Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Oktober 2010

IMPLEMENTASI TEORI PROGRESIVISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Oleh: Mahsun Mahfudz

A. Pendahuluan
Dewasa ini pendidikan Islam di Indonesia sering mendapatkan kritikan dari berbagai pihak. Diantara kritikan tersebut adalah bahwa pendidikan Islam di Indonesia belum menemukan sebuah paradigma dan cetak biru (blue print) yang sustainable, baiak dalam tataran teoritis-filosofis maupun operasionalnya, sehingga terkesan pendidikan hanya sebagai ajang percobaan (trial and error). Oleh karenya wajar jika muncul sebuah pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya pendidikan Islam di Indonesia tidak mewujud secara faktual. Pendapat seperti itu kiranya cukup beralasan karena penampilan pendidikan itu sendiri yang masih abstrak belum menyentuh realitas budaya masyarakat Indonesia.
Indikator yang paling mudah ditemukan untuk menguatakan pendapat diatas adalah implementasi pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini masih banyak mengalami kendala berupa tujuan pembelajaran masih terfokus pada aspek kognitif, masih banyak guru tidak profesional, kurikulum yang sering berubah dan tidak akuntabel, metode pembelajaran yang tidak tepat, dan lain sebagainya. Oleh karena itu sudah saatnya dilakukan upaya perbaikan atas kondisi tersebut dengan melacak pada akar masalah yang paling mendasar secara filosofis, dengan harapan dapat terungkap sebab-sebab essensial kegagalan sitem pendidikan Islam di Indonesia.
Dalam konteks pendidikan modern (Barat) yang diilhami oleh jiwa renaissance (pencerahan) dan dimatangkan oleh gerakan aufklarung dengan mengedepankan corak pemikiran rasionalis dan empirik, berkembang berbagai konsep atau teori-teori pendidikan seperti nativisme, empirisisme, dan konvergensi. Disamping itu juga muncul aliran progresivisme, essensialisme, perenialisme, dan rekonstruksionisme. Progresivisme sesungguhnya berkembang pada awal abad XX di Barat (Amerika Serikat), Aliran ini lahir sebagai pembaharu dalam dunia filsafat pendidikan terutama pada saat itu tampil sebagai lawan kebijakan-kebijakan konvensional yang diwarisi dari generasi sebelumnya pada abad XIX. Pandangan-pandangan progresivisme dianggap sebagai ”the liberal road to culture” dalam artian bahwa liberal berarti fleksibel, berani, toleran, dan bersikap terbuka.
Makalah ini ingin mencoba mengelaborasi konsep pemikiran pendidikan Barat yaitu progresivisme dengan menggunakan kaca mata pendidikan Islam. Harapannya adalah munculnya paradigma konseptual baru tentang pendidkan Islam yang di ramu dari bahan baku teori Barat diolah dengan resep pendidikan islam menjadi sebuah paradigma pendidikan dengan cita rasa khas Islam di Indonesia.

B. Pandangan Progresivisme tentang Pendidikan
1. Kurikulum
Kurikulum sebagai jantung pendidikan tidak saja dimaknai sebagai seperangkat rangkaian mata pelajaran yang ditawarkan sebagai gaet dalam sebuah program pendidikan di Sekolah tetapi sesungguhnya kurikulum mengandung arti lebih luas Oleh karenanya banyak pakar memaknai kurikulum dengan titik tekan yang berbeda. Ambil contoh Hirts dan Petters menekankan pada aspek funsional yakni kurikulum diposisikan sebagai rambu-rambu yang menjadi acuan dalam proses belajar mengajar. Sedangkan Musgave menekankan paa ruang lingkup pengalaman belajar yang meliputi pengalaman di luar amaupun di dalam sekolah. Pendapat Musgave ini seirama dengan pendapat Romine Stephen yang mengatakan bahwa kurikulum menvakup segala materi pelajaran, aktivitas dan pengalaman anak didik, di mana ia berada dalam control lembaga pendidikan, baik yang terjadi di luar atau pun di dalam kelas.
Dengan dua ragam penekanan arti kurikulum di atas dapat dipahami bahwa karena kurikulum berfungsi sebagai rambu-rambu dalam proses pembelajaran, kurikulum harus bersifat luwes sesuai dengan situasi dan kondisi. Untuk itu kurikulum harus disusun berdasarkan realitas kehidupan dan pengalaman sehari-hari peserta didik, disesuaikan dengan minat peserta didik, bukan atas dasar selera guru. Progresivisme sebagai salah satu aliran dalam filsafat pendidikan ingin mengembangkan “child centered curriculum (kurikulum berpusat pada anak), artinya pendidikan diorientasikan pada pengembangan individu anak didik, memberikan mereka kebebasan berkreasi, beraktivitas, dan berkembang sebagai pribadi mandiri dengan jalan memberi penghayatan-penghayatan emosional, intelektual, sosial yang seluas dan sekaya mungkin. Menurut William H. Kilpatrick, kurikulum yang baik didasarkan tiga prinsip; pertama, peningkatan kualitas hidup anak sebaik-baiknya menurut tingkat perkembangan. Kedua, menjadikan kehidupan actual kea rah perkembangan dalam suatu kehidupan yang bulat dan menyeluruh. Ketiga, mengembangkan aspek kreatifitas kehidupan yang merupakan tolok ukur utama bagi keberhasilan sekolah, sehingga anak didik berkembang dalam kemampuannya yang aktual, secara aktif memikirkan hal-hal baru untuk dipraktikkan dalam bertindak secara bijaksana melalui pertimbangan yang matang.
Dari berbagai pandangan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kurikulum pendidikan progresivisme menekankan pada how to think (bagaimana berpikir), how to do (bagaimana bekerja), bukan what to think dan what to do artinya lebih menekankan dan mengutamakan metode dari pada materi. Tujuannya adalah memberikan individu kemampuan yang memungkinkannya untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang selalu berubah. Dengan menekankan pada aspek metodologi kurikulum yang disusun berdasar landasan filosofi progresivisme akan dapat menyesuaikan situasi dan kondisi, luwes atau fleksibel dalam menghadapi perubahan, serta familier terhadap masa kini. Progresivisme memandang masa lalu sebagai cermin untuk memahami masa kini dan masa kini sebagai landasan bagi masa yang akan datang.

2. Pendidik
Guru menurut pandangan filsafat progresivisme adalah sebagai penasihat, pembimbing, pengarah dan bukan sebagai orang pemegang otoritas penuh yang dapat berbuat secara apa saja (otoriter) terhadap muridnya. Sebagai pembimbing, karena guru mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang banyak di bidang anak didik, dan secara otomatis semestinya ia akan menjadi penasihat ketika anak didik mengalami jalan buntu dalam memecahkan persoalan yang dihadapi. Oleh karena itu peran utama pendidik/guru sesungguhnya adalah membantu peserta didik/murid bagaimana mereka harus belajar dengan diri mereka sendiri, sehingga pesrta didik akan berkembang menjadi orang dewasa yang mandiri dalam suatu lingkungannya yang berubah.
Menurut John Dewey, guru harus mengetahui ke arah mana anak akan berkembang, karena anak hidup dalam lingkungan yang senantiasa terjadi proses interaksi dalam sebuah situasi yang silih berganti dan sustainable (berkelanjutan). Prinsip keberlanjutan dalam penerapannya berarti bahwa masa depan harus selalu diperhitungkan di setiap tahapan dalam proses pendidikan. Guru harus mampu menciptakan suasana kondusif di kelas dengan cara membangungun kesadaran bersama setiap individu di kelas tersebut akan tujuan bersama sesuai dengan tanggungjawab masing-masing dalam konteks pembelajaran di kelas, serta konsisten pada tujuan tersebut.
Dengan argumentasi di atas, sesungguhnya Dewey telah meletakkan amanat dan tanggungjawab yang berat kepada guru. Karena alasan inilah ia tergelincir dalam pernyataan hiperbolanya dengan menggunakan bahas Injil-Sosial dengan mengatakan bahwa “guru sebagai penjaga pintu kerajaan Allah yang sesungguhnya”.
Teori progresivisme ingin mengatakan bahwa tugas guru/pendidik sebagai pembimbing aktivitas anak didik dan berusaha memberikan kemungkinan lingkungan terbaiak untuk belajar. Sebagai Pembimbing ia tidak boleh menonjolkan diri, ia harus bersikap demokratis dan memperhatikan hak-hak alamiah peserta didik secara keseluruhan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologis dengan keyakinan bahwa memberi motivasi lebih penting dari pada hanya memberi informasi. Pendidik/guru dan anak didik/murid bekerjasama dalam mengembangkan program belajar dan dalam aktualisasi potensi anak didik dalam kepemimpinan dan kemampuan lain yang dikehendaki.
Dengan demikian dalam teori ini pendidik/guru harus jeli, telaten, konsisten (istiqamah), luwes, dan cermat dalam mengamati apa yang menjadi kebutuhan anak didik, menguji dan mengevaluasi kepampuan-kemampuannya dalam tataran praktis dan realistis. Hasil evaluasi menjadi acuan untuk menentukan pola dan strategi pembelajaran ke depan. Dengan kata lain guru harus mempunyai kreatifitas dalam mengelola peserta didik, kreatifitas itu akan berkembang dan berfariasi sebanyak fariasi peserta didik yang ia hadapi.

3. Peserta Didik
Teori progresivisme menempatkan pesrta didik/murid pada posisi sentral dalam melakukan pembelajaran. Mengapa, karena murid mempunyai kecenderungan alamiah untuk belajar dan menemukan sesuatu tentang dunia di sekitarnya dan juga memiliki kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus terpenuhi dalam kehidupannya. Kecenderungan dan kebutuhan tersebut akan memberikan kepada murid suatu minat yang jelas dalam mempelajari berbagai persoalan.
Anak didik adalah makhluk yang mempunyai kelebihan dibanding dengan makhluk-makhluk lain karena peserta didik/murid mempunyai potensi kecerdasan yang merupakan salah satu kelebihannya. Oleh karenanya setiap murid mempunyai potensi kemampuan sebagai bekal untuk menghadapi dan memecahkan permasalahan-permasalahannya. Tugas guru adalah meningkatkan kecerdasan potensial (żaka’) yang telah dimiliki sejak lahir oleh setiap murid menjadi kecerdasan realitas dalam lapangan pendidikan untuk dapat merespon segala perubahan yang terjadi di lingkungannya.
Secara institusional sekolah harus memlihara dan manjamin kebebasan berpikir dan berkreasi kepada para murid, sehingga mereka memilki kemandirian dan aktualisasi diri, namun pendidik/guru tetap berkewajiban mengawasi dan mengontrol mereka guna meluruskan kesalahan yang dihadapi murid khusunya dalam segi metodologi berpikir. Dengan demikian prasyarat yang harus dilakukan oleh peserta didik/murid adalah sikap aktif, dan kreatif, bukan hanya menunggu seorang guru mengisi dan mentransfer ilmunya kepada mereka. Murid tidak boleh ibarat “botol kosong” yang akan berisi ketika diisi oleh penggunanya/pemiliknya. Jika demikian yang terjadi maka proses belajar mengajar hanyalah berwujud transfer of knowledge dari seorang guru kepada murid, dan ini tidak akan mencerdasakan sehingga dapat dibilang tujuan pendidikan gagal.

4. Milleu dan Potensi dasar Manusia
Setiap bayi yang lahir sesungguhnya telah dikarunia oleh Allah SWT sebuah potensi pemahaman, mengingat, kesediaan/kesanggupan, keadilan, perhatian umum, sensitifitas terhadap lingkungan dan sebagainya yang oleh bahasa al-Qur’an disebut fitrah. Fitrah itu akan berkembang dan terbentuk oleh lingkungan/milleu dimana anak itu tumbuh dan berkembang. Salah satu dari lingkungan adalah situasi dan kondisi pendidikan yang dialaminya termasuk siapa yang mendidik dan di mana ia dididik, dalam proses seperti apa pendidikan itu ia terima.
Pada waktu anak-anak memasuki pendidikan formal, sebenarnya di dadalam diri peserta didik/murid telah terdapat tiga dorongan dasar yakni dorongan untuk berkomunikasi, dorongan untuk menyelidiki, dan dorongan untuk mengungkapkan dan mengaktualisasikan diri secara baik. Ketiga dorongan tersebut merupakan sumber alami, modal dasar bagi pelatihan yang padanya bergantung pertumbuhan si anak.
Progresivisme sebetulnya sangat respek terhadap potensi individu untuk berkembang, tetapi di sisi lain aliran ini juga percaya bahwa pendidikan merupakan bagian yang integral dengan masyarakat. Oleh karena itu Hilda Taba mengkatagorikan progresivisme ke dalam dua aliran yaitu pertama, bergerak melalui pendekatan psikologi dengan orientasi pengembangan individu, dan kedua, bergerak melalui pendekatan sosiologi dengan orientasi rekonstruksi sosial.
Dalam kontek implementasinya, progresivisme ingin menyatakan bahwa tidak boleh ada dikotomi antara individu dan masyarakat, artinya setiap individu dalam proses pembelajaran harus dikaitkan langsung dengan masyarakat. Mendikotomi antara individu dan masyarakat pada posisi yang berbeda apa lagi menjauhkan individu dari masyarakat sesungguhnya akan membuka peluang gap antara keduanya, padahal sesungguhnya salah satu tujuan pendidikan adalah membawa peserta didik untuk bermasyarakat. Menurut teori filsafat progresivisme, lingkungan memiliki tiga fungsi penting yaitu pertama, melakukan penyederhanaan dan pengaturan unsur-unsur sosial yang bermanfaat bagi anak didik. Kedua, melakukan purifikasi dan idealisasi pola kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Ketiga, menciptakan keseimbangan yang lebih luas antara berbagai elemen yang ada dalam lingkungan sosial. Dengan demikian Sekolah merupakan lembaga masyarakat, bukan suatu yang terpisah, yang harus senantiasa memberikan kontribusi positif dalam pengembangan masyarakat. Di sinilah pentingnya sekolah mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi memperhatikan milleu yang ada, agar keberadaan sekolah menjadi sesuatu yang berarti bagi lingkungan tidak hanya sibuk memikirka otonomi kampus tetapi lupa tanggungjawab sosialnya.
Oleh sebab itu, demikian Ki Supriyoko memberi saran, sebaiknya PTS mengaplikasikan pendekatan mutu secara lebih konkret dalam penyelenggaraan pendidikan demi meningkatkan kualitasnya. "Jangan hanya sibuk memikirkan masalah otonomi kampus atau masalah profit. Lebih baik mengusahakan peningkatan kualitas. Nah, untuk itu perlu ada peraturan-peraturan dari negara menyangkut pendirian PTS.

5. Teknik dan Proses belajar
Pada dasarnya proses pendidikan menyangkut dua aspek yaitu psikologi dan sosiologi. Dipandang dari aspek psikologi, pendidikan harus mampu mengetahui tenaga atau daya atau potensi yang dimiliki oleh anak didik dan kemudian harus dikembangkan keberadaannya. Dari aspek sosiologi, pendidikan merupakan sebuah kegiatan yang tidak dapat dilepaskan dari lingkungan masyarakat yang melingkupinya, sebab antara sekolah sebagai tempat dilakukannya proses pendidikan dan masyarakat selalu berdampingan keberadannya. Pendidikan juga merupakan sarana pembaharuan dan perbahan dalam masyarakat (agent of people cange), dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang baik menjadi lebih baik dan seterusnya.
Dalam konteks teknik dan proses belajar makalah ini mencoba menekankan pembahasasannya pada aspek psikologi. Sebagaimana dikutip oleh Slamet Yahya, John Dewey sebagai tokoh sentral dalam pembahasan ini, membagi perkembangan anak menjadi tiga fase. Pertama, fase bermain, yaitu pada anak usia empat samapai delapan tahun. Pada fase ini ditandai dengan hubungan personal dan sosial secara langsung. Anak mulai berkembang dari interaksi dengan lingkungan rumah tangga menjadi kehidupan sosial di sekitarnya. Kedua, ketika anak berumur delapan tahun sampai dua belas tahun. Fase ini ditandai dengan respon dan perhatian sepontan terhadap sesuatu. Pada usia ini anak bersikap kritis, banyak menanyakan hal-hal disekitarnya, mereka sudah mulai bisa diajari keterampilan dasar, karena perkembangan inderanya sudah berfungsi secara permanent. Fase ketiga, ketika anak berusia dua belas ke atas, pada periode ini ditandai dengan adanya perhatian reflektif terhadap sesuatu, anak sudah mulai bisa bereksperimen mencari masalah, mengidentifikasi dan sekaligus mencoba mencari solusinya.
Dari paparan fase di atas dapat dipahami bahwa pada fase pertama anak belum memiliki kemampuan untuk menghubungkan pengalaman aktif dengan pengalaman pasif, keduanya masing-masing dipahami secara terpisah satu sama lain, sehingga pada fase ini anak belum bisa mengambil pelajaran langsung tanpa arahan dari orang dewasa. Dalam berinteraksi dengan lingkungannya anak cenderung memberikan respon spontan tanpa melibatkan pertimbangan rasio, khususnya pada usia empat sampai lima tahun. Oleh sebab itu sangat diperlukan perhatian khusus dari orang dewasa dalam memberikan stimulus yang tepat. Pengalaman belajar yang diberikan pada usia ini biasanya berbentuk permainan yang dapat merangsang kreatifitas anak didik.
Pada usia delapan sampai dua belas tahun pola berpikir anak mulai berkembang. Pada fase ini pendidik hendaknya mengarahkan mereka dalam usaha mengaplikasikan daya tersebut ke dalam pengalaman, perlu mengenalkan mereka langkah-langkah dalam proses berpikir. Permasalahan yang diberikan kepada anak usia tersebut harus berangkat dari yang konkrit dalam ranah kehidupan sehari-hari, karena pola pikir mereka pada usia ini belum bisa menangkap hal-hal yang abstrak.
Pada fase usia dua belas tahun ke atas hingga usia dewasa daya pikir anak bisa diterapkan dalam penyelasaian masalah yang lebih kompleks dengan melakukan keterampilan tertentu misalnya perbengkelan, pertukangan, dan sebagainya. Bahkan karena pada periode ini kemampuan reflektif anak mulai meningkat, maka langkah-langkah tersebut dapat ditemukan dalam solusi alternatif terhadap masalah yang dihadapinya.
Dengan demikian yang terpenting menurut teori pendidikan progresivisme adalah mengajarkan cara belajar yang tepat, sehingga seorang dapat belajar setiap saat dari realitas secara mandiri, baik di dalam maupun di luar sekolah, pada saat, sedang, ataupun setelah menyelesaikan pendidikan formal. Dengan cara demikian sekolah akan melahirkan individu-individu yang cerdas, kreatif, dan inovatif yang pada akhirnya dapat melakukan transformasi budaya positif kea rah yang lebih baik dari masyarakat yang progresif.

6. Belajar Seumur Hidup
Konsep pendidikan seumur hidup (long life education) dewasa ini telah disepakati oleh para pakar pendidikan dunia di bawah pengelolaan PBB sebagai paradigma baru dalam pendidikan. Konsep ini telah diterima oleh masyarakat luas, dan akan semakin berkembang dan relevan dengan adanya revolusi informasi yang sedang dan akan terjadi diseluruh dunia.
Dikalangan pesantren secara khusus dan Islam secara umum jauh sebelum Konfrensi Pendidikan Tingkat Dunia di bawah PBB memutuskan tentang long life education sudah dikenal melalui sabda Rasulullah “mencari ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan sejak lahir sampai ke liang lahat”, dalam dunia pesantern terkenal dengan sebutan tūluzzamān (sepanjang masa).
Progresivisme dalam hal ini sepakat dengan konsep pendidikan dalam Islam, yakni bahwa pendidikan sesungguhnya bukan semata-mata dilakukan secara formal-institusional di sekolah atau lembaga kursus, tetapi lebih dari itu belajar senantiasa dilakukan dalam semua kesempatan termasuk ketika berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kondisi edukatif harus selalu dapat mengalahkan pengaruh-pengaruh buruk dari lingkungan, dengan kata lain masyarakat akan menjadi baik mana kala individu-individu dari masyarakat telah menerapkan semboyan living is learning (hidup adalah belajar) dengan baik dan konsisten.

C. Kesimpulan
Teori pendidkan yang dibangun dari filsafat progresivisme pada dasarnya mengamantakan lima hal yaitu pertama, kurikulum hendaknya disusun berdasarkan pengalaman edukatif, eksperimental, tersusun secara teratur dan tidak dipaksakan mengikuti selera pembuat kurikulum. Kedua, guru harus mempunyai kelebihan dalam bidang ilmu pengetahuan dan menguasai bidang tersebut. Guru dalam mendidik tidak boleh memaksa secara otoriter kepada anak didik, tetapi guru seharusnya mengarahkan bagaimana cara belajar anak dengan baik menjalankan fungsinya sebagai mursyid (penunjuk jalan). Ketiga, anak didik mempunyai kesempatan untuk berkembang, aktif dan kreatif serta mempunyai kebebasan beraktualisasi dalam menentukan langkah mereka. Keempat, milleu atau lingkungan merupakan hal yang tak dapat dipisahkan dalam menunjang keberhasilan dalam pendidikan. Kelima, dalam proses pendidikan hendaknya metode lebih dikedepankan dari pada materi.







DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Imam, Beberapa Aspek Substansial Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Andi Offset, 1996.

Brameld, Theodore, Philosophis of Education in Culture Perspective, New York: Holt, Rinehart & Winston, 1955.

Dewey, John, “Kriteria Pengalaman”, dalam Omi Intan Naomi, Menggugat Pendidikan, Fundamental, Konservatif, Liberal, Anarkis, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1999.

Fowler and Fowler dan Nelson B. Henry dalam Marsudin Siregar, dedaktik Metodik dan Kedudukannya dalam Proses Belajar Mengajar, Yogyakarta: Sumbangsih Offset, 1985.

Al-ghazali al-Imam, Ihyā’ Ulūm al-Dīn, Semarang: Toha Putra, tt.

al-Ghazali, Muhammad, Al-Fikrah al-Tarbawiy, Kairo: Dar al-Tsaqafah, tt.

Kalpatrick, William H., “Philosophy of Education from the Experimentalist Outlook” dalam Nelson B. Hanry, Philosophies of Education,, Chicago: The University of Chicago Press, 1962.

Lnggulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989.

Tilaar, H.A.R. Bebarapa Agenda Reformasi Pendidikan nasional dalam Perspektif Abad XXI, Magelang: Indonesia Tera, 1998.

Noor Syam, M., Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila, Cet. IV, Surabaya: Usaha Nasional, 1988.

Suparlan, Aliran-aliran dalam Pendidikan, Cet. II, Yogyakarta: Andi Offset, 1984.
Supriyioko, Ki, “Kualitas PTS Saat Ini Masih Rendah”, dalam Rubrik, 14 April 2004.

Sutari-Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis,Yogyakarta: Andi Offset, 1989.

Suyanto dan Jihad Hisyam, Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium III, Yoyakarta: Adi Karya Cipta, 2000.

Taba, Hilda Curriculum Development: Theory and Practice, New York: Harcourt, Brace & World, Inc., 1962.

Ulwan, Nasih Tarbiyah al-Aulād, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Yahya, Slamet, Insania, Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, Vol. 10, No. 2, Mei – Agustus 2005, Purwokerto: P3M STAIN Purwokerto, 2005.

Azzarnuji, Ta’līm al-Muta’allim, Surabaya: Bungkul Indah, tt.
.

































Draft Rencana Sistematika Tesis
ASPEK PEDAGOGI RITUAL BAI’AT
DALAM TAREKAT QADIRIYYAH WA NAQSYABANDIYYAH

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Signifikasi Penelitian
D. Studi Pustaka
E. Landasan Teori
F. Metodologi Penelitian
G. Sistematika Pembahasan
BAB II PENDIDIKAN DAN TASAUF
A. Ontology, Epistemologi, dan Aksiologi Pendidikan
1. Asal-usul Pendidikan
2. Metode dan Macam-macam Pendidikan
3. Kegunaan Pendidikan dalam Kehidupan
B. Eksistensi Tasauf
1. Pengertian dan Epistemologi Tasauf
2. Pendekatan Irfani dalam Tasauf
3. Tarekat sebagai Sarana Ibadah Kaum Sufi
BAB III TAREKAT QADIRIYYAH WA NAQSYABANDIYYAH DI INDONESIA
A. Macam-macam Tarekat di Indonesia
B. Asal-usul Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah
C. Jaringan Ulama dalam Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah
D. Ritual dalam Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah
BAB IV BAI’AT DAN PENDIDIKAN SPIRITUAL DALAM TAREKAT QADIRIYYAH WA NAQSYABANDIYYAH
A. Makna dan Fungsi Bai’at
B. Fungsi ”Mursyid” dalam Tarekat
C. Pendidikan Spiritual dalam Bai’at
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-saran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar