Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Oktober 2010

PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (Studi Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang Fiqh Sosial)

Oleh: Mahsun Mahfudz

A. Pendahuluan
Ajaran dan semangat Islam akan bersifat universal (melintasi batas-batas zaman, ras, dan agama), rasional (akal dan hati nurani manusia sebagai partner dialog), dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri), tetapi respon historis manusia dimana tantangan zaman yang mereka hadapi sangat berbeda dan bervariasi, maka secara otomatis akan menimbulkan corak dan pemahaman yang berbeda pula. Dalam konteks ini, ijtihad merupakan sesuatu yang tak pernah ditutup tetapi harus selalu digelorakan.
Dalam kontek menggelorakan ijtihad, ilmu ushul fiqh merupakan perangkat metodologi baku yang telah dibuktikan perannya oleh para pemikir Islam klasik semisal Imam mazhab dalam menggali hukum Islam dan dalam bidang yang lain dari sumber aslinya (al-Qur’an dan as-Sunnah). Namun dewasa ini fiqh Islam dianggap mandul karena peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqh dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer. Oleh karenanya, kiranya cukup alasan jika muncul banyak tawaran metodologi baru dari para pakar Islam kontemporer dalam usaha menggali hukum Islam dari sumber aslinya untuk disesuaikan dengan dinamika kemajuan zaman.
Kenyataan ini tidak bisa ditolak, karena fenomena keangkuhan modernitas dan industrialisasi global telah menghegemoni seluruh lini kehidupan anak manusia sehingga memicu dinamika pemikiran Islam kontemporer dengan segala perangkat-perangkatnya termasuk metodologi ushul al-fiqh dan qawaid al-fiqhiyyah. Hal ini merupakan pekerjaan besar yang harus dilakukan dalam rangka membangun cita diri Islam (self image of Islam) di tengah kehidupan modern yang senantiasa berubah dan berkembang.
Di Indonesia pada dasawarsa terakhir telah muncul perkembangan pemikiran hukum Islam yang disesuaikan dengan kondisi riil kehidupan di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa fiqh klasik sudah tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer. Yang demikian ini karena perbedaan antara konteks sosial yang melatarbelakangi munculnya fiqh klasik tersebut dengan kondisi sosial masa sekarang. Dari perbedaan itu maka upaya memperbaharui formulasi fiqh adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindari.
KH. Sahal Mahfudh adalah salah seorang dari deretan pemikir Indonesia yang merasa gelisah dengan ketak berdayaan fiqh klasik dalam memecahkan problem-problem sosial kontemporer. Agar fiqh dengan perangkat metodologinya ( qawaid al-Fiqh dan ushul al-Fiqh) dapat berdaya guna, beliau memberikan tawaran penerapan konsep maqashid al-syari’ah (al-Mashlahah ) as-Syatibi untuk dijadikan sebagai titik pandang ketika hendak menentukan status hukum suatu permasalahan.Rumusan as-Syatibi inilah yang menolong verifikasi mana yang ushul dan yang furu’ yang diagendakan oleh “fiqih baru” Nahdlatul Ulama kontemporer dimana KH. Sahal berada di dalamnya. Secara tegas KH. Sahal mengatakan bahwa “fiqh Sosial” adalah sebagai jembatan yang menghubungkan antara keangkuhan teks dan tuntutan realita.
Di Indonesia, setidaknya ada dua kelompok besar yang terlibat dalam pembahasan tentang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Dua kelompok itu adalah kelompok yang menekankan pendekatan normatif (formalisme) dan kelompok yang menekankan pendekatan kultural (budaya). Kelompok pertama berpendapat bahwa Islam adalah lengkap, sehingga hukum Islam harus diterapkan kepada seluruh umat Islam untuk dilaksanakan dalam seluruh kehidupan sehari-hari. Sedangkan kelompok kedua berpandangan pentingnya penyerapan nilai-nilai hukum Islam ke dalam masyarakat. Tokoh semisal KH. M.A. Sahal Mahfudh, KH. Ali Yafi dengan pemikiran “Fiqh Sosial” masing-masing adalah termasuk kelompok yang kedua.
Dalam makalah ini penulis mencoba membincangkan pemikiran hukum KH. MA. Sahal Mahfudh tentang fiqh sosial dari aspek epistemologi dan aksiologinya. Ini dirasa penting untuk mendapatkan pengetahuan tentang vitalitas dan urgensi fiqh sosial pada satu sisi, dan pada sisi yang sama, ketakberdayaan metode fiqh literalis dalam menyelesaikan problem-problem ummat.

B. Mengenal KH. Sahal Mahfud
KH. MA. Sahal Mahfudh lahir pada 17 Desember 1937 di desa Kajen, kec. Margoyoso, kab. Pati, Prop. Jawa tengah. Beliau lahir dari keluarga pesantren yang turun-temurun mengembangkan gen kepesantrenan. Dalam perjalanannya mengarungi bahtera pengembangan pemikiran keislaman ala pesantren, ia tampak kritis dan kreatif dengan langgam perlawanan terhadap kemapanan, Beliau adalah anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan KH. Mahfudh Salam (w.1944) dan Hj. Badriyah (w. 1945). Sejak kecil, ia sudah mulai belajar ilmu ushul fiqh, bahasa Arab, dan ilmu sosial kemasyarakatan dari ayahnya dan pamannya, KH. Abdullah Salam. Ia juga belajar ilmu-ilmu agama, membaca, menulis dan menghafal al-Qur’an kepada K. Muhajir di Kediri dan K. Zubeir di Sarang, Rembang. Beliau dikenal sangat lihai dalam bidang bahasa Arab, fiqh, dan ushul fiqh.
Ia mulai belajar agama sejak berusia enam tahun di Madrasah Ibtidaiyyah Kajen, kemudian melanjutkan studi di Mathali’ul Falah Kajen. Pada usia remaja, disamping belajar agama, ia juga mempelajari ilmu-ilmu umum seperti filsafat, bahasa Inggris, administrasi, psikologi dan tata negara. Ia melanjutkan studi ke Mekah setelah tamat dari pesantren Sarang, Rembang. Setelah pulang dari Mekah tahun 1963, ia menjadi pengasuh pesantren Maslakul Huda, peninggalan dari ayahnya, sekaligus sebagai direktur perguruan Islam Mathali’ul Falah.
Banyak aktifitas sosial kemasyarakatan yang ikut mengisi kesibukan beliau di tengah-tengah padatnya kegiatan mengurus pesantrennya. Karir organisasinya mulai mengemuka sejak menjabat sebagai ketua Persatuan Islam Indonesia (PII) cabang Pati (1947-1952), ketua Forum Diskusi Fiqh (1958-1965), katib Syuriyah NU dan ketua LP Ma’arif cabang Pati (1967-1975), Wakil Ra’is Syuriah NU cabang Pati (1975-1985), Katib Syuriah PW NU Jawa Tengah (1980-1982) dan Rais Syuriah PW NU Jawa Tengah (1982-1985). Di samping itu juga dipercaya sebagai Rais Syuriah PB NU (1984-19890, Wakil Rais ‘Am PB NU (1994-1999), dan setelah itu dipercaya sebagai Rais ‘Am PB NU hingga sekarang. Di samping itu beliau juga dipercaya untuk memegang jabatan Ketua Umum ICMI. Aktifitas organisasi ini nampaknya banyak mempengaruhi pada sikap dan pandangan hidupnya mengenai realitas sosial.
Dalam langit pemikiran Islam di Indonesia, KH. Sahal dipandang sebagai tokoh yang banyak menyumbangkan pemikiran dalam bidang hukum Islam. Ia selalu mengkritik mainstream pemikiran yang berkembang (stidaknya di kalangan NU dan pesantren). Baginya pemahaman terhadap kitab-kitab fiqh klasik sudah seharusnya didekati dengan kerangka metodologis dan proporsional agar dicapai pemahaman yang kontekstual dan sesuai dengan tuntutan realitas sosial. Oleh karenanya ia selalu mengkritik kaum tradisional literalis dan fundamentalis yang selalu memutlakkan fiqh secara tekstual. Baginya kritik dapat dilontarkan dan dialamatkan kepada siapapun termasuk kepada gurunya sendiri. Beliau merasa gusar atas pendapat ulama NU yang tidak mau memperhatikan dimensi ruang dan waktu yang mengantarkan produk-produk hukum. Alasan inilah yang menjadikan KH. Sahal merelakan diri bergabung bersama pemikir-pemikir produktif muda NU dalam forum “Halaqah” (sarasehan) untuk merumuskan kerangka teoritik berfiqh yang lebih produktif dan matching bahkan sesuai dengan perkembangan jaman.
Salah satu hasil konkrit dari forum “Halaqah” tersebut adalah munculnya istilah bermazhab secara manhajiy dan timbulnya gagasan untuk mempopulerkan pada tahun 1987 (gagasan awal), 1998 atas dukungan KH. Sahal Mahfudh dan KH. Imron Hamzah, diadakan seminar dengan tema “Telaah Kitab Secara Kontekstual” di PP. Watu Congol, Muntilah Magelang. Pada pertengahan Oktober 1989 diselenggarakan halaqah (diskusi terbatas) mengenai “Masa Depan NU”, salah satu pembicaranya A. Qodri Azizi menegaskan perlunya redefisi bermazhab yang kemudian dicetuskan istilah bermazhab fi al-manhaj (mengikuti metodologinya) dan pada akhirnya dideklarasikan pada tahun 1992 di Bandar Lampung dalam sebuah forum Musyawarah Nasional.

C. Epistemologi Fiqh Sosial
Syari’ah dan fiqh adalah dua istilah teknis keagamaan yang amat berbeda, yang oleh sebagian orang selalu dipandang identik. Padahal hakikat antara keduanya amat berlainan, kendatipun keduanya sama-sama berada di ranah hukum Islam. Syari’ah adalah al-nushus al-muqaddasah dari al-Qur’an dan al-Sunnah al-Mutawatirah yang murni, tetap, dan tidak boleh berubah sepanjang masa. Sementara, fiqh merupakan pemahaman manusia tentang al-nushus al-muqaddasah dan al-sunnah al-mutawatirah tersebut. Karena fiqh adalah pemahaman manusia atau dengan kata lain fiqh adalah produk manusia, maka fiqh bisa berubah bahkan harus berubah dan kebenarannya bersifat relatif. Oleh karenanya agar tetap berdaya fiqh harus didekati dengan metode qira’ah maqashidiyyah sehingga dapat ditangkap makna substansial dari teks-teks fikih.
Pendekatan fiqh secara tektual tidak hanya berakibat kurang tersentuhnya problem-problem umat, tetapi juga bertentangan dengan makna, substansi dan karakteristik dari hukum Islam. Ajaran dan semangat Islam akan bersifat universal (melintasi batas-batas zaman, ras, dan agama), rasional (akal dan hati nurani manusia sebagai partner dialog), dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri), tetapi respon historis manusia dimana tantangan zaman yang mereka hadapi sangat berbeda dan bervariasi, maka secara otomatis akan menimbulkan corak dan pemahaman yang berbeda pula. Oleh karenanya dalam memahami ajaran Islam termasuk di dalamnya, pemahaman terhadap teks-teks fiqh harus selalu memperhatikan tuntutan realitas sosial agar dicapai pemahaman yang aplicable dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga tercipta hukum (fiqh dalam arti sempit) yang ideal.
Terciptanya hukum yang ideal dalam masyarakat dimulai dengan menyerap nilai-nilai hukum universal secara proporsional. Nilai-nilai tersebut mencakup keadilan, kejujuran, kebebasan, persamaan di muka hukum, perlindungan hukum terhadap hak-hak publik, menjunjung tinggi supremasi hukum Allah, sehingga tatanan kehidupan menjadi harmoni. Nilai-nilai tersebut merupakan tujuan utama diciptakannya syari’ah samawiyyah (syari’at langit) sebagai manifestasi kehendak Allah untuk menciptakan tatanan ilahiyah yang membawa rahmat bagi umat manusia.
Tetapi pada kenyataannya, fiqh yang diartikan sebagai upaya manusiawi yang melibatkan penalaran dalam memahami, menggali dan mengelaborasi hukum dari sumber aslinya (al-Qur’an dan as-Sunnah), sering mengalami penyempitan makna hanya sebatas membicarakan hukum-hukum taklifi dan wadl’i secara normatif. Sedangkan dalam tataran pemaknaan sosial dalam kehidupan sehari-hari kurang teraktualisasi. Bahkan dalam batas tertentu fiqh dipahami masyarakat sebagai sesuatu yang identik dengan syari’ah, sehingga dipandang sebagai bentuk formulasi pemikiran hukum yang resisten terhadap perubahan. Pemahaman demikian menjadikan fiqh bercorak eksoterik (hitam-putih) dan cenderung normatif-formalistik Oleh karenanya pemahaman yang memutlakkan fiqh harus diubah dengan menggelorakan ijtihad.
Bagi KH. Sahal, dalam melakukan ijtihad pada masa sekarang masih tetap harus ada pada kanal-kanal metodologi istinbat yang digunakan oleh para imam mazhab. Cara inilah yang kemudian dikenal di kalangan NU sebagai bermazhab secara manhajiy (metodologis). Baginya, bermazhab secara metodologis dalam melakukan ijtihad/ istinbat hukum dirasa sebagai sebuah keharusan, karena tek-teks fiqh klasik sudah tidak compatible untuk memecahkan problem-problem masa kini, bahkan memahami fiqh secara tekstual (bermazhab secara qawliy) merupakan aktifitas yang ahistoris dan paradoks dengan perkembangan zaman. Alasan inilah yang membenarkan bahwa bermazhab secara manhajiy (metodologis) adalah merupakan alternatif yang tepat.
Bagi KH. Sahal bermazhab secara metodologis (manhajiy) merupakan sebuah keharusan dan keniscayaan. Keniscayaan itu disebabkan bukan hanya karena memahami secara tekstual terhadap teks-teks dalam kitab kuning merupakan aktifitas yang paradoks dengan makna dan karakter fiqih itu sendiri, sebagai sebuah hasil pemahaman yang tentunya bersifat relatif menerima perubahan. Sedangkan prosedur berijtihad/beristinbath secara manhajiy (metodologis) menurutnya adalah dengan cara melakukan ferifikasi persoalan-persoalan yang tergolong ushul (pokok/dasar) dan permasalahan yang termasuk furu’ (cabang).
Dalam melakukan verifikasi tersebut KH. Sahal melakukan klasifikasi dan identifikasi kebutuhan masyarakat yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu dlaruriyat(kebutuhan mendesak), hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyat (kebutuhan lux). Ketiga kebutuhan tersebut merupakan maqashid al-syari’ahi (tujuan pokok syari’ah). Dlaruriyat ditujukan untuk menjaga lima hal yaitu jiwa, agama, akal, keturunan, dan harta. Untuk itu operasionalisasi fiqh harus selalu didasarkan atas skala prioritas kebutuhan. Rumusan tujuan syari’ah ini memberikan pemahamn bahwa Islam tidak hanya berperan dalam aspek ibadah, namun sebaliknya kepentingan kemanusiaan (muamalah) harus diutamakan.
Pada tataran aplikasi KH. Sahal Mahfudh selalu memandang aspek mashlahah sebagai acuan syari’ah dalam beristinbat dengan tetap memperhatikan pendapat para sahabat, dan fuqaha awal. Cara ini ditempuh agar dalam proses penggalian hukum (istinbath) tidak terjerembab ke dalam arus modernitas–liberal semata, tetapi tetap dalam kerangka etik profetik dan frame kewahyuan. Atas dasar pemikiran ini, beliau memberikan tawaran pemikiran “Fiqih Sosial” merupakan jawaban alternatif guna menjembatani antara “otentisitas doktrin dengan tradisi dan realitas sosial”.
Dari teori-teori tersebut, KH. Sahal tampaknya tidak sepakat dengan as-Syafi’i yang secara metodologis lebih mengedepankan penggunaan qiyas dan illat hukum dalam berijtihad dan mengesampingkan aspek mashlahah (kepatutan umum). Baginya maslahah adalah sentral tujuan penerapan hukum Islam. Bahkan menurutnya, mashlahah selalu dijadikan acuan syari’ah meskipun tetap berpegang kepada kaidah ushul fiq, tradisi nabi, praktek sahabat dan fuqaha awal. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses penggalian hukum, KH. Sahal selalu menjaga sikap proporsional yakni tidak hanya mengikuti arus modernitas liberalis semata, namun juga tetap berada dalam frame kewahyuan. Inilah yang kemudian diistilahkan sebagai “fiqh sosial” yang ditawarkan oleh KH. Sahal.

D. Aksiologi dan Signifikansi Fiqh Sosial
Fiqh sosial adalah formulasi kajian ulama tentang persoalan hukum yang bersifat praktis yang diambil dari dalil syar’i yang berorientasi pada persoalan sosial kemasyarakatan. Fiqh sosial digagas sebagai jawaban alternatif untuk menjembatani otentisitas wahyu dan realitas sosial. Alternatif ini penting dalam rangka upaya menerapkan norma-norma agama atas realitas sosial melalui pemurnian yang dinamis dalam gerakan tajdid (pembaharuan) menuju terciptanya paradigma baru dalam memahami dan menerapkan hukum Islam (fiqh dalam arti sempit). Setidaknya ada lima ciri dari paradigma baru tersebut yaitu (1)melakukan interpretasi ulang dalam mengkaji teks fiqh untuk ditemukan konteksnya yang baru (2)makna bermazhab diubah dari tekstual (mazhab qawliy) ke bermazhab secara metodologis (manhajiy) (3)verifikasi mendasar untuk memilah antara ajaran pokok (ushul) dan ajaran cabang (furu’) (4)fiqh dihadirkan sebagai etika sosial bukan sebagai hukum positif negara dan (5)pengenalan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah sosial dan budaya.
Lima ciri tersebut yang selalu dipertahankan oleh fiqh sosial. Yang demikian ini dilakukan karena sebenarnya fiqh itu tidak boleh terkontaminasi pada penjustifikasian dalam dunia praktis secara lebih jauh, sehingga dalam fiqh tidak harus ada stagnasi (tawaqquf). Fiqh bersifat fleksibel, ia sanggup menghadapi berbagai ruang dan waktu, tentunya jika dilakukan kajian secara dinamis dan terbuka bagi suatu upaya perubahan menuju kontekstualisasi ajaran. Jika terjadi tawaqquf berarti fiqh jatuh ke jurang ketakberdayaannya karena fiqh tak mampu memberikan jawaban atas masalah-masalah baru. Akibatnya terjadi vacum of law yang besar kemungkinan akan menimbulkan anarkhi.
Ditilik dari segi perannya dalam memahami teks, fiqh sosial merupakan bentuk dekonstruksi teks yang membawa konsekuensi sosiologis yaitu membongkar pola pikir kaum feodal konservatif yang memutlakkan otoritas teks. Dengan demikian fiqh sosial telah membuka peluang demokratisasi penafsiran atas teks-teks fiqh yang beku dan baku. Dengan menjadikan manusia sebagai sumber budaya, fiqh sosial telah membuka peluang kemajemukan tafsir.
Dalam konteks menegakkan tatanan hidup yang berkeadilan, kehadiran fiqh sosial merupakan bentuk respon terhadap pembelaan untuk kaum tertindas. Dalam menghadapi masalah-masalah sosial kemasyarakatan, kehadiran fiqh sosial sebagai landasan operasional dalam merespon berbagai masalah dan untuk melakukan terapi sosial. Ari penting fiqh sosial adalah terletak pada keberpihakannya kepada kepentiangan sosial dan maslahah ‘ammah (kepatutan umum). Realita teoritisnya, fiqh sosial tidak serta-merta mengikuti main stream modernisme yang hanya terfokus pada melihat realita, tetapi masih tetap berpijak pada otentisitas sumber hukum utama dan teks-teks klasik.
E. Simpulan
Pemikiran hukum Islam KH. Sahal dalam rangka kontekstalisasi pemahaman terhadap teks fiqh selalu menjadikan maslahah atau maqashid al-Syari’ah sebagai fokus dalam melihat permasalahan. Corak pemikiran ini tergolong kompromistik dan mengambil jalan tengah, karena masih mengakui sisi positif teks-teks fiqh dan ushul fiqh klasik (antara lain keharusan bermazhab) dan tidak mengabaikan realita.
Dari sisi substansi, pemikiran ‘fiqh sosial’ KH. Sahal sesungguhnya bukan barang baru, karena telah dibicarakan oleh semisal Abdul Wahab Khallaf dalam memilah beberapa materi hukum muamalat yang terkait dengan kepentingan sosial. Kebaruannya terletak pada aplikasinya dalam mewujudkan fiqh baru Indonesia. Lebih dari itu, pamikiran KH. Sahal memberikan inspirasi bagi pengkajian wacana keislaman khususnya dalam mengenai penggunaan metodologi istinbat manhajiy. Melalui deklarasi penggunaan metode bermazhab secara manhajiy di kalangan NU, sesungguhnya pemikiran KH. Sahal dapat menemukan urgensi kontribusinya dalam mengubah tradisi NU yang literal (qawliy) menjadi tradisi metodologis (manhajiy). Kontribusi tersebut tampak penting dalam upaya menciptakan pemahaman hukum Islam modern yang humanistik dengan tujuan memadukan dimensi teks dengan konteks, doktrin dengan tradisis serta otentisitas wahyu dengan modernitas sebagai bentuk jalan tengah.
Namun demikian, pemikiran tersebut belum sampai pada pengembangan metodologi. Padahal sesungguhnya yang diharapkan dalam rangka menghadapi modernisasi adalah adanya pengembangan metodologi menuju ijtihad saintifik modern. Oleh karenanya maka pemikiran KH. Sahal harus diposisikan pada level yang belum final, perlu dikembangkan dan harus dikritisi sampai muncul sebuah pemikiran baru yang memang benar-benar vital dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial kontemporer.




DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Abu Zahrah, Ahmad, Ushul al- Fiqh, Dar al-Tsaqafah, t.t.

-------, Ushul Fiqih, Edisi terjemahan Saifullah Ma’shum dkk., Cet. VIII, Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2003.

Azizi, A. Qodri, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik Modern, Jakarta: Penerbit Teraju, 2003.

al-Ghazali, al-Mustasyfa, Juz I.

Hallaq, Wael B., A History of Islamic Theories Cambridge: Cambridge University Press, 1997.

HS., Hairus Salim & Amin, Nuruddin (penyunting), “ Ijtihad dalam Tindakan (Pertanggungjawaban Penyunting)”, Pengantar dalam KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS, 1994

al-Jurjawi, Ali Ahmad Himah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H. / 1994 M.

Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Khallaf, Abdul Wahab, Ilm Ushul al-Fiqh, Cet. XII, Kairo: Dal al-Qalam, 1978.

an-Na’im, Adullahi Ahmed, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law, New York: Syracusse University Press, 1990.

Permono, Hadi Syechul, “Ahlussunnah Waljamaah dalam Perspektif Fikih Sistem Kemazhaban dalam NU”, dalam Imam Baihaqi (ed.), Kontroversi Aswaja, Aula Perdebatan dan Interpretasi, Yogyakarta: LKiS, 2000.

al-Qurthuby, Sumanto, KH. M.A. Sahal Mahfudh, Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Penerbit CERMIN, 1999.

Rofiq, Ahmad, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Falsafah Hukum Islam, H.Z. Fu’ad Hasbi ash-Shiddieqy (ed.), Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002.

Sumantri, S. Suria, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Cet XVII, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.

asy-Syatibi, Abu Ishaq, al-Muwafaqat, Juz II, IV, Beirut: Dar al-Makrifah, tt.

Watt, W. Montgomery, Islamic Fundamentalism and Modernity, London and New York Routledge, 1988.

Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, 1994.

Zahro, Ahmad, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999, Yogyakarta: LKiS, 2004.

1 komentar: