Cari Blog Ini

Senin, 11 Oktober 2010

Meningkatkan Kualitas SDM Menuju Terwujudnya Budaya Akademik Yang Unggul

Oleh: Mahsun Mahfudh


A. Pendahuluan
Suatu kenyataan, masyarakat terlanjur memandang Perguruan Tinggi sebagai kawah candradimuka para intelektual "murni". Di dalamnya dihuni para mahasiswa yang memiliki keberpihakan kepada keadilan, kebenaran, penegakan hak-hak civil society, belum memiliki interest kekuasaan, kepentingan pribadi, apalagi kepentingan politik. Jika pandangan ini benar, maka sesungguhnya amanat Tri Dharma Perguruan tinggi, yang meliputi bidang keilmuan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, akan mudah dilaksanakan.
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertinggi di Indonesia, PTAI (PTAIN dan PTAIS) menjadi satu harapan terbaik bagi masyarakat yang ingin mendalami kajian keislaman, bahkan biasa dikatakan sebagai the best offer you can get. Oleh karenanya, dalam bidang keilmuan, PTAI diharapkan menjadi tempat bermuaranya berbagai pandangan, pemikiran, dan pendekatan studi Islam. Sedangkan dalam bidang pengabdian kepada masyarakat, diharapkan Perguruan Tinggi dapat mewujudkan peran sosialnya kepada masyarakat luas. Bidang ini dimaksudkan agar Perguruan Tinggi tidak menjadi tempat bermuaranya para elit terpelajar, tetapi menjadi lembaga pencari dan pemberi solusi atau way out terhadap problem-problem sosial (social problem solver). Dengan demikian mahasiswa sebagai salah satu asetnya diharapkan menjadi generasi intelektual, agen perubahan (agent of change), dan mempunyai kepedulian sosial (sense of social crisys).
Persoalannya adalah pertama, kurikulum yang masih bersifat eklusif, dikotomis, dan parsial. Kedua, corak dan kecenderungan mahasiswa yang, menurut Kuntowijoyo, terbagi menjadi dua yaitu mahasiswa aktivis sosial dan mahasiswa profesionalis-pragmatis. Yang ideal adalah mahasiswa campuran dari keduanya, dalam arti mereka disamping bersikap profesional dan kompeten dalam bidangnya juga mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, mampu mengaplikasikan ilmunya di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, belum terciptanya budaya akademik yang baik. Persoalan itu, menurut hemat saya, sesungguhnya bermuara dari persoalan apakah Perguruan Tinggi sebagai lembaga keummatan atau sebagai lembaga keilmuan, atau campuran keduanya. Ini saya kira yang perlu mendapat jawaban dalam konteks pencapaian budaya akademik yang unggul, dimana seluruh aktivitas civitas akademika diarahkan kepada usaha mewujudkannya.
Melalui makalah ini penulis mencoba melakukan sharing idea dengan para pembaca untuk menemukan solusi yang terbaik dan pantas untuk diterapkan di lembaga Perguruan Tinggi dimana kita mengabdi dan mengemban amanat masyarakat yang telah mempercayakan pengelolalan pemdidikan kepada kita semua. Karena sesungguhnya amanat harus kita jalankan dengan seksama dan penuh tanggung jawab.

B. Budaya Akademik: Kebebasan Akademik dan Hak Azasi Manusia di Indonesia
Sumber pustaka mengenai budaya akademik di Indonesia pada umumnya dan kebebasan akademik di Indonesia pada khususnya sangat langka. Oleh sebab itu, laporan penelitian awal dari peneliti utama yang berjudul Budaya Akademik: Studi Pendahuluan tentang Kehidupan dan Kegiatan Akademik Staf Pengajar/Guru Besar di PTN dan PTS di Semarang (Kistanto, Mei 1997) kami jadikan sumber pustaka utama.
Kebebasan akademik yang dimaksud adalah bagian dari kebebasan berpendapat seperti tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights dengan pembukaan yang antara lain berbunyi, “every individual and every organ of society, keeping this declaration constantly in mind, shall strive by teaching and education to promote respect for [human rights].” Sehingga “pendidikan harus diarahkan pada pembentukan penuh dari kepribadian manusia dan pada pemberdayaan penghormatan hak-hak azasi manusia dan kebebasan yang mendasar.” Lembaga-lembaga pendidikan tidak akan dapat memenuhi misinya untuk memberdayakan penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia jika hak-hak mendasar para pendidik dan peserta didik sendiri tidak dihormati. Karena sesungguhnya kebebasan akademik merupakan bagian dari budaya akademik, yang dapat dipahami secara umum sebagai totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik di sebuah lembaga pendidikan oleh masyarakat akademik dimana mereka beraktualisasi.
Oleh karenanya sudah saatnya para pengelola lembaga membuka ruang dan memberikan ajang kreatifitas bagi mahasiswa, dosen dan karyawannya. Ajang tersebut penting agar semua steak holders yang ada dapat beraktualisasi menyampaikan pendapatnya. Dengan demikian tidak akan ada ketersumbatan informasi dan aspirasi diantara mereka, sehingga kebijakan dapat diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan bersama (al-maslahah al-’ammah) secara komprehensip.

C. Acuan Budaya Akademik di Indonesia
Berbicara tentang acuan budaya akademik tentunya tidak bisa dilepaskan dari budaya local dan budaya global. Budaya local yang dimaksudkan adalah budaya dimana sebuah lembaga pendidikan tersebut berada, sedangkan budaya global adalah budaya internasional yang telah merambah keseluruh pelosok seperti budaya berpikir kritis dan cenderung liberal. Pertanyaannya adalah budaya mana yang patut diterapkan dalam memenej sebuang lembaga pendidikan tinggi? Jawabnya bisa bermacam-macam. Namun kalau melihat kepentingan masa depan, mungkin idealnya adalah mengikuti budaya global tetapi tidak melupakan budaya lokal.
Dengan demikian diharapkan Perguruan Tinggi sebagai meeting pot dapat memberikan pola interaksi diantara entitas yang ada secara cerdas disatu sisi dan pada sisi yang lain, tidak terlepas dari budaya lokal. Jika ini dilakukan secara sistematis dalam jangka waktu yang lama secara konsisten, maka tidak mustahil pada akhirnya akan muncul sebuah budaya akademik yang unggul.

D. Budaya Akademik dalam Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Dalam kehidupan dan kegiatan akademik, interaksi yang dinamis dan fungsional dari dharma-dharma dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi (PT) yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat sangat penting dan merupakan ciri-ciri dari berkembangnya budaya akademik. Tanpa interaksi dan pemanfaatan yang sinergis dari dharma-dharma tersebut budaya akademik akan mandul dan berjalan di tempat. Ketiga dharma tersebut harus saling terkait secara sinergis. Dharma Pendidikan yang dinamis dan terus berkembang menjadi landasan bagi dharma Penelitian dan dharma Pengabdian kepada Masyarakat. Teori-teori, konsep-konsep, metode-metode, kasus-kasus dan kategori-kategori yang diperoleh dari dharma Pendidikan dapat melandasi dan dimanfaatkan dalam kegiatan-kegiatan pada dharma Penelitian dan dharma Pengabdian kepada Masyarakat. Demikian pula sebaliknya, temuan-temuan dalam penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dapat memberikan umpan balik bagi kegiatan-kegiatan pendidikan, memperkaya dan menghasilkan teori, konsep, metode, kasus, dan kategori bagi proses belajar-mengajar, perkuliahan dalam dharma Pendidikan.
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat secara metodologis dapat berbasis ilmu pengetahuan yang diperoleh dalam dharma Pendidikan, dan kegiatan pendidikan akan relevan jika didukung oleh temuan-temuan dan hasil-hasil penelitian yang memadai. Demikian pula, kegiatan pengabdian kepada masyarakat dapat memberikan umpan balik dan bermanfaat untuk disampaikan melalui dan memperkaya dharma Pendidikan dan menjadi dasar untuk kegiatan penelitian. Oleh sebab itu, keterkaitan antara dharma-dharma tersebut sangat mendorong berkembangnya budaya akademik yang sehat.
1. Budaya Akademik dalam Penelitian
Jika kegiatan dalam dharma Pendidikan sudah berjalan dengan sendirinya karena kegiatan dalam dharma tersebut merupakan kegiatan pertama dan utama di PT - dan mau tak mau harus dilaksanakan, tidak demikian halnya dengan kegiatan dalam dharma Penelitian. Kegiatan-kegiatan penelitian dalam budaya akademik di Indonesia masih harus dibiasakan dan dibangun menjadi tradisi. Dapat dikatakan bahwa, tanpa kegiatan-kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat secara khusus, sebuah PT masih dapat berjalan, asalkan kegiatan proses belajar-mengajar dalam dharma pendidikan masih berlangsung.
Kegiatan penelitian memerlukan keahlian dan pelatihan yang khusus. Banyak dosen yang mahir dan piawai di kelas-kelas yang menarik perhatian mahasiswa tetapi belum tentu sekaligus dosen tersebut adalah peneliti yang baik dan belum tentu sekaligus penggiat kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Kendala-kendala yang dapat disebut dalam kegiatan dharma Penelitian dalam budaya akademik di Indonesia antara lain:
(1) Sumberdaya manusia akademik yang kurang terlatih dan kurang berbakat, atau kurang bersungguh-sungguh.
(2) Melakukan penelitian belum menjadi kebutuhan.
(3) Keterbatasan dana atau anggaran penelitian.
(4) Kurang memadainya prasarana dan sarana pendukung, seperti peralatan software dan hardware, laboratorium, dan perpustakaan.
(5) Tuntutan yang kurang kuat dari kegiatan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat terhadap temuan dan hasil penelitian.
(6) Tuntutan yang kurang kuat dari pihak eksternal terhadap kebutuhan akan penelitian dan hasil penelitian.
(7) Keterbatasan akses terhadap jaringan penelitian di dalam maupun di luar negeri, khususnya para donor untuk kegiatan penelitian.
2. Budaya Akademik dalam Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sebagaimana interaksi dan keterkaitan sinergis antara dharma Pendidikan dan dharma-dharma Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat seyogyanya berlangsung, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pun harus mendapat perhatian yang bersungguh-sungguh dalam budaya akademik. Persoalan ini menyangkut setidak-tidaknya pada 2 (dua) tataran:
(1) Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui dharma-dharma dalam Tri Dharma PT
(a) Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dalam proses belajar-mengajar di kelas, perpustakaan dan laboratorium. Melalui interaksi antara dosen dan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan.
(b) Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dengan memanfaatkan teori, konsep, metode, eksperimen dan kasus dalam penelitian, dengan pembaharuan dan/atau pengayaan dari temuan dan hasil penelitian, yang pada gilirannya akan sangat bermanfaat bagi pengembangan dan penciptaan teori, konsep, dan metode baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dapat didiseminasikan atau disebarkan melalui proses belajar-mengajar dalam dharma Pendidikan atau melalui media lain seperti diskusi, seminar dan artikel jurnal.
(2) Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui dharma-dharma dalam Tri Dharma PT
(a) Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dalam proses belajar-mengajar di kelas, perpustakaan dan laboratorium. Melalui interaksi antara dosen dan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar ilmu pengetahuan dan teknologi diterapkan.
(b) Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
(c) Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dalam kegiatan-kegiatan industri pengolahan (manufacturing industry) dan industri jasa (service industry), yang merupakan kegiatan yang menghasilkan pendapatan (revenue generating activities).
Dapat diperhatikan bahwa menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebenarnya juga sekaligus berarti mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, demikian pula mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mungkin dilakukan tanpa menerapkannya.

E. Refleksi Peran Sosial PTAI
Ada satu kritik yang cerdas dari Mastuhu, bahwa pendidikan Islam dewasa ini masih berkutat pada kerangka pendidikan Islam dengan nalar Islami klasik, belum berkutat pada nalar Islami kontemporer. Nalar Islami kontemporer yang dimaksud adalah memahami Islam tidak lagi pada tataran konsep (teoritis-normatif) tetapi lebih melihat kepada kenyataan pada ranah sosial dengan mengedepankan metode empiris-historis. Kecerdasan dan kearifan bersumber dari daya kritis dan kesadaran atas nilai diri dan sosial, sehingga tumbuh kepedulian pada sesama.
Susah memang, untuk memproduk mahasiwa menjadi sarjana yang ideal dalam arti tersebut di atas, karena pada kenyataannya kurikulum di Perguruan Tinggi masih berkutat (setidaknya masih dominan) pada penggarapan ranah kognitif, belum (setidaknya masih minim) pada ranah afektif dan psikomotorik. Sementara kehidupan di luar kampus sangat menunggu peran aktif para mahasiswa dan lulusan Perguruan Tinggi, akibatnya mahasiswa dihadapkan delima pada aktualisasi diri. Satu sisi mereka harus mampu menyelesaikan beban kuliah yang sangat padat, di sisi lain mereka harus mampu membaca dan merespon dunia masyarakat di luar kampus. Akibatnya mahasiswa memilih kecenderungannya masing-masing.
Bagi mahasiswa yang memilih corak profesional-pragmatis, akan memilih aktif kuliah di kelas dengan harapan cepat lulus, IP bagus, cepat mendapat pekerjaan, proses belajar yang diikuti hanya dipahami sebagai transfer of knowledge. Mahasiswa dengan corak seperti ini akan gagap ketika menghadapi kenyataan sosial masyarakatnya, bahkan kurang peka terhadap keinginan masyarakat secara sosial. Kondisi ini setidaknya dapat dilihat ketika mereka mengambil mata kuliah Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai mata kuliah praktis-aplikatif. Mereka sama sekali (setidaknya pasif) tidak mempunyai ide kreatif dalam penyusunan maupun pelaksanaan program-progaram KKN di kelompoknya.
Sedangkan bagi mahasiswa yang memilih corak aktivis sosial, mereka terlibat aktif dalam kegiatan secara intens yang bersifat extrakurikuler di luar aktivitas akademik intra kampus (kuliah). Mahasiswa dengan corak seperti ini lebih peka dan peduli terhadap perubahan dan tuntutan masyarakatnya, sehingga salah satu mainstream wacana dan kegiatannya adalah pada upaya pemberdayaan masyarakat, dengan spirit penegakan keadilan, anti diskriminasi dan penegakan hak-hak civil society. Efek negatifnya mereka lama lulusnya, IP pas-pasan, biaya kuliah lebih banyak. Mereka biasanya lebih memilih beraktivitas di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), karena tidak harus membutuhkan IP tinggi, tetapi butuh keterampilan, yang dapat diperoleh di luar kampus.

F. Penutup
Perkenankan saya menyimpulkan makalah ini sebagai berikut:
(1) Dalam wacana internasional, “budaya akademik” (academic culture) sangat erat kaitannya dengan “kebebasan akademik” (academic freedom) sebagai bagian dari “kebebasan berpendapat.”
(2) Budaya akademik sangat berkaitan dan dipengaruhi oleh situasi masyarakat tempat berkembangnya budaya akademik tersebut, khususnya kehidupan pemerintahan, politik, agama dan hak azasi manusia.
(3) Budaya akademik dapat berkembang melalui dharma-dharma dalam Tri Dharma PT, yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
(4) Budaya akademik dalam penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan di dalam masyarakat akademik (academic community) di dalam PT dan di luar PT, yakni masyarakat luas, dunia industri pengolahan (manufacturing industry) dan dunia industri jasa (service industry).
Sangat penting dicatat, bahwa sesungguhnya para pendukung, pelaku dan pengembang budaya akademik adalah masyarakat akademik yang menjalankan dan mengembangkan proses belajar-mengajar dalam kegiatan-kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Mereka tidak saja ilmuwan dan profesional dalam bidang disiplinnya masing-masing, melainkan intelektual, cendekiawan yang dituntut untuk memahami dan mengamalkan etika keilmuan dan etika profesi dalam pencarian dan penemuan kebenaran secara jujur, adil, terbuka, rasional, demokratis dan independen. Selain itu, harus dipahami bahwa dalam menjalankan perannya, masyarakat akademik tidak boleh terlepas oleh nilai-nilai moral, etika, dan keagamaan yang menjadi pertimbangan dan landasan bagi kegiatan-kegiatan keilmuan dan profesinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar