agama-agama Samawi yaitu Yudaisme, Islam dan Kristen-Katolik. Tentara Merah Cina yang dengan setia berpegang pada Buku Merah Kecil Mao untuk membenarkan aksi-aksinya bisa dipandang sebagai fundamentalis. Selain itu, fundamentalisme juga bukan pertama-tama soal perlawanan budaya yang lebih tradisional terhadap Westernisasi---penolakan terhadap dekadensi Barat. Fundamentalisme dapat tumbuh berkembang di atas lahan semua jenis tradisi. Ia tidak memberi peluang pada perbedaan, pluralisme tafsir, atau keanekaragaman identitas. Fundamentalisme merupakan penolakan atas dialog sebagai cara paling efektif to deal with problems. Dialog dianggap sebagai jalan yang kompromistis dan dapat melemahkan semangat perjuangan karenanya pantas dihindari. Walaupun demikian, lanjut Giddens, apapun bentuk yang diambil—entah berbaju agama, etnis, kebangsaan atau panji partai-partai politik---fundamentalisme lebih menjanjikan sebuah problem (yang parah) daripada sebuah solusi yang melegakan. Mengapa? Sebab para penganut cara fundamentalistis dalam mendekati suatu persoalan begitu mudah tergelincir ke dalam penghalalan bentuk-bentuk kekerasan untuk memaksakan pandangannya. Lebih mengerikan lagi jika dalam memaksakan pandangan atau keyakinannya ini mereka diperlengkapi dengan senjata, atau mempunyai akses ke sumber-sumber persenjataan yang memadai seperti bom rakitan, senjata kimia dan nuklir, dan aneka macam senjata mematikan lainnya.
Mark Juergensmeyer mempunyai kemiripan pandangan dengan Giddens dalam hal menolak pendefinisian sempit dari fundamentalisme. Dalam bukunya Menentang Negara Sekular: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius,[18] ia berpendapat bahwa ada 3 alasan yang membuatnya menolak untuk menggunakan istilah “kaum fundamentalis” atau “fundamentalisme” karena (1) istilah ini bersifat merendahkan (derogatory), lebih bersifat tuduhan ketimbang penjelasan, lebih sebagai proyeksi kita daripada mendeskripsikan apa yang sesungguhnya; (2) fundamentalisme adalah kategori yang tidak tepat untuk membuat perbandingan lintas kultural. Sebab istilah ini berawal mula dari sekelompok kaum Protestan konservatif di awal abad ini untuk mendefinisikan apa yang mereka pegang sebagai “dasar-dasar” agama Kristen, termasuk kebenaran mutlak Kitab Suci; (3) fundamentalisme tidak membawa makna politis. Fundamentalisme lebih dikaitkan dengan keyakinan-keyakinan religius semata daripada perhatian yang besar terhadap masyarakat dan dunia. Padahal tidak demikianlah yang ia jumpai dan alami sendiri selama bertahun-tahun bergaul (juga mewawancarai) dengan mereka yang sering dicap sebagai “kaum fundamentalistis” itu.[19]
Alih-alih memakai istilah fundamentalisme, ia menggunakan istilah nasionalisme religius yang baginya adalah sebuah istilah yang lebih inklusif untuk menyebut orang-orang yang melebur perspektif keagamaan mereka dengan pandangan yang lebih luas tentang politik dan kehidupan sosial bangsa mereka. Kaum nasionalis religius memiliki kepentingan agama sekaligus religius. Bagi mereka tidak ada pemisahan atau pembedaan yang jelas antara agama dan politik (pembedaan atau distinctions adalah khas jalan pikiran Barat). Kaum nasionalis religius menolak ide-ide sekular namun tidak menolak sama sekali politik sekular, termasuk politik negara bangsa modern. Mereka modern tanpa menjadi modernis. Yang mereka tolak secara tegas adalah nasionalisme sekular yang telah kehilangan nilai-nilai moral dan spiritual. Sebagai kesimpulan, Juergensmeyer mengatakan bahwa harapan-harapan materi yang ditawarkan oleh ideologi sekular sering menyebabkan frustasi (khususnya di kalangan orang-orang marjinal atau yang dimarjinalkan) karena harapan-harapan itu tidak bisa mereka raih. Sebaliknya, harapan-harapan yang ditawarkan ideologi religius tidaklah mengecewakan sebagaimana ideologi sekular karena harapan-harapan itu tidak dituntut harus diraih di dunia (sekarang dan di sini).[20]

b. Kontekstualisasi: Peran Islam dalam Membangun Peradaban di Indonesia
Islam di Indonesia, baik ajarannya, namun lebih pada praktik dari ajaran tersebut oleh para penganutnya, belakangan ini sedang menuai sentimen kebencian, hujat dan caci-maki. Bagaimana mungkin agama yang (katanya) mengajarkan damai (sa-lâm) dan kepasrahan kepada Allah (is-lâm) serta menjunjung tinggi semangat kemanusiaan (habl min al-nâs) bisa sedemikian dinodai citra luhurnya oleh segelintir penganutnya yang melakukan tindakan-tindakan kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity), entah itu berupa perusakan tempat-tempat hiburan malam, pengeboman gereja dan pemberlakuan syariat Islam dengan ancaman hukuman yang tidak main-main bagi mereka yang melanggarnya.[21]
Apakah Islam sedang meruntuhkan dirinya sendiri dengan tindakan-tindakan destruktif semacam itu? Apakah bisa dikatakan bahwa pilihan untuk memasuki arena publik bagi mayoritas pemeluk Islam di Indonesia masih memegang world-view at the state level, yang dalam telaah Casanova di atas sudah tidak cocok lagi dengan trend modern sekular sekarang ini? Kita bisa bertanya lebih jauh, keterlibatan publik macam apa yang semestinya diupayakan oleh kaum Muslim di Indonesia supaya ia tidak semakin terpuruk dan dijauhkan dari pergaulan internasional? Menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah. Banyak sekali pertimbangan yang harus diikutsertakan di dalamnya guna mendapatkan jawaban yang komprehensif dan bermutu. Namun, setidaknya, saya mendapatkan kesan bahwa ada sejumlah pemikir Islam yang tidak terjebak dalam arus “Islam yang destruktif dan intoleran” sebagaimana sering kita tangkap dan amati.
Satu di antara sejumlah pemikir yang berwawasan luas itu ialah Azyumardi Azra yang dalam bukunya Islam Substantif Agar Umat Tidak Jadi Buih mengedepankan keyakinan bahwa Islam dapat terlibat dalam arena publik di Indonesia dengan masuk ke dalam gelanggang politik. Namun, politik semacam apa? Bukan lagi politik formalisme yang mengedepankan simbol-simbol keagamaan dan jargon-jargon religius, melainkan politik Islam yang lebih substantif. Jadi, apabila Islam mau berperan dalam politik---yang dimengerti sebagai tata urusan kenegaraan, hal-ihwal kekuasaan, dan kesejahteraan masyarakat luas---perannya adalah peran substantif, yaitu mengembangkan pesan-pesan moral dan tema-tema sentral seperti keadilan dan egalitarianisme.
Dalam salah satu bagian kritiknya terhadap umat Islam sendiri, “terpecahnya kelompok Muslim akibat kepentingan yang berbeda-beda” Azyumardi mengatakan:

“ketika terjadi Tragedi Jumat Hitam pada 13 November 1998 yang lalu, para mahasiswa yang berdemonstrasi menunaikan shalat di jalanan. Sementara itu, pamswakarsa dukungan pemerintah yang menentang keberadaan mereka, menyerukan nama Allah; sedangkan polisi-polisi meneriakkan ‘Allahu Akbar’ sebelum menembaki para demonstran. Itulah perwujudan terburuk penyalahgunaan dan penyelewengan simbol-simbol keagamaan dalam politik. Simbol-simbol keagamaan khusus bisa dengan mudah disalahgunakan oleh kelompok-kelompok politik yang bertikai. Fenomena ini membuat citra Islam menjadi buruk karena penggunaan bambu runcing dan senjata-senjata primitif lainnya dengan mengatasnamakan Islam telah menciptakan citra yang menakutkan. Sudah sering saya sampaikan bahwa kelompok-kelompok politik seharusnya menggunakan ajaran-ajaran Islam yang mempunyai kedalaman makna, seperti keadilan, demokrasi dan pertimbangan mendalam sebagai pedoman kegiatan politik mereka. Semua itu jauh lebih penting daripada sekedar simbol-simbol keagamaan.” [22]

Di tempat lain, ia juga mengkritik partai-partai politik yang menggunakan simbol-simbol agama sebagai sarana untuk mengumpulkan massa, namun tidak memperhatikan bahwa pada gilirannya hal itu akan menjadi politisasi agama. Politisasi agama demi kepentingan sekelompok orang adalah tindakan yang berbahaya karena akan terjadi truth claim dari partai-partai yang berbasiskan keagamaan atau umat Islam. Karenanya ia menganjurkan agar dalam Pemilu mendatang (2004) “para ulama, pemikir, para praktisi, dan elit politik kita untuk membuat semacam kesepakatan-kesepakatan dasar tentang wilayah-wilayah mana saja dari agama yang tidak boleh digunakan untuk alat politik …. seperti bidang-bidang yang menyangkut esensi agama: akidah, ritual, atau ibadah”.[23] Lalu bagaimana semestinya partai-partai agama menempatkan dirinya dalam kontestasi di ruang publik-kemasyarakatan itu? Pertama harus dicapai kesepakatan (konsensus) baik intern partai itu sendiri maupun dalam relasinya dengan partai-partai berbasis agama yang lain. Kedua, dalam partai-partai Islam sendiri perlu dicari kejelasan nilai-nilai Islam yang mana yang mau diekspresikan ke dalam badan politik. PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) , contohnya, lebih mengedepankan nilai-nilai Islam yang substantif seperti keadilan sosial, toleransi, penghormatan terhadap pluralisme, dan sebagainya. Hal ini cukup berbeda dengan Partai Keadilan yang menginginkan untuk mengeksplisitkan simbol-simbol Islam (bulan bintang, dsb).
Masih cukup banyak pokok-pokok lain yang dilontarkan oleh Azyumardi Azra seperti mengenai hubungan antara Islam dengan “kemaslahatan”[24] partai-partai politik yang membawa jargon-jargon agama, nasionalisme religius vs. nasionalisme sekular, semangat jihad untuk perdamaian, nilai-nilai Islam substantif dalam politik, dan beraneka macam tema tentang peran agama (secara konkret, historis, dan kontekstual) dalam arena publik.
Adapun benang merah yang mau saya tarik dari pengungkapan contoh-contoh ini adalah bahwa Islam dalam pandangan Azyumardi Azra mempunyai kans besar, bahkan keniscayaan, untuk memainkan peranannya dalam kehidupan di ruang publik, dalam hal ini politik, juga reformasi institusi pendidikan. Kalau kita memakai bingkai Casanova untuk menilai pemikiran Azyumardi Azra, memang tidak bisa dikatakan sepenuhnya bahwa agama (Islam) sedang bertarung at the level of civil society[25] melawan penetrasi pasar dan negara. Tahap perkembangan pemahaman keagamaan di Indonesia mungkin memang masih bergerak at the state level atau paling bagus at the political society level. Isu-isu yang diusung oleh agama dalam ruang publik di Indonesia kebanyakan masih berkisar pada hal-ihwal politik yang dimengerti sebagai perebutan jatah kursi di DPR dan (sayangnya) belum sampai ke level pemajuan hak-hak individu (misalnya kebebasan berpendapat dan berasosiasi), penyehatan lingkungan hidup, juga perlindungan hak-hak asasi manusia dari represi militer. Dalam tataran politik real, kita masih dalam tahap transisi dari régime penindas Orde Baru ke régime yang menjanjikan kebebasan dan partisipasi politis yang lebih besar. Dipandang secara optimis, masih nampak cercah-cercah pengharapan dalam waktu dekat ini, seiring dengan semakin meluasnya wacana publik yang membahas hal-ihwal toleransi, kerjasama dan dialog antar umat beragama, demokrasi. Bila hal-hal semacam ini semakin berkembang, dan kondisi-kondisi yang membuat iklim kebebasan berpartisipasi di ruang publik ini semakin kondusif, bisa dipastikan bahwa Islam mempunyai kontribusi positif dan peran signifikan dalam memajukan peradaban bangsa Indonesia dan keluar dari keterpurukan serta citra negatif yang begitu melekat padanya belakangan ini.

C. Kesimpulan
Sebagai sebuah solusi, saya tidak bisa menyangkal bahwa tawaran model diskursif (diskursus/dialog) sebagaimana diajukan oleh Casanova maupun Giddens, sekaligus yang membela concern publik atas the common good (misalnya human rights), menjadi paradigma yang harus dipegang oleh agama bila ia masih mau memainkan peranannya dalam arena publik modern yang bercirikan sekularisasi, diferensiasi dan rasionalisasi di segala bidang kehidupan. Agama yang berani keluar dari keterkungkungan worldview  “dunia di sana” sebagai kriteria satu-satunya dalam menilai kebahagiaan manusia dan melupakan upaya untuk menciptakan kebahagiaan di sini sudah jelas-jelas akan ditinggalkan oleh para pengikutnya. Walau demikian, bukan berarti agama harus larut dan menjadi sama dengan institusi-institusi modern lainnya. Agama tetap dapat memberikan arah serta pendasaran mutlak atas segala kesibukan di dunia ini pada Sang Khaliq. Jika tidak demikian, kita akan berada dalam kebingungan yang mendalam dalam hal pendasaran makna hidup dan perjuangan di dunia ini (semacam trilema Munchaüssen dalam Filsafat Ketuhanan.)
            Kita tinggal dalam dunia yang semakin plural dan saling-terhubung (interconnected). Yang perlu lebih dikembangkan adalah pemahaman, verstehen, akan “pihak lain” dan bukan pertama-tama tuduhan tidak berdasar atau prasangka kampungan. Agama, tradisi, akan lebih bisa diterima jika mereka tidak memaksakan aturan mainnya pada pihak lain, sesama peserta di kancah kehidupan ini, melainkan mengembangkan sikap dialog guna mencapai kesepakatan. Langkah selanjutnya tentulah bagaimana mentaati aturan permainan yang sudah ditetapkan bersama itu.

DAFTAR PUSTAAKA
Azra, Azyumardi. Islam Substantif Agar Umat tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan. Cetakan I, September 2000. <ed. : Idris Thaha.>
Casanova, José. Public Religions in the Modern World. Chicago and London: The University of Chicago Press. 1994.
---, “Religion, the New Millennium, and Globalization” yang bisa diakses di http://www.findarticles.com/cf_0/m0SOR/4_62/82477973/p1/article.jhtml?term=%2BGlobalization+%2BReligious+%2Baspects
Giddens, Anthony. “Living in a Post-Traditional World” dalam In Defence of Sociology. Cambridge: Polity Press. 1996. Hlm. 8-64.
---. Runaway World: How Globalisation Reshaping Our Lives. London: Profile Books Ltd. 1999. <diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Andry Kristiawan S. dan Yustina Koen S. menjadi Runaway World, Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2001.>
Juergensmeyer, Mark. Menentang Negara Sekular: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius. Bandung: Mizan. Cetakan I, Mei 1998.<diterjemahkan oleh Noorhaidi dari The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State, California: University of California Press, 1993.>
Schroeder, Ralph. Max Weber tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan. Jogjakarta: Kanisius. 2002. <terjemahan dari Max Weber and the Sociology of Culture. London: Sage Publications and New Delhi: Thousand Oaks. 1992.>
TEMPO Edisi 9-15 Desember 2002. <tentang Syariat Islam, hlm. 22-27.>
Weber, Max. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Translated by. Talcott Parsons. New York: Charles Scribner’s Sons. 1958.
Wibowo Wibisono, I. “Globalisasi dan Gereja (Indonesia)” dalam Quo Vadis Gereja Indonesia? Hidup Menggereja Kontekstual. Jogjakarta: Kanisius. 2000. <ed. : J. B. Banawiratma, SJ>
Woollacott, Martin. “Don’t criticize religion for killings done in God’s name” dalam Jakarta Post, Monday, December 9, 2002, p. 6.



[1] Tulisan ini terinspirasi dari dan merujuk pada tulisan saudara Hendar Putranto dengan judul Peran Agama di Indonesia dalam  Arena Dunia Modern: Tercampak atau Hadir Kembali?. Setelah melalui pembacaan ulang  berubah menjadi seperti yang dapat kita baca bersama dengan judul di atas. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih dan mohon ijin untuk menebarkan manfaat ilmu demi semata-mata agar tulisan ini semakin luas manfaatnya. Dicatat sebagai koleksi pribadi dalam rangka menambah khazanah keilmuan.
[2] Penulis adalah dosen IAIN Walisongo Semarang DPK pada STAINU Purworejo.
[3] Bagian ini, “Agama di tahun 80-an” mengikuti jalan pikiran José Casanova--- seorang profesor sosiologi di New School for Social Research, New York---dalam Public Religions in the Modern World, The University of Chicago Press, Chicago and London, 1994, hlm. 1-6.
[4] Dalam mitologi Romawi, Janus adalah dewa penjaga gerbang dan pintu yang digambarkan mempunyai dua wajah yang saling bertolak belakang. Mungkin format populer dari “wajah Janus” ini, dalam konteks Indonesia, adalah Dasamuka Rahwana. Hanya saja dalam model oposisi Biner yang ditawarkan José Casanova, format ‘sepuluh muka’ ini tidak mengena.
[5]Vaclav Havel, kelahiran 1936. Seorang penulis handal dan politikus ulung. Terkenal juga sebagai seorang penulis drama, sebelum akhirnya didaulat Bapak “Velvet Revolution” (pemimpin pergerakan sipil melawan invasi Soviet atas Czechoslovakia, 1968; sebelum terpilih menjadi presiden pada bulan Desember 1989), adalah tokoh yang menggelindingkan istilah “the power of the powerless” yang kemudian menyebar ke seantero dunia dan menjadi jargon perjuangan masyarakat tertindas.

[6] Martin Woollacott seorang pengamat agama dan jurnalis Guardian News Service (London) dengan tepat menyatakan hal itu dalam Jakarta Post, Monday, December 9, 2002, p. 6, dalam sebuah artikel yang berjudul “Don’t criticize religion for killings done in God’s name” sebagai berikut, “But with terrorists attacking Israelis in Kenya, Muslims and Christians killing each other in Nigeria, … this seems like an especially bad period for the abuse of religion. Religion continues to be a vehicle for political expression and change, whether peaceful or violent, in a way surprising to those who once expected a progressive secularization to ultimately reach every part of the globe.”
[7] Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, tr. by. Talcott Parsons, New York, Charles Scribner’s Sons, 1958, 292 pp (with endnotes and index). Bandingkan dengan penjelasan Ralph Schroeder, Max Weber and the Sociology of Culture, London, Sage Publications and New Delhi, Thousand Oaks, 1992, yang diterjemahkan oleh Ratna Noviani dan disunting serta diberi kata pengantar oleh Heru Nugroho menjadi Max Weber tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, Jogjakarta, Kanisius, 2002, hlm. 123-175.
[8] Max Weber, ibid., p. 181.
[9] Ibid., hlm. 61.
[10] Ralph Schroeder, op. cit., hlm. 130.
[11] Ibid., hlm. 147.

[12] Casanova sendiri, 6 tahun kemudian, dalam sebuah artikel yang ia tulis untuk menyongsong pergantian milenium dari kacamata agama berjudul “Religion, the New Millenium, and Globalization. Lihat http://www.findarticles.com/cf_0/m0SOR/4_62/82477973/p1/article.jhtml?term=%2BGlobalization+%2BReligious+%2Baspects> berkata bahwa dunia kekristenan Eropa (yang mendominasi panggung peradaban Barat selama kurang lebih 1000 tahun telah memasuki masa akhir kejayaannya, “As we are entering the third millennium, however, we are witnessing the end of hegemonic European Christianity due to a dual process of advanced secularization in post-Christian Europe and of the increasing globalization of a de-territorialized and de-centered Christianity. Thus, the one thousand year old association between Christianity and Western European civilization is coming to an end. Western Europe is less and less the core of Christian civilization and Christianity in its most dynamic forms today is less and less European.” Apakah ini suatu pertanda baik bagi kebangkitan ke-Kristenan yang lebih bercorak lokal-partikular? Misalnya Gereja Asia (inipun masih terlalu luas. Katakanlah: Gereja Indonesia, Gereja India, Gereja Thailand, dsb.), Gereja Afrika Selatan, Gereja Brazil, Gereja Polandia. Jawaban atas pertanyaan ini masih terbuka untuk diperdebatkan (Sebagai catatan: ciri lokal-partikular sekaligus universal Gereja selalu menjadi perdebatan sepanjang sejarahnya, namun terutama hal ini nampak lebih mencolok setelah Sidang Konsili Vatikan II, 1965)
Ibid., hlm. 40. Yang dimaksud dengan “the right to privacy” adalah pelembagaan ruang privat yang terbebas dari  campur tangan pemerintah dan kontrol gereja .(The modern institutionalization of a private sphere free from governmental intrusion as well as free from ecclesiastical control).
[13] Ibid., hlm. 40. Yang dimaksud dengan “the right to privacy” adalah pelembagaan ruang privat yang terbebas dari  campur tangan pemerintah dan kontrol gereja. (The modern institutionalization of a private sphere free from governmental intrusion as well as free from ecclesiastical control).  Sebagaimana dikutip oleh Casanova, op. cit., hlm.  41-42.
[14] Ibid., hlm. 40.
[15] Anthony Giddens, “Living in a Post-Traditional Society” dalam In Defence of Sociology, Cambridege, Polity Press, 1996, hlm. 56 – 63.
[16] Anthony Giddens, Runaway World: How Globalisation Reshaping Our Lives, London, Profile Books Ltd., 1999 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Andry Kristiawan S. dan Yustina Koen S. menjadi Runaway World, Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 45-47.
[17]Wibowo Wibisono dalam “Globalisasi dan Gereja (Indonesia)” yang dimuat dalam Quo Vadis Gereja Indonesia, Hidup Menggereja Kontekstual, Jogjakarta: Kanisius, 2000, hlm. 30, menafsirkan “fundamentalisme” Giddens sebagai satu dari dua cara untuk mempertahankan tradisi (cara tradisional dan cara modern). Cara yang tradisional di sini termasuk fundamentalisme agama di mana orang dituntut untuk kembali ke “teks” dasar yang harus dibaca secara harafiah. Namun, teks itu juga bisa berarti tradisi yang tidak tertulis. Karenanya, tidak hanya terbatas pada fundamentalisme agama, fundamentalisme juga dapat dimengerti sebagai fundamentalisme gender, fundamentalisme etnis, fundamentalisme bangsa, bahkan market fundamentalism.

[18] Mark Juergensmeyer, Menentang Negara Sekular: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius, Bandung, Mizan, Cetakan I, Mei 1998, hlm. 16-18. Diterjemahkan oleh Noorhaidi dari The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State, (California: University of California Press, 1993).

[19] Di antaranya adalah Syaikh Ahmed Yassin, pimpinan Hamas di Gaza, Saleh Zamlot, pemimpin mahasiswa, organisasi pembebasan Palestina, Gustavo Parajon, pemimpin CEPAD di Managua-Nikaragua, Rabbi Moshe Levinger, pemimpin Gush Emunim, Yerusalem, dan masih banyak lagi yang daftarnya bisa dibaca secara lengkap di hlm. 305-309.
[20] Ibid., hlm. 230.
[21] Mengenai ulasan reportatif tentang pemberlakuan syariat Islam di sejumlah wilayah di Indonesia ini bisa dilihat di TEMPO, 15 Desember 2002, hlm. 22-27. Di antaranya pemberlakuan syariat Islam di Sulawesi Selatan yang bervariasi dari mewajibkan penggunaan baju koko sampai ancaman hukuman qisash (potong tangan) bagi pencuri dan hukum razam bagi para penzina.
[22] Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat tidak Jadi Buih, Bandung, Mizan, Cetakan I, September 2000. (ed. : Idris Thaha.), hlm. 200.
[23] Ibid., hlm. 151.
[24] Dimengerti sebagai “hal-ihwal yang mendatangkan kebaikan, faedah bagi sebanyak mungkin orang atau, dengan istilah lain yang lebih populer dalam kamus perpolitikan, the common good.”
[25] Sebagai catatan term civil society ini kerapkali ditafsirkan sebagai masyarakat madani dalam wacana Islam di Indonesia

Peran Agama di Indonesia dalam Era Modern: Bangkit atau Mati Suri?


Peran Agama di Indonesia dalam  Era Modern: Bangkit atau Mati Suri?[1]
Oleh: Mahsun Mahfudz[2]  

A. Pendahuluan
1. Sosok Agama-agama di Tahun 1980-an[3].
Menurut Hendar Putranto ada tahun 80-an agama tampil “go public” dalam dua arti. Pertama, ia memasuki “ruang publik” dan meraih “publisitas.” Kedua, sejumlah “tokoh-tokoh publik”---mass media, ilmuwan sosial, politikus profesional, dan ‘publik’ pada umumnya---mendadak sontak menaruh perhatian (lagi) pada Agama. Agama, dengan segala kebesaran jubah masa lalu yang telah dilucuti satu per satu, kembali tampil gagah masuk ke kancah kontestasi moral dan politik. Setidaknya ada empat fenomena yang mencolok yang dapat kita jadikan tolak ukur kembalinya Agama ke ruang publik ini: (1) Revolusi Islam di Iran; (2) naiknya gerakan Solidaritas di Polandia; (3) Peranan Katolisisme dalam revolusi Sandinista dan konflik-konflik berbau politik lainnya di  Amerika Latin; dan (4) mentas-nya fundamentalisme Protestantisme sebagai salah satu kekuatan politik yang pantas diperhitungkan di dalam kancah percaturan politik di Amerika (USA). Bagaimana kita mau membaca fenomena ini? Mengapa agama selama sejarah perkembangannya selalu menampilkan wajah Janus[4], di satu sisi membawa identitas eksklusif, partikularis, dan primordial; di sisi lain inklusif, universalis dan transenden? Kebangkitan agama menandai kebangkitan fundamentalisme dan peranannya di dalam resistensi ‘kaum tertindas’ serta bangkitnya “the powerless”.[5] Max Weber mungkin akan menemani kita meratap seandainya ia masih hidup sekarang dan menyaksikan pembalikan arah modernisasi, from rational collective action back to primitive rebellion. Pertanyaan yang pantas kita ajukan bersama dan akan coba dijawab dalam paper ini adalah mengapa agama mendesak untuk masuk kembali ke gelanggang publik?

2. Sosok Agama-agama di Tahun 2000-an
Terasa sekali bahwa citra agama di tahun 2000-an ini semakin terpuruk, terlebih setelah peristiwa serangan teroris 11 September 2001 terhadap pilar-pilar kekuasaan “sekuler” yaitu gedung World Trade Center (ekonomi) dan Pentagon (pemerintahan-militer). Ukuran keterpurukan ini tidak hanya berlaku di USA, namun seperti sebuah epidemi, ia menyebar ke seluruh dunia. Agama, lebih-lebih dalam hal ini Islam, diidentikkan dengan terorisme dan penghalalan jalan kekerasan. Masih belum puas? Bagaimana kita menilai meningkatnya aksi bom bunuh diri sejumlah muda-mudi Palestina (dengan keyakinan ‘mati syahid’ / menjadi martir di benak mereka) yang meluluh-lantakkan ketegaran Israel kalau pembenarannya bukan berasal dari keyakinan religius? Bagaimana menjelaskan orang-orang Muslim dan Kristen yang tanpa kenal lelah saling berjibaku-bunuh di arena perang Ambon-Maluku selama bertahun-tahun? Begitu juga baku bunuh Muslim-Kristen yang baru-baru ini (akhir November 2002) terjadi di Nigeria menyusul hebohnya kontes Ratu Ayu sejagat di sana? Lalu, menyangkut peledakan bom pada malam Natal 2000 di sejumlah tempat di Indonesia dan peledakan edan-edanan yang terjadi di Paddy’s Club dan Sari’s Club (Bali) 12 Oktober 2002 lalu yang, paling tidak sampai saat ini terbukti demikian, dilakukan oleh sekelompok psikopat yang membawa-bawa atau dikaitkan dengan kegiatan keagamaan tertentu (Jamaah Islamiyah)? Tidak begitu mengherankan kalau sebagian besar dari kita di satu sisi merasa kasihan dengan ‘nasib’ agama yang terus menerus di-abuse[6], menjadi tunggangan nafsu partai-partai politik entah untuk melanggengkan kekuasaan, entah untuk merebut kekuasaan, di sisi lain merasa terancam dengan keganasan segelintir penganut agama yang dengan entengnya menghabisi nyawa ratusan bahkan ribuan orang dengan mengibarkan panji-panji atau menyerukan ayat-ayat keyakinan religius mereka. Bagaimana kita, entah mengaku diri beragama atau tidak, mau menjernihkan image bahwa agama itu “identik dengan Kekerasan dan Terorisme”? Apakah memang ini peranan agama dalam arena publik modern di era milenium yang baru? Bagaimana gejala ini bisa diterangkan?

B. Pembahasan 
1. Weber: Sekularisasi sebagai Rasionalisasi dan “Sangkar Besi Modernitas[7]
Dalam bagian ini tidak akan dibahas secara panjang-lebar-mendalam jalur argumentasi dan pengamatan sosiologis Weber atas asal-usul dari etika Protestan dan spirit kapitalis. Cukuplah untuk dituturkan di sini sejumlah pandangan pokok Weber hingga ia sampai pada sebuah pesimisme termasyhur akan arah perkembangan modernitas dengan berkata “but fate decreed that the cloak should become an iron cage.”[8]  Bertolak dari world-view mitos menuju world-wiew rationality yang adalah bureaucracy, Weber menggali asal-usul spirit kapitalis dari peradaban Barat modern. Jalan-jalan menuju keselamatan yang dipahami oleh Protestantisme Lutheran (dan sejumlah sekte berikutnya seperti Kalvinisme, Pietisme dan Methodisme), konsekuensi logisnya adalah sekularisasi dalam artian orientasi praktis sehari-hari tidak lagi tertuju pada dunia yang lain (seperti pada Katolik, pada “surga” dan “akhir zaman”) tapi terlebih pada dunia sini di mana individu yang menghayati panggilan keselamatannya harus bekerja keras sebagai bagian dari pelaksanaan duty & calling.[9]  Dan itu dikonkretkan dengan menghindari gaya hidup yang enak-enakan, istirahat yang berlebihan, kegiatan-kegiatan yang tidak perlu seperti olahraga dan menonton teater, singkat kata sebuah asketisme terhadap kenikmatan duniawi. Di sisi lain semua tindakan dan upaya itu adalah jalur menuju sekularisasi yang radikal. Motif awal yang murni religius, dalam perkembangannya, menjadi sebuah orientasi praktis utilitarianis semata-mata. Oleh Ralph Schroeder dibahasakan, “sebuah etika protestan yang dihayati dalam kehidupan sehari-hari secara paradoks memberikan kontribusi pada penurunan pengaruh Protestantisme sebagai sebuah doktrin keagamaan”.[10] Lebih jauh lagi, dikatakan Schroeder bahwa jurang pemisah yang tidak bisa dijembatani antara yang sakral dan duniawi inilah yang membawa pada sekularisasi. Ketegangan antara keinginan Tuhan dan subordinasi manusia sekarang terjadi secara eksklusif dalam kesadaran penganut. Inilah sebuah logika korosif yang inheren dari Protestantisme, meminjam istilah David Martin.
Ciri sentral dari tesis Weber adalah rasionalisme yang terdiri dari rutinisasi dan disenchantment of the world dalam kehidupan sosial. Ketika orang tidak lagi membutuhkan pendasaran pada nilai-nilai religius dan kultural untuk setiap aktivitasnya di dunia ini, pada saat itu jugalah ia mengalami suatu rutinisasi dan sekaligus sekularisasi. Hilangnya berbagai elemen ke-religius-an secara progresif dari kehidupan sosial juga meninggalkan sebuah kekosongan yang bisa segera diisi oleh kekuatan-kekuatan sekuler, seperti pasar modern dan negara birokratis.  “Sangkar besi kehidupan sosial modern” lalu sebaiknya dimengerti sebagai penyesuaian diri yang semakin meningkat pada kepentingan-kepentingan material dan tuntutan-tuntutan akan keberadaan keduniawian sehari-hari. Kehidupan manusia menjadi terdominasi oleh kebutuhan-kebutuhan material dan manusia akan menyesuaikan diri dengan cara-cara paling rutin untuk menjamin kebutuhan-kebutuhannya tersebut.[11]
Apakah ramalan Weber tentang “sangkar besi modernitas” yang di dalamnya berisi burung-burung “specialists without spirit, sensualists without heart”, di mana nilai-nilai religius dan kultural dipinggirkan ke wilayah privat, itu terbukti valid dalam perjalanan waktu? Kiranya tidak sesederhana itu. Seperti akan kita buktikan di bawah ini, lewat analisis José Casanova, ada gerak menyeruak dari agama (deprivatisasi) di zaman modern untuk kembali masuk ke ruang publik dan ikut menentukan aturan permainan di dalamnya.

2. José Casanova dan deprivatisasi agama
a. Definisi dan Klarifikasi dari Sejumlah Konsep tentang Sekularisasi
Casanova percaya bahwa teori sekularisasi yang sudah kita pelajari sejauh ini semestinya membuat kita memikirkannya kembali atau me-reformulasi, dan bukan meninggalkannya diam-diam tanpa penyelesaian apapun yang dapat dipegang. Teori sekularisasi tunggal sebenarnya terdiri dari tiga proposisi yang berbeda yaitu sekularisasi sebagai religious decline, sekularisasi sebagai diferensiasi dan sekularisasi sebagai privatisasi. Untuk memulainya, hal menarik yang disodorkan Casanova adalah pertanyaan berikut: Siapa yang masih percaya pada mitos sekularisasi? Ada sejumlah penganut lama seperti Bryan Wilson dan Karel Dobbelaere yang masih percaya (dan mengajak orang untuk percaya) bahwa the theory of secularization still has much explanatory value in attempting to account for modern historical processes. Namun, mayoritas ahli sosiologi agama kini sudah berkemas-kemas mengepak intelektualitas mereka dan siap meninggalkan paradigma lama ini. Dipersenjatai dengan bukti-bukti “ilmiah”, para pakar sosiologi agama kini merasa lebih percaya-diri tatkala meramalkan masa depan yang cerah bagi agama. Mengapa ada pembalikan paradigma dalam memandang agama? Mengapa 20 tahun lalu belum ada seorangpun yang mendengarkan David Martin dan Andrew Greeley yang sudah memberi wanti-wanti dengan mempertanyakan konsep dan bukti empiris di balik teori sekularisasi? Casanova menawarkan jawaban lewat pen-distingsi-an. Ia membedakan antara sekularisasi sebagai konsep dengan sekularisasi sebagai teori. Setelah itu, ia menunjukkan dengan gigih kesalahan pokok baik para pembela maupun kritikus dari teori sekularisasi yaitu mencampur-adukkan proses-proses historis dari sekularisasi dengan konsekuensi-konsekuensi logis dari proses-proses tersebut terhadap agama. Untuk menyingkat alur, saya sampai pada kesimpulan Casanova di mana “paradigma dunia dibagi menjadi dua: dunia sini (bumi) dan dunia sana (surga). Dunia sini---dalam konteks Barat yang didominasi alam pikiran Kristen---dibagi menjadi dua yaitu dunia religius (Gereja) dan dunia sekular. Namun pembagian macam itu sudah kurang diperhatikan sekarang.[12] Yang lebih diperhatikan adalah bahwa dunia di sini yang tadinya all-encompassing religious (menyisakan ruang kecil saja bagi yang sekuler) kini telah berubah menjadi all-encompassing secular (menyisakan ruang kecil saja bagi yang religius).

b. Distingsi dan Klarifikasi atas Sejumlah Konsepsi tentang “yang publik dan yang privat” dari Agama
Cara berpikir yang dikotomis kerap kali ambigu dan terbuka untuk diperdebatkan sifatnya. Namun, suka tidak suka, distingsi privat/publik adalah salah satu jargon yang paling krusial dalam keseluruhan konsepsi mengenai tatanan sosial di zaman modern ini. Didahului oleh pernyataan yang nampaknya empiris “persoalan agama adalah persoalan pribadi” berenang-renanglah kita ke jantung modernitas itu sendiri: otonomi suara-hati (yang oleh banyak pihak diklaim sebagai “kebebasan perdana” sekaligus “prasyarat dari kebebasan-kebebasan modern lainnya)”. Dan kebebasan suara hati ini, sejauh ia dikaitkan dengan “the right to privacy”[13] yang menjadi pilar kokoh penyangga bangunan liberalisme dan individualisme modern, tidak bisa tidak akan melahirkan hakikat dari “privatisasi agama” dalam modernitas. Dan berbicara tentang “agama sudah menjadi privat” tidak bisa lain dari mengacu pada sebuah proses historis modern bernama ‘sekularisasi’ di mana yang sekular “mentas-bebas” (emancipated) dari kungkungan kontrol gereja dan juga norma-norma religius. Dan “yang sekular” itu kurang lebih bisa kita tunjuk pada 2 entitas yaitu modern secular state dan modern capitalist economy.   
Di sini yang pantas kita pertanyakan adalah apakah benar bahwa tembok-tembok yang (kita andaikan) memisahkan gereja (yang privat) dan negara (yang publik) itu sungguh-sungguh ada? Kalaupun ada, tidakkah tembok-tembok itu kini dirasakan banyak menyisakan retakan-retakan yang mana lewat itu kedua-duanya berinteraksi dan berinter-penetrasi? Meskipun boleh dikatakan bahwa institusi-institusi religius manapun menolak untuk dikesampingkan peranannya dalam permainan di ruang publik, atau, bila dibahasakan secara lain: menolak tempat yang sudah disediakan untuknya di lapangan privat, namun seberapa jauh penolakan ini punya suara? Maka, sembari kita menyaksikan panorama a process of ‘deprivatization’ of religion yang dipandu Casanova, kita juga perlu merogoh kantung bekal dalam-dalam dan menemukan di sana 3 butir kristal tujuan berikut ini sebelum melanjutkan perjalanan: bahwa klarifikasi yang privat/publik dalam buku ini bertujuan untuk (1) melayani kita dalam menemukan alat konseptual yang pas dalam menafsirkan “beraneka ragam agama publik” dalam dunia modern; (2) menyingkapkan batas sampai mana teori-teori tentang sekularisasi bekerja secara ganda: empiris-deskriptif untuk proses-proses sosial, dan preskriptif-normatif untuk masyarakat-masyarakat modern. Dengan demikian teori-teori sekularisasi itu menjadi alat bantu untuk secara ideologis melegitimasi bentuk historis-partikular dari pelembagaan modernitas; (3) menelaah apakah bukannya tidak mungkin bahwa agama-agama publik itu memainkan peranan dalam menarik kembali garis-garis batas yang telah begitu lama diperdebatkan antara ruang publik dan privat di kancah dunia modern ini.
Mengikuti alur pemikiran Jeff Weintraub dalam “The Theory and Politics of the Public/Private Distinction”[14]  ada 4 cara pokok untuk mengenali distingsi-distingsi yang dipakai dalam analisis sosial mengenai yang publik/privat, yaitu:
(1) model liberal-ekonomistis, di mana distingsi yang publik/privat itu lebih mengacu pada distingsi antara administrasi negara dengan ekonomi pasar.
(2) model republican-virtue (klasik) yang melihat ruang “publik” dalam termin komunitas dan kewarganegaraan politis, dan itu terbedakan dari dua hal “privat” yaitu pasar dan administrasi negara.
(3) Pendekatan yang dipelopori oleh sejumlah pakar sosiologi dan antropologi (seperti Philippe Ariès) yang melihat ruang “publik” sebagai a sphere of fluid and polymorphous sociability.
(4) sebuah kecenderungan yang muncul dalam sejarah ekonomi dan analisis kaum feminis, untuk menggagas distingsi antara ‘yang publik dengan yang privat’ dalam termin distingsi antara keluarga (privat) dengan ekonomi pasar (publik).
Yang masih perlu diuji dan kita diskusikan adalah memikirkan kembali beraneka macam cara/jalan di mana agama-agama, lama maupun baru, tradisional dan modern, mempunyai kemungkinan untuk memainkan peranan-peranannya dalam ruang publik masyarakat madani (civil society).

3. Peran Agama dalam Arena Ruang Publik Modern: Yang Normatif di bawah bayang-bayang Yang Faktual
a. Sedikit catatan tentang fundamentalisme (Giddens dan Juergensmeyer)
Anthony Giddens merumuskan fundamentalisme sebagai salah satu dari dua cara (frameworks) untuk mempertahankan tradisi. Tegasnya, fundamentalism is an assertion of formulaic truth without regard to consequences.[15] Dalam Runaway World,[16] Giddens mencari asal-usul kata fundamentalisme dan bagaimana makna kata yang asali itu mengalami sejumlah perubahan drastis dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini. Baginya, kemunculan fundamentalisme dalam wacana agama dan kehidupan sosial-politik adalah sesuatu yang tak terelakkan sebagai tanggapan terhadap pengaruh globalisasi yang begitu pervasive dalam kehidupan kita. Meskipun istilah fundamentalisme sendiri pada awalnya digunakan untuk memberi sebutan pada kepercayaan beberapa sekte Protestan di Amerika Serikat di awal abad ke-20, khususnya yang menolak teori Evolusi Darwin, namun baru pada tahun 1960-an istilah itu digunakan secara umum. Giddens berargumen bahwa fundamentalisme tidak sama dengan fanatisme atau otoritarianisme. Hasrat kaum fundamentalis pertama-tama adalah kembali ke kitab atau teks dasar (scriptural text) yang harus dibaca secara harafiah. Dan untuk menggolkan hasrat ini, mereka menuntut agar pemahaman atas doktrin yang diperoleh dengan cara membaca teks-teks suci literally seperti itu diterapkan pada kehidupan sosial, ekonomi atau politik. Untuk singkatnya, Giddens bagaimanapun berupaya untuk memberikan makna yang objektif dari fundamentalisme, yang jauh dari kesimpang-siuran dan distorsi. Dikatakan bahwa fundamentalisme adalah tradisi yang terkepung. Apa maksudnya terkepung di sini? Maksudnya, tradisi yang dipertahankan secara tradisional---dengan mengacu pada kebenaran ritual (formulaic truth)---di dunia yang dilanda globalisasi yang menuntut (bahkan meng-ilah-kan?) penalaran (rationality).[17]
Dengan demikian, fundamentalisme sama sekali tidak berkaitan dengan konteks kepercayaan, agama, atau yang lain. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kebenaran dari kepercayaan itu dipertahankan atau dinyatakan. Fundamentalisme tidak semestinya selalu dikaitkan dengan aliran-aliran kepercayaan terhadap Tuhan seperti misalnya agama-agama Samawi yaitu Yudaisme, Islam dan Kristen-Katolik. Tentara Merah Cina yang dengan setia berpegang pada Buku Merah Kecil Mao untuk membenarkan aksi-aksinya bisa dipandang sebagai fundamentalis. Selain itu, fundamentalisme juga bukan pertama-tama soal perlawanan budaya yang lebih tradisional terhadap Westernisasi---penolakan terhadap dekadensi Barat. Fundamentalisme dapat tumbuh berkembang di atas lahan semua jenis tradisi. Ia tidak memberi peluang pada perbedaan, pluralisme tafsir, atau keanekaragaman identitas. Fundamentalisme merupakan penolakan atas dialog sebagai cara paling efektif to deal with problems. Dialog dianggap sebagai jalan yang kompromistis dan dapat melemahkan semangat perjuangan karenanya pantas dihindari. Walaupun demikian, lanjut Giddens, apapun bentuk yang diambil—entah berbaju agama, etnis, kebangsaan atau panji partai-partai politik---fundamentalisme lebih menjanjikan sebuah problem (yang parah) daripada sebuah solusi yang melegakan. Mengapa? Sebab para penganut cara fundamentalistis dalam mendekati suatu persoalan begitu mudah tergelincir ke dalam penghalalan bentuk-bentuk kekerasan untuk memaksakan pandangannya. Lebih mengerikan lagi jika dalam memaksakan pandangan atau keyakinannya ini mereka diperlengkapi dengan senjata, atau mempunyai akses ke sumber-sumber persenjataan yang memadai seperti bom rakitan, senjata kimia dan nuklir, dan aneka macam senjata mematikan lainnya.
Mark Juergensmeyer mempunyai kemiripan pandangan dengan Giddens dalam hal menolak pendefinisian sempit dari fundamentalisme. Dalam bukunya Menentang Negara Sekular: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius,[18] ia berpendapat bahwa ada 3 alasan yang membuatnya menolak untuk menggunakan istilah “kaum fundamentalis” atau “fundamentalisme” karena (1) istilah ini bersifat merendahkan (derogatory), lebih bersifat tuduhan ketimbang penjelasan, lebih sebagai proyeksi kita daripada mendeskripsikan apa yang sesungguhnya; (2) fundamentalisme adalah kategori yang tidak tepat untuk membuat perbandingan lintas kultural. Sebab istilah ini berawal mula dari sekelompok kaum Protestan konservatif di awal abad ini untuk mendefinisikan apa yang mereka pegang sebagai “dasar-dasar” agama Kristen, termasuk kebenaran mutlak Kitab Suci; (3) fundamentalisme tidak membawa makna politis. Fundamentalisme lebih dikaitkan dengan keyakinan-keyakinan religius semata daripada perhatian yang besar terhadap masyarakat dan dunia. Padahal tidak demikianlah yang ia jumpai dan alami sendiri selama bertahun-tahun bergaul (juga mewawancarai) dengan mereka yang sering dicap sebagai “kaum fundamentalistis” itu.[19]
Alih-alih memakai istilah fundamentalisme, ia menggunakan istilah nasionalisme religius yang baginya adalah sebuah istilah yang lebih inklusif untuk menyebut orang-orang yang melebur perspektif keagamaan mereka dengan pandangan yang lebih luas tentang politik dan kehidupan sosial bangsa mereka. Kaum nasionalis religius memiliki kepentingan agama sekaligus religius. Bagi mereka tidak ada pemisahan atau pembedaan yang jelas antara agama dan politik (pembedaan atau distinctions adalah khas jalan pikiran Barat). Kaum nasionalis religius menolak ide-ide sekular namun tidak menolak sama sekali politik sekular, termasuk politik negara bangsa modern. Mereka modern tanpa menjadi modernis. Yang mereka tolak secara tegas adalah nasionalisme sekular yang telah kehilangan nilai-nilai moral dan spiritual. Sebagai kesimpulan, Juergensmeyer mengatakan bahwa harapan-harapan materi yang ditawarkan oleh ideologi sekular sering menyebabkan frustasi (khususnya di kalangan orang-orang marjinal atau yang dimarjinalkan) karena harapan-harapan itu tidak bisa mereka raih. Sebaliknya, harapan-harapan yang ditawarkan ideologi religius tidaklah mengecewakan sebagaimana ideologi sekular karena harapan-harapan itu tidak dituntut harus diraih di dunia (sekarang dan di sini).[20]

b. Kontekstualisasi: Peran Islam dalam Membangun Peradaban di Indonesia
Islam di Indonesia, baik ajarannya, namun lebih pada praktik dari ajaran tersebut oleh para penganutnya, belakangan ini sedang menuai sentimen kebencian, hujat dan caci-maki. Bagaimana mungkin agama yang (katanya) mengajarkan damai (sa-lâm) dan kepasrahan kepada Allah (is-lâm) serta menjunjung tinggi semangat kemanusiaan (habl min al-nâs) bisa sedemikian dinodai citra luhurnya oleh segelintir penganutnya yang melakukan tindakan-tindakan kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity), entah itu berupa perusakan tempat-tempat hiburan malam, pengeboman gereja dan pemberlakuan syariat Islam dengan ancaman hukuman yang tidak main-main bagi mereka yang melanggarnya.[21]
Apakah Islam sedang meruntuhkan dirinya sendiri dengan tindakan-tindakan destruktif semacam itu? Apakah bisa dikatakan bahwa pilihan untuk memasuki arena publik bagi mayoritas pemeluk Islam di Indonesia masih memegang world-view at the state level, yang dalam telaah Casanova di atas sudah tidak cocok lagi dengan trend modern sekular sekarang ini? Kita bisa bertanya lebih jauh, keterlibatan publik macam apa yang semestinya diupayakan oleh kaum Muslim di Indonesia supaya ia tidak semakin terpuruk dan dijauhkan dari pergaulan internasional? Menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah. Banyak sekali pertimbangan yang harus diikutsertakan di dalamnya guna mendapatkan jawaban yang komprehensif dan bermutu. Namun, setidaknya, saya mendapatkan kesan bahwa ada sejumlah pemikir Islam yang tidak terjebak dalam arus “Islam yang destruktif dan intoleran” sebagaimana sering kita tangkap dan amati.
Satu di antara sejumlah pemikir yang berwawasan luas itu ialah Azyumardi Azra yang dalam bukunya Islam Substantif Agar Umat Tidak Jadi Buih mengedepankan keyakinan bahwa Islam dapat terlibat dalam arena publik di Indonesia dengan masuk ke dalam gelanggang politik. Namun, politik semacam apa? Bukan lagi politik formalisme yang mengedepankan simbol-simbol keagamaan dan jargon-jargon religius, melainkan politik Islam yang lebih substantif. Jadi, apabila Islam mau berperan dalam politik---yang dimengerti sebagai tata urusan kenegaraan, hal-ihwal kekuasaan, dan kesejahteraan masyarakat luas---perannya adalah peran substantif, yaitu mengembangkan pesan-pesan moral dan tema-tema sentral seperti keadilan dan egalitarianisme.
Dalam salah satu bagian kritiknya terhadap umat Islam sendiri, “terpecahnya kelompok Muslim akibat kepentingan yang berbeda-beda” Azyumardi mengatakan:

“ketika terjadi Tragedi Jumat Hitam pada 13 November 1998 yang lalu, para mahasiswa yang berdemonstrasi menunaikan shalat di jalanan. Sementara itu, pamswakarsa dukungan pemerintah yang menentang keberadaan mereka, menyerukan nama Allah; sedangkan polisi-polisi meneriakkan ‘Allahu Akbar’ sebelum menembaki para demonstran. Itulah perwujudan terburuk penyalahgunaan dan penyelewengan simbol-simbol keagamaan dalam politik. Simbol-simbol keagamaan khusus bisa dengan mudah disalahgunakan oleh kelompok-kelompok politik yang bertikai. Fenomena ini membuat citra Islam menjadi buruk karena penggunaan bambu runcing dan senjata-senjata primitif lainnya dengan mengatasnamakan Islam telah menciptakan citra yang menakutkan. Sudah sering saya sampaikan bahwa kelompok-kelompok politik seharusnya menggunakan ajaran-ajaran Islam yang mempunyai kedalaman makna, seperti keadilan, demokrasi dan pertimbangan mendalam sebagai pedoman kegiatan politik mereka. Semua itu jauh lebih penting daripada sekedar simbol-simbol keagamaan.” [22]

Di tempat lain, ia juga mengkritik partai-partai politik yang menggunakan simbol-simbol agama sebagai sarana untuk mengumpulkan massa, namun tidak memperhatikan bahwa pada gilirannya hal itu akan menjadi politisasi agama. Politisasi agama demi kepentingan sekelompok orang adalah tindakan yang berbahaya karena akan terjadi truth claim dari partai-partai yang berbasiskan keagamaan atau umat Islam. Karenanya ia menganjurkan agar dalam Pemilu mendatang (2004) “para ulama, pemikir, para praktisi, dan elit politik kita untuk membuat semacam kesepakatan-kesepakatan dasar tentang wilayah-wilayah mana saja dari agama yang tidak boleh digunakan untuk alat politik …. seperti bidang-bidang yang menyangkut esensi agama: akidah, ritual, atau ibadah”.[23] Lalu bagaimana semestinya partai-partai agama menempatkan dirinya dalam kontestasi di ruang publik-kemasyarakatan itu? Pertama harus dicapai kesepakatan (konsensus) baik intern partai itu sendiri maupun dalam relasinya dengan partai-partai berbasis agama yang lain. Kedua, dalam partai-partai Islam sendiri perlu dicari kejelasan nilai-nilai Islam yang mana yang mau diekspresikan ke dalam badan politik. PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) , contohnya, lebih mengedepankan nilai-nilai Islam yang substantif seperti keadilan sosial, toleransi, penghormatan terhadap pluralisme, dan sebagainya. Hal ini cukup berbeda dengan Partai Keadilan yang menginginkan untuk mengeksplisitkan simbol-simbol Islam (bulan bintang, dsb).
Masih cukup banyak pokok-pokok lain yang dilontarkan oleh Azyumardi Azra seperti mengenai hubungan antara Islam dengan “kemaslahatan”[24] partai-partai politik yang membawa jargon-jargon agama, nasionalisme religius vs. nasionalisme sekular, semangat jihad untuk perdamaian, nilai-nilai Islam substantif dalam politik, dan beraneka macam tema tentang peran agama (secara konkret, historis, dan kontekstual) dalam arena publik.
Adapun benang merah yang mau saya tarik dari pengungkapan contoh-contoh ini adalah bahwa Islam dalam pandangan Azyumardi Azra mempunyai kans besar, bahkan keniscayaan, untuk memainkan peranannya dalam kehidupan di ruang publik, dalam hal ini politik, juga reformasi institusi pendidikan. Kalau kita memakai bingkai Casanova untuk menilai pemikiran Azyumardi Azra, memang tidak bisa dikatakan sepenuhnya bahwa agama (Islam) sedang bertarung at the level of civil society[25] melawan penetrasi pasar dan negara. Tahap perkembangan pemahaman keagamaan di Indonesia mungkin memang masih bergerak at the state level atau paling bagus at the political society level. Isu-isu yang diusung oleh agama dalam ruang publik di Indonesia kebanyakan masih berkisar pada hal-ihwal politik yang dimengerti sebagai perebutan jatah kursi di DPR dan (sayangnya) belum sampai ke level pemajuan hak-hak individu (misalnya kebebasan berpendapat dan berasosiasi), penyehatan lingkungan hidup, juga perlindungan hak-hak asasi manusia dari represi militer. Dalam tataran politik real, kita masih dalam tahap transisi dari régime penindas Orde Baru ke régime yang menjanjikan kebebasan dan partisipasi politis yang lebih besar. Dipandang secara optimis, masih nampak cercah-cercah pengharapan dalam waktu dekat ini, seiring dengan semakin meluasnya wacana publik yang membahas hal-ihwal toleransi, kerjasama dan dialog antar umat beragama, demokrasi. Bila hal-hal semacam ini semakin berkembang, dan kondisi-kondisi yang membuat iklim kebebasan berpartisipasi di ruang publik ini semakin kondusif, bisa dipastikan bahwa Islam mempunyai kontribusi positif dan peran signifikan dalam memajukan peradaban bangsa Indonesia dan keluar dari keterpurukan serta citra negatif yang begitu melekat padanya belakangan ini.

C. Kesimpulan
Sebagai sebuah solusi, saya tidak bisa menyangkal bahwa tawaran model diskursif (diskursus/dialog) sebagaimana diajukan oleh Casanova maupun Giddens, sekaligus yang membela concern publik atas the common good (misalnya human rights), menjadi paradigma yang harus dipegang oleh agama bila ia masih mau memainkan peranannya dalam arena publik modern yang bercirikan sekularisasi, diferensiasi dan rasionalisasi di segala bidang kehidupan. Agama yang berani keluar dari keterkungkungan worldview  “dunia di sana” sebagai kriteria satu-satunya dalam menilai kebahagiaan manusia dan melupakan upaya untuk menciptakan kebahagiaan di sini sudah jelas-jelas akan ditinggalkan oleh para pengikutnya. Walau demikian, bukan berarti agama harus larut dan menjadi sama dengan institusi-institusi modern lainnya. Agama tetap dapat memberikan arah serta pendasaran mutlak atas segala kesibukan di dunia ini pada Sang Khaliq. Jika tidak demikian, kita akan berada dalam kebingungan yang mendalam dalam hal pendasaran makna hidup dan perjuangan di dunia ini (semacam trilema Munchaüssen dalam Filsafat Ketuhanan.)
            Kita tinggal dalam dunia yang semakin plural dan saling-terhubung (interconnected). Yang perlu lebih dikembangkan adalah pemahaman, verstehen, akan “pihak lain” dan bukan pertama-tama tuduhan tidak berdasar atau prasangka kampungan. Agama, tradisi, akan lebih bisa diterima jika mereka tidak memaksakan aturan mainnya pada pihak lain, sesama peserta di kancah kehidupan ini, melainkan mengembangkan sikap dialog guna mencapai kesepakatan. Langkah selanjutnya tentulah bagaimana mentaati aturan permainan yang sudah ditetapkan bersama itu.

DAFTAR PUSTAAKA
Azra, Azyumardi. Islam Substantif Agar Umat tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan. Cetakan I, September 2000. <ed. : Idris Thaha.>
Casanova, José. Public Religions in the Modern World. Chicago and London: The University of Chicago Press. 1994.
---, “Religion, the New Millennium, and Globalization” yang bisa diakses di http://www.findarticles.com/cf_0/m0SOR/4_62/82477973/p1/article.jhtml?term=%2BGlobalization+%2BReligious+%2Baspects
Giddens, Anthony. “Living in a Post-Traditional World” dalam In Defence of Sociology. Cambridge: Polity Press. 1996. Hlm. 8-64.
---. Runaway World: How Globalisation Reshaping Our Lives. London: Profile Books Ltd. 1999. <diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Andry Kristiawan S. dan Yustina Koen S. menjadi Runaway World, Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2001.>
Juergensmeyer, Mark. Menentang Negara Sekular: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius. Bandung: Mizan. Cetakan I, Mei 1998.<diterjemahkan oleh Noorhaidi dari The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State, California: University of California Press, 1993.>
Schroeder, Ralph. Max Weber tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan. Jogjakarta: Kanisius. 2002. <terjemahan dari Max Weber and the Sociology of Culture. London: Sage Publications and New Delhi: Thousand Oaks. 1992.>
TEMPO Edisi 9-15 Desember 2002. <tentang Syariat Islam, hlm. 22-27.>
Weber, Max. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Translated by. Talcott Parsons. New York: Charles Scribner’s Sons. 1958.
Wibowo Wibisono, I. “Globalisasi dan Gereja (Indonesia)” dalam Quo Vadis Gereja Indonesia? Hidup Menggereja Kontekstual. Jogjakarta: Kanisius. 2000. <ed. : J. B. Banawiratma, SJ>
Woollacott, Martin. “Don’t criticize religion for killings done in God’s name” dalam Jakarta Post, Monday, December 9, 2002, p. 6.



[1] Tulisan ini terinspirasi dari dan merujuk pada tulisan saudara Hendar Putranto dengan judul Peran Agama di Indonesia dalam  Arena Dunia Modern: Tercampak atau Hadir Kembali?. Setelah melalui pembacaan ulang oleh penulis berubah menjadi seperti yang dapat kita baca bersama dengan judul di atas. Ditulis sebagai koleksi non-komersial. Dalam penulisan ini saya harus menyampaikan ucapan terima kasih kepada penulis aslinya sebagaimana disebut di atas dan sekaligus mohon ijin agar dapat ikut menebarkan manfaat ilmu kepada sesama.
[2] Penulis adalah dosen IAIN Walisongo Semarang DPK pada STAINU Purworejo.
[3] Bagian ini, “Agama di tahun 80-an” mengikuti jalan pikiran José Casanova--- seorang profesor sosiologi di New School for Social Research, New York---dalam Public Religions in the Modern World, The University of Chicago Press, Chicago and London, 1994, hlm. 1-6.
[4] Dalam mitologi Romawi, Janus adalah dewa penjaga gerbang dan pintu yang digambarkan mempunyai dua wajah yang saling bertolak belakang. Mungkin format populer dari “wajah Janus” ini, dalam konteks Indonesia, adalah Dasamuka Rahwana. Hanya saja dalam model oposisi Biner yang ditawarkan José Casanova, format ‘sepuluh muka’ ini tidak mengena.
[5]Vaclav Havel, kelahiran 1936. Seorang penulis handal dan politikus ulung. Terkenal juga sebagai seorang penulis drama, sebelum akhirnya didaulat Bapak “Velvet Revolution” (pemimpin pergerakan sipil melawan invasi Soviet atas Czechoslovakia, 1968; sebelum terpilih menjadi presiden pada bulan Desember 1989), adalah tokoh yang menggelindingkan istilah “the power of the powerless” yang kemudian menyebar ke seantero dunia dan menjadi jargon perjuangan masyarakat tertindas.

[6] Martin Woollacott seorang pengamat agama dan jurnalis Guardian News Service (London) dengan tepat menyatakan hal itu dalam Jakarta Post, Monday, December 9, 2002, p. 6, dalam sebuah artikel yang berjudul “Don’t criticize religion for killings done in God’s name” sebagai berikut, “But with terrorists attacking Israelis in Kenya, Muslims and Christians killing each other in Nigeria, … this seems like an especially bad period for the abuse of religion. Religion continues to be a vehicle for political expression and change, whether peaceful or violent, in a way surprising to those who once expected a progressive secularization to ultimately reach every part of the globe.”
[7] Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, tr. by. Talcott Parsons, New York, Charles Scribner’s Sons, 1958, 292 pp (with endnotes and index). Bandingkan dengan penjelasan Ralph Schroeder, Max Weber and the Sociology of Culture, London, Sage Publications and New Delhi, Thousand Oaks, 1992, yang diterjemahkan oleh Ratna Noviani dan disunting serta diberi kata pengantar oleh Heru Nugroho menjadi Max Weber tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, Jogjakarta, Kanisius, 2002, hlm. 123-175.
[8] Max Weber, ibid., p. 181.
[9] Ibid., hlm. 61.
[10] Ralph Schroeder, op. cit., hlm. 130.
[11] Ibid., hlm. 147.

[12] Casanova sendiri, 6 tahun kemudian, dalam sebuah artikel yang ia tulis untuk menyongsong pergantian milenium dari kacamata agama berjudul “Religion, the New Millenium, and Globalization. Lihat http://www.findarticles.com/cf_0/m0SOR/4_62/82477973/p1/article.jhtml?term=%2BGlobalization+%2BReligious+%2Baspects> berkata bahwa dunia kekristenan Eropa (yang mendominasi panggung peradaban Barat selama kurang lebih 1000 tahun telah memasuki masa akhir kejayaannya, “As we are entering the third millennium, however, we are witnessing the end of hegemonic European Christianity due to a dual process of advanced secularization in post-Christian Europe and of the increasing globalization of a de-territorialized and de-centered Christianity. Thus, the one thousand year old association between Christianity and Western European civilization is coming to an end. Western Europe is less and less the core of Christian civilization and Christianity in its most dynamic forms today is less and less European.” Apakah ini suatu pertanda baik bagi kebangkitan ke-Kristenan yang lebih bercorak lokal-partikular? Misalnya Gereja Asia (inipun masih terlalu luas. Katakanlah: Gereja Indonesia, Gereja India, Gereja Thailand, dsb.), Gereja Afrika Selatan, Gereja Brazil, Gereja Polandia. Jawaban atas pertanyaan ini masih terbuka untuk diperdebatkan (Sebagai catatan: ciri lokal-partikular sekaligus universal Gereja selalu menjadi perdebatan sepanjang sejarahnya, namun terutama hal ini nampak lebih mencolok setelah Sidang Konsili Vatikan II, 1965)
Ibid., hlm. 40. Yang dimaksud dengan “the right to privacy” adalah pelembagaan ruang privat yang terbebas dari  campur tangan pemerintah dan kontrol gereja .(The modern institutionalization of a private sphere free from governmental intrusion as well as free from ecclesiastical control).
[13] Ibid., hlm. 40. Yang dimaksud dengan “the right to privacy” adalah pelembagaan ruang privat yang terbebas dari  campur tangan pemerintah dan kontrol gereja. (The modern institutionalization of a private sphere free from governmental intrusion as well as free from ecclesiastical control).  Sebagaimana dikutip oleh Casanova, op. cit., hlm.  41-42.
[14] Ibid., hlm. 40.
[15] Anthony Giddens, “Living in a Post-Traditional Society” dalam In Defence of Sociology, Cambridege, Polity Press, 1996, hlm. 56 – 63.
[16] Anthony Giddens, Runaway World: How Globalisation Reshaping Our Lives, London, Profile Books Ltd., 1999 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Andry Kristiawan S. dan Yustina Koen S. menjadi Runaway World, Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 45-47.
[17]Wibowo Wibisono dalam “Globalisasi dan Gereja (Indonesia)” yang dimuat dalam Quo Vadis Gereja Indonesia, Hidup Menggereja Kontekstual, Jogjakarta: Kanisius, 2000, hlm. 30, menafsirkan “fundamentalisme” Giddens sebagai satu dari dua cara untuk mempertahankan tradisi (cara tradisional dan cara modern). Cara yang tradisional di sini termasuk fundamentalisme agama di mana orang dituntut untuk kembali ke “teks” dasar yang harus dibaca secara harafiah. Namun, teks itu juga bisa berarti tradisi yang tidak tertulis. Karenanya, tidak hanya terbatas pada fundamentalisme agama, fundamentalisme juga dapat dimengerti sebagai fundamentalisme gender, fundamentalisme etnis, fundamentalisme bangsa, bahkan market fundamentalism.

[18] Mark Juergensmeyer, Menentang Negara Sekular: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius, Bandung, Mizan, Cetakan I, Mei 1998, hlm. 16-18. Diterjemahkan oleh Noorhaidi dari The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State, (California: University of California Press, 1993).

[19] Di antaranya adalah Syaikh Ahmed Yassin, pimpinan Hamas di Gaza, Saleh Zamlot, pemimpin mahasiswa, organisasi pembebasan Palestina, Gustavo Parajon, pemimpin CEPAD di Managua-Nikaragua, Rabbi Moshe Levinger, pemimpin Gush Emunim, Yerusalem, dan masih banyak lagi yang daftarnya bisa dibaca secara lengkap di hlm. 305-309.
[20] Ibid., hlm. 230.
[21] Mengenai ulasan reportatif tentang pemberlakuan syariat Islam di sejumlah wilayah di Indonesia ini bisa dilihat di TEMPO, 15 Desember 2002, hlm. 22-27. Di antaranya pemberlakuan syariat Islam di Sulawesi Selatan yang bervariasi dari mewajibkan penggunaan baju koko sampai ancaman hukuman qisash (potong tangan) bagi pencuri dan hukum razam bagi para penzina.
[22] Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat tidak Jadi Buih, Bandung, Mizan, Cetakan I, September 2000. (ed. : Idris Thaha.), hlm. 200.
[23] Ibid., hlm. 151.
[24] Dimengerti sebagai “hal-ihwal yang mendatangkan kebaikan, faedah bagi sebanyak mungkin orang atau, dengan istilah lain yang lebih populer dalam kamus perpolitikan, the common good.”
[25] Sebagai catatan term civil society ini kerapkali ditafsirkan sebagai masyarakat madani dalam wacana Islam di Indonesia