Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Oktober 2010

Laporan Hasil Penelitian

WACANA ISLAM KONTEMPORER DALAM BUKU DARS IAIN
(Analisis Isis dan Wacana terhadap Tema Pluralisme Agama,
demokrasi dan gender dalam Buku Dars Fiqh IAIN)




Dipresentasikan dalam Diskusi Kelas
Mata Kuliah Metodologi Penelitian Agama



Oleh
M a h s u n
NIM. 05.3.481


Dosen Pengampu
Pdt. Djaka Supapa, Ph.D






PROGRAM DOKTOR
PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2005
Laporan Hasil Penelitian

WACANA ISLAM KONTEMPORER DALAM BUKU DARS IAIN
(Analisis Isis dan Wacana terhadap Tema Pluralisme Agama,
Demokrasi dan Gender dalam Buku Dars Fiqh IAIN)
Oleh: M a h s u n/05.3.481

Abstrak
Buku menempati posisi penting dalam pelaksanaan pendidikan di Perguruan Tinggi. Sebagai media komunikasi, buku berfungsi dalam proses transmisi pendidikan. Karenanya, keberadaan buku pelajaran ikut berpengaruh terhadap mutu lulusan Perguruan Tinggi. Buku-buku pelajaran (dars) yang disusun dan digunakan di Perguruan Tinggi tersebut merupakan terjemahan dari kebijakan kurikulum dan visi-misi lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Seiring dengan proses perubahan sosial yang amat cepat, wacana dan pemikiran Islam sangat variatif dan dinamis. Dalam konteks ini, IAIN diharapkan menjadi pusat studi Islam dengan berbagai variasinya. Itu pula yang telah menjadi visi IAIN sebagai meeting pot dan melting pot, tempat bermuaranya berbagai pandangan dan pendekatan studi Islam.
Salah satu yang mesti dikembangkan IAIN adalah wacana Islam kontemporer, terutama yang berkaitan dengan tema, pluralisme, demokrasi dan gender. Pada titik ini pertanyaan penting yang diajukan untuk ditemukan jawabannya melalui penelitian ini. Dua pertanyaan tersebut adalah berapa banyak wacana Islam kontemporer tersebut termuat dalam buku dars (pelajaran atau teks) yang digunakan di IAIN khususnya dalam buku fiqh? Apakah buku dars fiqh memberikan kontribusi nyata bagi berkembangnya ilmu-ilmu keislaman terutama dalam konteks perubahan sosial yang amat cepat.
Untuk mencapai hasil yang diinginkan, penelitian ini menggunakan (1). Metode Analisis Isi (content analysis), yakni suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang repicable dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya dan (2). Analisis Wacana (discurs analisis), yakni analisis atas bahasa yang digunakan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fungsi bahasa yaitu (1). Fungsi bahasa untuk mengungkap isi, disebut transaksional (2). Fungsi bahasa yang terlibat dalam pengungkapan hubungan-hubungan sosial dan sikap-sikap pribadi, disebut interaksional.

A. Pendahuluan
Sebagai agama, Islam selalu dihadapkan kepada perubahan-perubahan sosial yang terjadi, respon historis manusia di mana tantangan zaman yang mereka hadapi sangat bervariasi, sehingga secara otomatis akan menimbulkan corak dan warna pemahaman yang berbeda pula. Karenanya, adalah sangat bisa dipahami jika perkembangan pemikiran keislaman sepanjang sejarahnya telah menunjukkan adanya varian-varian yang khas sesuai dengan semangat zamannya. Varian itu berupa semacam metode, visi, dan kerangka berpikir yang berbeda-beda antara satu pemikir dengan pemikir yang lain. Dalam istilah Michel Foucoault disebut dengan epesteme dan ada pula yang menyebut weltanschaung.
Perkembangan pemikiran ternyata tidak bisa terlepas dari pengaruh politik penguasa, ambil contoh kasus di Indonesia. Di bawah rezim orde baru yang hegeminik terhadap umat Islam, harus diakui bahwa para pemikir Muslim memang tampak mengerahkan seluruh daya kreatifitas dan kritisnya dalam rangka penguatan pembaharuan pemikiran Islam, mengimbangi paksaan proyek modernisasi. Sepanjang masa itu, bisa kita catat telah muncul beberapa tokoh utama yang menjadi "kebanggaan" nasional melalui trade mark pembaharuan pemikiran Islam masing-masing sebagai tawaran baru. Sekedar contoh, Nurcholish Madjid misalnya, dikenal dengan label pemikiran "Sekularisasi Islam", Abdurrahman Wahid dengan "Pribumisasi Islam", Jalaluddin Rakhmat dengan "Islam Alternatif", Amin Rais dengan "Tauhid Sosial", Djohan Effendi dengan "Teologi Kerukunan", Moeslim Abdurrahman dengan "Islam Transformatif", Kuntowijoyo dengan "Ilmu Sosial Transformatif", dan lain sebagainya.
Apapun yang terjadi pemikiran-pemikiran yang dihasilkan para intelektual tentu sangat berguna bagi kehidupan manusia. Kesadaran bahwa pemikiran dapat mengontrol realitas, seberapa pun tingkatannya dengan sendirinya adalah pengakuan terhadap kekuatan pengetahuan. Sebuah sistem pengetahuan yang tumbuh, berakumulasi dan berputar dalam masyarakat sehingga menjadi wacana kultural masyarakat tersebut yang menyebar, memberi ciri dan bentuk dunia sosial, institusi, nilai, dan perilaku anggota-anggotanya. Michel Foucault menganalisis hubungan yang halus antara pengetahuan dan kekuatan (power). Dia menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan yang berjalan tanpa melalui wacana tertentu yang mempertahankan dan mendukung persepsi masyarakat terhadap realitas.
Sebagai lembaga pendidikan tertinggi di Indonesia, IAIN menjadi salah satu harapan terbaik bagi masyarakat Islam yang ingin mendalami kajian keislaman. Bahkan dapat dikatakan, bagi banyak kalangan khususnya orang Islam desa, IAIN adalah sebuah lembaga pendidikan yang merupakan satu-satunya pilihan, the best offer you can get. Oleh karenanya IAIN sebagai lembaga akademis yang diharapkan menjadi meeting and melting pot terhadap berbagai pandangan dan pendekatan studi Islam, maka tuntutan dan tanggung jawab yang diemban adalah tanggung jawab akademis dan ilmiah.
Persis dalam konteks inilah, menarik untuk dikaji seberapa banyak wacana Islam kontemporer terakomodasi dalam buku dars IAIN. Ini penting, karena sebagai salah satu media komunikasi, buku dars merupakan salah satu unsur vital dalam menentukan mutu lulusan yang diinginkan.
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan: Pertama, mengetahui wacana-wacana Islam kontemporer terutama mengenai pluralisme, demokrasi, dan gender dalam buku dars fiqh di IAIN. Kedua, mengetahui kontribusi buku dars dalam persebaran wacana-wacana Islam kontemporer di IAIN berdasarkan buku-buku yang dibacanya.
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk: Pertama, mengetahui posisi dan kecenderungan wacana pluralisme, demokrasi, dan gender dalam buku dars yang digunakan di IAIN. Kedua, mengembangkan ilmu-ilmu keislaman di IAIN. Ketiga, penyediaan buku-buku dars yang compatible dengan pengembangan wacana dan pemikiran Islam kontemporer baik di Barat maupun di Timur dan di Indonesia sendiri.

B. Studi Pustaka
Sejauh dapat diketahui, penelitian mengenai buku dars IAIN belum ditemukan. Karenanya, penelitian ini penting dilakukan. Penelitian seputar dunia perbukuan memang sudah diminati dan dilakukan oleh banyak orang. Ambil contoh, dalam konteks buku-buku keislaman, tim peneliti Balitbang Depag RI pada tahun 2000 menerbitkan buku hasil penelitian tentang gambaran awal mengenai penulis, isi, dan respon masyarakat terhadap buku-buku Islam kontemporer yang beredar di masyarakat. Penelitiannya melibatkan banyak tim peneliti dan dilakukan di beberapa kota di Indonesia, seperti Padang, Banjarmasin, Jakarta, Aceh, Palembang, Medan, Semarang, Surabaya, dan lain-lain. Hasilnya adalah bahwa buku-buku agama kontemporer ternyata baru dibaca di kalangan terbatas, yakni para ilmuwan dan kalangan civitas akademika, belum meluas ke seluruh lapisan masyarakat.
Kajian yang sangat bagus mengenai kitab kuning telah dilakukan oleh Martin Van Bruinessen. Sementara itu, kajian kitab kuning dan tantangan literatur Islam radikal pernah diteliti oleh Musoffa Basyir Rosyad dalam sebuah laporan singkat di Majalah Pesantren terbitan LAKPESDAM NU.
Adapun penelitian mengenai buku yang berkaitan dengan dunia pendidikan terutama pendidikan dasar, menengah, dan atas pernah dilakukan oleh Dedi Supriadi. Selain itu, tiga studi dengan topik berbeda juga pernah dilakukan dalam bentuk disertasi yaitu; B.P. Sitepu (1994) memusatkan perhatian pada distribusi dan penggunaan buku paket SD dan SLTP di DKI Jakarta, Romlah Suhadi (1996) meneliti tentang keterbacaan buku Paket SMU, Sri Redjeki (1997) mengkaji konsep-konsep yang terkandung dalam buku pelajaran Biologi SD, SLTP, dan SMU dalam rentang waktu sekitar 50 tahun (1945-1994).

C. Metodologi
Penelitian ini termasuk kategori penelitian kepustakaan (library research). Data-data yang diperlukan dikumpulkan dengan metode dokumentasi dan dianalisis dengan analisis isi (content analysis), Dilihat dari sumbernya data yang diperoleh dipilah menjadi dua yaitu data primer sebagai data utama dan data sekunder sebagai data pendukung dan pelengkap.
Dalam penelitian ini juga digunakan metode diskriptif analitik. Sedangkan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Interpretasi, Koherensi, Bahasa Inklusif (analogikal). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Analisis Wacana, yakni analisis atas bahasa yang digunakan. Pendekatan ini dibutuhkan pada saat peneliti berhadapan dengan teks-teks yang ada dalam buku Dars IAIN. Tentu saja, analisis ini tidak hanya terbatas pada deskripsi bentuk bahasa yang digunakan, tetapi juga menyelidiki untuk apa bahasa itu digunakan. Dengan kata lain, di sini dibedakan dua fungsi bahasa; fungsi bahasa untuk mengungkapkan isi, disebut transaksional, dan fungsi bahasa yang terlibat dalam pengungkapan hubungan-hubungan sosial dan sikap-sikap pribadi, disebut intraksional.

D. Wacana Islam Kontemporer: Gagasan dan Gerakan
Masyarakat intelektual pada dasarnya berwatak progresif-revolusioner yang selalu diwujudkan dalam revolusi pemikiran, bukan dalam revolusi fisik. Karena sifat inilah mereka menjadi kritis dan inovatif, mampu menyatakan perasaan dan pikirannya dalam ucapan yang jelas dan bijak. Kaum intelektual mampu berpikir bebas artinya meliputi pengamatan yang cermat atas gejala-gejala yang timbul di suatu lingkungan, melacak sebab-sebab gejala itu dan menemukan korelasinya dengan gejala-gejala yang lain. Penemuan itu kemudian dirumuskan dalam sebuah kesimpulan berskala umum dan jelas. Dari sisi produksinya, intelektual dengan klasifikasi seperti tersebut bukanlah monopuli produk sekolah atau lebih khusus perguruan tinggi, tetapi banyak juga intelektual yang muncul dari luar bangku pendidikan formal.
Untuk memotret perkembangan pemikiran Islam ada baiknya kalau kita mereview periodesasi perkembangan kesadaran umat secara historis. Menurut Kuntowijoyo, ada tiga periode yaitu periode mitos, periode ideologi, dan periode ilmu atau ide-ide. Pada periode mitos umat memiliki kepercayaan mistis religius sehingga dasar pengetahuan menjadi mitos. Periode berikutnya adalah periode ideologi. Pada periode ini Islam tidak lagi dipahami secara mistis religius tetapi Islam dipahami sebagai formulasi normatif yang berkembang menjadi ideologi dan aksi, sehingga mereka memahami Islam cenderung kepada –meminjam istilah Fazlurrahman- legal spesifik, kurang melihat kepada ideal moral dari sebuah ketentuan agama. Misalnya gerakan Sarekat Islam menggunakan ideologi Islam sebagai pengikat persatuan para pedagang Islam. Pada zaman itu pula muncul gerakan komunisme dan nasionalisme sebagai ideologi-ideologi alternatif. Usaha yang terpenting saat itu adalah mobilisasi masa dengan kata kunci nation state.
Setelah tahun 1965 mulailah tumbuh benih-benih baru dimana Islam nampak tampilannya sebagai Ilmu. Ini adalah periode Ilmu dimana Islam tidak lagi dipahami sebagai formulasi normatif, al-Qur'an dan al-Sunnah tidak dipahami sebagai dasar ideologi dan aksi tetapi sebagai formulasi teorotis. Tema persoalan yang muncul adalah bagaimana menciptakan alternatif dan memperkayanya agar cita-cita Islam sebagai rahmatan lil 'alamin menjadi realita. Pada periode yang disebut terakhir ini muncul beberapa pembaharuan pemikiran dalam Islam, di mana Islam tidsk lsgi dipahami secara tekstual dan pada ranah legal spesifiknya tetapi lebih kepada kontekstualisasi ajaran yang mengacu kepada ideal moral sehingga pemahaman terhadap teks-teks suci menjadi inklusif.
Dalam kontek pendidikan di Indonesia, wacana Islam kontemporer dalam dunia pendidikan gagal ditengah perjalanan. Menurut Mastuhu, pendidikan dianggap gagal menciptakan generasi yang toleran, inklusif, demokratis, dan pluralis, karena pendidikan kita masih bersifat eksklusif, dikotomis, dan parsial. Padahal dalam paradigma baru pendidikan dikehendaki bersifat inklusif, integralistik dan holistik. Dengan kata lain, pendidikan masih berkutat pada nalar Islami klasik belum masuk pada ranah nalar Islam kontemporer. Nalar islam kontemporer yang dimaksud adalah memahami Islam tidak lagi pada tataran konsep (hadharatunnash) tetapi lebih melihat kepada kenyataan dalam ranah sosial. Misalnya kasus konflik antar agama dan etnis sebagai akibat belum tumbuhnya pribadi pinter, kreatif, dan berbudi luhur, karena belum muncul kecerdasan dan kearifan yang bersumber dari daya kritis dan kesadaran atas nilai diri dan sosial, sehingga tumbuh kepedulian kepada sesama. Hal ini akan dapat dimunculkan oleh sistem pendidikan yang inklusif dan pluralis dengan mengedepankan metode empiris-historis. Dengan metode ini akan dapat diupayakan pengembangan alternatif lembaga pendidikan Islam yang sesuai dengan konsepsi Islam, relevan dengan kebutuhan masa depan dan dapat dilaksanakan (applicable).
Sebagai lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, IAIN dipandang layak berperan dalam perkembangan wacana keislaman dengan metode tersebut sekaligus memegang peran penting dalam dinamika pemikiran keislaman. Munculnya IAIN sebagai tempat penyemaian ide-ide keislaman di Indonesia pada akhirnya telah mempengaruhi wacana intelektual, paling tidak dalam konteks wacana pemikiran keislaman di Indonesia, sehingga dapat menampilkan corak dan wajah Islam yang tidak lagi ideologis tetapi lebih intelektual. Islam tidak lagi difungsikan sebagai pemersatu emosional dan alat dakwah ketika menjadi ideologi, tetapi lebih diarahkan kepada pengembangan wacana intelektual dan dialog untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya dalam rangka mewujudkan rahmatan lil 'alamin.
Dalam perkembangannya, pemikiran Islam baik yang muncul dari lembaga formal seperti IAIN, non formal seperti Pesantren, maupun organisasi sosial keagamaan pada kenyataannya mempunyai kecenderungan dan tema masing-masing. Kecenderungan ini nampak jelas misalnya IAIN Jakarta yang sering dijuluki "Kampus Pembaharu" yang berbasiskan kepada upaya "liberalisasi pemikiran Islam", Muhammadiyah dengan gerakan "tauhid sosial", NU menarik diri dari panggung politik praktis dan kembali kepada khittah 1926, Nurcholis Madjid dengan "Islam Yes, Politik No", Gus Dur dengan "pribumisasi Islam", Jalaluddin Rahmad dengan "Islam alternatif" dan sebagainya.
Jika kita melihat kecenderungan tema pemikiran Islam tersebut, secara sederhana dapat dikatakan bahwa kecenderungan dan tema pemikiran Islam kontemporer menuju titik yang sama dengan arah baru gerakan Islam di Indonesia. Keduanya saling terkait berkelindan dan tidak bisa dipahami terlepas dari beberapa perkembangan penting IAIN dan Islam di Indonesia secara umum. Indikatornya anatara lain adalah bahwa pemikir-pemikir dari NU dan Muhammadiyyah sebagai lembaga sosial keagamaan terbesar di Indonesia pada kenyataannya basis akademiknya mayoritas ada di IAIN, dalam konteks munculnya pemikiran-pemikiran baru Islam dewasa ini .
D. Wacana Pluralisme Agama, Demikrasi, dan Gender dalam Buku Dars Fiqh IAIN
1. Nikah Beda Agama
Buku dars fiqh di IAIN yang membehasa pernikahan beda agama semuanya bermuara pada satu pendapat yaitu melarang adanya nikah beda agama, lebih-lebih jika perkawinan antara wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pembahasan tentang persoalan tersebut sangat pendek (tidak memadai). Misalanya dapat kita lihat dalam buku Ilmu Fiqh II disebutkan bahwa wanita musyrik termasuk golongan wanita yang haram dinikahi. Lengkapnya adalah sebagai berikut:
Wanita yang haram untuk dinikahi…6. Wanita Musyrik, maksud wanita musyrik ialah menyembah selain Allah. Ketentuan ini didapati pada surat al-Baqarah ayat 24. Adapun berdasar pada ayat 5 al-Maidah, wanita ahli kitab yakni nasrani dan yahudi boleh dikawini.

Dalam buku "Hukum Islam di Indonesia" karya Ahmad Rofiq, meski buku ini membahas persoalan pernikahan setebal 298 halaman, namun persoalan nikah beda agama hanya dibahas dalam beberapa halaman saja. Demikian pula isi pembahasannya selalu merujuk pada UU Perkawinan 1974 dan KHI pasal 44, yang menegaskan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang yang tidak beragama Islam. Menurut Rofiq, pasal 44 KHI mengisyaratkan agar sedapat mungkin umat Islam tidak melakukan perkawinan beda Agama dengan pertimbangan mudlaratnya lebih besar dari pada manfaatnya. Karena ada perbedaan prinsip antara Islam dan non-Islam yang karana hal ini tidak jarang menjadi pemicu munculnya konflik dalam rumah tangga yang tidak dikehendaki oleh keluarga siapapun. Sementara itu, menurut Dr. Muardi khatib, dosen IAIN Jakarta mengatakan, Surat al-Baqarah 221, "telah terjadi konsensus para ulama". Konsekuensinya, jika ada seorang muslim menikah dengan laki-laki non-muslim maka pernikahannya harus dibatalkan.
Pendapat yang sama dapat dijumpai pada Ibrahim Hosen dalam bukunya "Fiqh Perbandingan". Ibrahim mengatakan, "Orang-orang Indonesia yang menganut agama yahudi dan nasroni sesudah turunnya al-qur'an tidaklah termasuk ahl al-kitab ". Pandangan ini berdasarkan pada penafsiran mazhab Syafi'I tentang ahl al-Kitab. Menurut mazhab Syafi'i ahl al-Kitab adalah penganut agama yahudi dan nasrani yang hidup sampai masa kebangkitan nabi Muhammad SAW. Setelah datang al-Qur'an mereka tidak lagi disebut ahl al-Kitab.
Persoalan perkawinan beda agama ini merupakan suatu praktek pernikahan yang secara jelas melanggar UUP/74. UU Perkawinan tidak mengatur perkawinan beda agama. Sementara KHI mengkategorikan perkawinan beda agama ke dalam bab larangan perkawinan. Mungkin karena alasan normatif inilah buku dars PTAI tidak menyinggung persoalan perkawinan beda agama.
Dalam konteks nikah beda agama sebagai wacana, mestinya PTAI bersifat akomodatif, dengan memberi ruang dan waktu untuk membicarakannya, dalam hal ini kurikulum yang dibuat hendaknya mengakomodir wacana tersebut, bukan malah kaku sehingga banyak dosen tidak tertarik membicarakannya. Ada sedikit dosen yang agak berbeda pandangan mengenai nikah beda agama. Dia adalah Komaruddin Hidayat, menurutnya, persoalan kawin beda agama seharusnya tak dilihat hanya legalitasnya saja, tetapi juga memperhatikan bahwa persoalan itu ternyata terbentur dengan dua persoalan besar yaitu soal HAM dan kebebasan beragama.
Lebih lanjut, kamaruddin berpendapat bahwa nikah beda agama diperbolehkan sepanjang diyakini tak akan menghalangi keimanan seseorang. Walaupun demikian pendapatnya tetapi ia masih tetap menomorsatukan kawin seagama jika masih memungkinkan. Hal itu menurutnya, karena yang seagama saja suatu waktu terjadi konflik rumah tangga, apa lagi yang berbeda agama. Lebih tegas lagi dinyatakan oleh Munawwir Sjadzali, bahwa perkawinan beda agama dalam bentuk apapun diperbolehkan, baik antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim maupun sebaliknya. Dasar yang dipakai mantan Menteri Agama itu adalah karena kedudukan manusia yang mulia di mata Tuhan.
2. Demokrasi
Sepertinya, wacana demokrasi tidak banyak diungkap dalam buku dars fiqh, kecuali "Fiqh Siyasah" yang disusun setelah kurikulum tahun 1997. Walaupun demikian, perumusannya masih belum memadai. Dalam buku dars "Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam", bahasan hanya diarahkan pada syura sebagai akar sejarah ide demokrasi dalam Islam.
Beberapa literatur yang digunakan para penulis buku dars fiqh sudah memuat wacana demokrasi, tetapi sikap penulis masih "ambivalen" atas wacana kontemporer seperti tulisan Iqbal dalam fiqh siyasah tersebut. Oleh karena itu, penting untuk mengelaborasi perkembangan wacana senacam demokrasi, sehingga para mahasiswa IAIN/STAIN/UIN tidak gamang dengan wacana-wacana mutkhir.
3. Gender
Dalam buku "Ilmu Fiqh II" banyak persoalan-persoalan dalam pernikahan yang bias gender, antara lain persoalan wali nikah. Dalam buku "ilmu fiqh" disebutkan, perkawinan dilangsungkan oleh wali fihak mempelai putri atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Meskipun penulis buku ini mengungkapkan pendapat Imam Hanafii yang mengatakan bahwa perempuan yang sudah baligh dan berakal boleh mengawinkan dirinya sendiri, pendapat ini tidak mendapat porsi yang cukup. Bahkan di akhir pembahasan, penulis seolah menegasikan pendapat Hanafi dengan mengambil kesimpulan bahwa pendapat Syafi'ilah ysng mesti menjadi pegangan.

E. Kontribusi Buku Dars Fiqih IAIN terhadap Persebaran Wacana Islam Kontemporer di Indonesia
Dinamika intelektual kalangan IAIN lebih bergairah di luar gedung kuliah. Indikatornya adalah munculnya tokoh-tokoh dari IAIN yang menjadi pengamat, penulis, dan pakar yang "bermain" di luar gedung walaupun jumlahnya masih relatif sedikit.
Sementara di dalam gedung kuliah, dinamika intelektual yang dikembangkan IAIN hampir tidak ada, selain transfer keilmuan yang diwariskan dari generasi ke generasi berdasarkan kurikulum yang sudah diatur. Dari kondisi yang seperti itu maka dapat disimpulkan bahwa wacana yang ditawarkan buku dars IAIN tidak seimbang dengan wacana yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu mahasiswa progresif hampir bisa dipastikan tidak akan menemukan wacana-wacana progresif melelui buku dars, bahkan dalam kuliah itu sendiri. Akibatnya, mahasiswa lebih tertarik membaca buku-buku wacana Islam kritis dan progresif yang diterbitkan para penerbit independen yang bukan termasuk buku referensi yang dicantumkan dalam kurikulum sebagai bahan acuan dalam belajar.
F.Simpulan
Wacana Islam kontemporer dalam buku dars IAIN belum terakomodir secara memadahi. Di satu sisi IAIN dihadapkan pada persoalan-persoalan kontemporer yang harus direspon, namun di sisi lain IAIN sebagai lembaga negeri harus tunduk dengan kurikulum yang telah ditetapkan walaupun sudah tidak "kontekstual" lagi.
Kalaupun wacana Islam kontemporer menjadi subur dan mendapat perhatian besar dari kalangan akademisi IAIN, akan tetapi tidak terjadi di dalam kelas, melainkan di luar kelas seperti forum-forum diskusi, seminar, lokakarya, dan sebagainya yang bisa dikatakan bukan karena kurikulum mengamanatkan adanya kajian-kajian tersebut tetapi lebih merupakan kreatifitas kelompok tertentu yang prihatin terhadap perkembangan studi Islam dan problem kemanusiaan.
Di dalam ruang kuliah, wacana Islam kontemporer di IAIN hampir-hampir sulit ditemukan pembahasan tentang itu, hanya dosen-dosen tertentu yang dengan kreatifitasnya membicarakan wacana-wacana Islam kontemporer walaupun tidak diamantkan oleh kurikulum.
Oleh karenanya, dapat dipastikan mahasiswa yang hanya aktif kuliah akan sedikit mendapatkan pengetahuan tentang wacana-wacana Islam kontemporer. Mahasiswa yang ingin mendapat pengetahuan tentang wacana tersebut harus mencari di luar bangku kuliah. Solusinya adalah dengan mengoleksi buku-buku non-kurikuler yang isinya membahas wacana tersebut. Juga dengan mengikuti kegiatan-kegiatan semisal diskusi, seminar dan sebagainya yang semua itu tidak tersedioa di dalam kelas.

G. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan yaitu pertama, IAIN perlu mengkaji ulang pembidangan ilmu. Kedua, IAIN perlu mengembangkan kurikulum, dan ketiga, IAIN perlu menyediakan buku dars yang compatible dengan wacana-wacana Islam kontemporer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar