Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Oktober 2010

MENAKAR PERAN AKAL DAN WAHYU

MENAKAR PROPORSIONALITAS PERAN AKAL DAN WAHYU
(Mengintip Ruang Bertemu dan Ruang Berpisah)
Oleh: Mahsun Mahfud

A. Pendahuluan
Akal dengan segala kemampuannya untuk berpikir adalah kelebihan yang membedakan antara manusia dan makhluk lain. Al-Qur’an banyak menyerukan kepada manusia untuk berpikir. Sebagai khalifah di bumi, manusia diberi kebebasan menggunakan akal pikirnya untuk memakmurkan kehidupan, karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak dan berkecenderungan kepada mencari kebenaran..
Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama. Oleh karenanya kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dengan kata lain, setiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Karena perbedaan kriteria maka kebenaran baik yang bersifat subyektif maupun yang bersifat obyektif sama-sama relatif sepanjang itu dihasilkan melalui proses berpikir. Sebuah kebenaran yang dicapai melalui berpikir sangat ditentukan oleh subyektifitas atau obyektifitas dalam berpikir.
Membincang tentang persoalan berpikir obyektif sebagai bentuk kerja akal tidak bisa terlepas dari berpikir secara filsafati, karena sesungguhnya filsafat mengajak manusia berpikir menurut tata tertibnya (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sampai ke dasar persoalan. Jadi berpikir secara filsafati yang dimaksudkan adalah berpikir secara mendasar (radic) , bebas dan logis tidak terikat oleh nilai apapun termasuk wahyu
Berpikir sebagai kegiatan filsafati individual memang tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan komunal atau sosial, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa implikasi dari hasil sebuah pemikiran akan memasuki pada ranah-ranah kehidupan sosial. Sebagai contoh rekayasa bioteknologi seperti cangkok sperma, kloning, cangkok ginjal babi dan sebagainya dalam tataran sebagai pruduk berpikir adalah sah adanya. Tetapi pada tataran aplikasi tentu (minimal bagi umat Islam) akan mempertanyakan status hukumnya, misalnya bolehkah hal itu dilakukan, bertentangan dengan hukum dan moral agama atau tidak dan sebagainya. Meskipun demikian, jika berpikir terlalu dibatasi dengan norma atau nilai tertentu maka yang terjadi adalah pemasungan fitrah manusia itu sendiri.
Untuk mendapatkan pemahaman yang clear and disting tentang tarik menarik antara peran akal dalam berpikir dan wahyu sebagai norma dan etika agama, yang sudah barang tentu akan membatasi kebebasan, perlu dilakukan telaah secara obyektif dengan melihat wilayah kerja dan kewenangan masing-masing baik pada tataran ontologi maupun aksiologinya dalam mewujudkan kesejahteraan kehidupan umat manusia. Makalah ini mencoba membincangkan proporsionalitas peran akal dan wahyu. Pertanyaannya adalah kapan akal bisa meninggalkan wahyu sebaliknya kapan wahyu harus mempetieskan peran akal, dan kapan pula antara akal dan wahyu saling bersinergi pada wilayah garapan yang sama. Ada ruang bertemu dan ada ruang berpisah antara peran akal dalam berpikir dan wahyu sebagai norma dan etika agama. Pada titik inilah makalah ini difokuskan pembahasannya.
B. Kebebasan Menggunakan Akal dalam Berpikir
Manusia dianugerahi akal adalah agar manusia dapat berpikir secara bebas dan bertanggungjawab untuk membedakan antara yang benar dan yang salah yang baik dan sebaliknya. Benar dan salah yang dicapai oleh akal manusia diukur dengan logika yang pada hakikatnya bebas nilai. Mengapa, karena ketika kebebasan berpikir dipasung dengan nilai-nilai tertentu, maka sesungguhnya itu merupakan awal ketakberdayaan manusia. Ketika kondisi seperti ini yang terjadi, maka pada saat yang bersamaan kebudayaan akan punah. Begitu pula, ketika dunia ini kosong kebudayaan, maka sudah tidak perlu lagi apa yang di sebut sistem nilai-budaya (cultural value system) . Antara budaya manusia dan nilai yang terkait dengannya tidak dapat dipisahkan, masing-masing ada karena yang lain.
Secara umum berpikir dapat didefinisikan sebagai perkembangan idea dan konsep. Dalam metafisika, berpikir adalah sebuah proses kerja akal budi ketika menangkap pengalaman (realita) untuk menemukan sebuah kebenaran tentang realita atau pengalaman itu sendiri. Apa yang ditangkap oleh pikiran , termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia dari lingkungan dimana ia berada sesungguhnya adalah bersifat mental. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan-gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurnya.
Dalam berpikir menemukan kebenaran manusia melakukan penalaran yakni berpikir melalui cara-cara yang logis dan sistematis. Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama adalah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis dalam arti melakukan sebuah kegiatan berpikir menurut suatu pola atau logika tertentu. Ciri kedua dari penalaran adalah, sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis, dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan.
Berdasarkan kriteria penalaran tersebut, dapat dikatakan bahwa kegiatan berpikir yang tidak logis dan tidak analitis tidak termasuk ke dalam penalaran. Corak berpikir yang seperti ini terlepas dari aturan apapun karena sangat subyektif, bersifat dloruriy (tak terpikirkan) dan tidak terukur. Misalnya, perasaan enak , tidak enak, senang, atau benci dan intuisi merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Seperti halnya intuisi, manis panas dan sebagainya adalah termenologi yang diberikan oleh manusia kepada gejala yang ditangkap melalui pancaindra. Rangsangan pancaindra ini disalurkan ke otak tanpa melalui proses berpikir nalar, dapat menghadirkan gejala tersebut melalui proses kimia-fisika. Dalam hal ini menurut aliran monistik, sebagai salah satu aliran dalam psikologi yang berpendapat tidak membedakan antara pikiran dan zat, proses berpikir dianggap sebagai aktivitas elektrokimia dari otak. Bagi aliran ini, berpikir adalah sebuah kegiatan aparat-aparat dari otak secara mekanik.
Sebagai proses elektrokimia, maka berpikir adalah bebas nilai karena pembatasnya adalah logika yang merupakan cara penarikan kesimpulan dalam berpikir, sehingga dalam proses menemukan kebenaran, validitas sebuah hasil dari proses berpikir selalu ditentukan dan diukur dengan cara-cara tertentu secara logik baik dengan menggunakan logika deduksi maupun logika induksi. Begitu pula secara ontologis maupun secara epistemologis, ilmu sebagai hasil dari proses berpikir secara logis dan sistematis juga bebas nilai secara total. Mengapa, karena kebenaran dalam ilmu diukur dengan realita yang konkrit dan melalui cara berpikir yang logis yang biasa disebut metode ilmiah, sehingga kebenaran ilmiah adalah sebuah kebenaran yang dapat dibuktikan dan dapat diuji kembali.
Secara aksiologi ketika ilmu sebagai anak kandung akal yang lahir melalui proses berpikir dihadapkan pada masalah moral, ketika ternyata ilmu dan teknologi membawa ekses yang merusak kehidupan, misalnya, senjata biologi, pengembangan uranium untuk membuat bom dan sebagainya, para ilmuwan terbagai ke dalam dua pendapat. Pendapat pertama, menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai baik secara ontologis maupun aksiologis. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada waktu era Galileo Galilie. Tugas ilmuwan adalah berpikir secara nalar untuk menemukan pengetahuan. Adapun penggunaanya sepenuhnya terserah pada pengguna. Manusialah yang menentukan baik dan buruknya ilmu. Pada tataran ini Ilmu tidak mau bahkan tidak peduli dengan wahyu (agama).
Pendapat kedua, sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan (ontologi) dan epistemologi, sedangkan dalam penggunaannya (aksiologi) harus berlandaskan pada asas-asas moral termasuk moral agama yang bersumber dari wahyu. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika manusia menyadari bahwa manusia seyogyanya mengontrol pikirannya dengan moral. Karel Jaspers mengatakan bahwa ilmu adalah usaha manusia untuk mendengarkan jawaban-jawaban yang keluar dari dunia yang dihuninya. Di sinilah lengketnya etika dengan ilmu. Ilmu bukan tujuan tetapi sarana, karena hasrat akan kebenaran itu berhimpit dengan etika pelayanan bagi sesama manusia dan tanggungjawab secara agama.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din, ia mengkritik fiqh sebagai ilm al-dunya. Rumusan kerangka teoritik fiqh yang formalistik telah kehilangan aspek etiknya sehingga ilmu fiqh seakan-akan telah menjadi ilmu yang netral etik. Ia mengatakan bahwa sering ditemukan anggapan bahwa suatu ilmu itu nampaknya tergolong terpuji (mahmudah) padahal sebenarnya ilmu itu tercela (mazmumah). Kalau kita tarik pada ranah filosofi sesungguhnya cara pandang al-Ghazali terhadap ilmu fiqh (sebagai bagian dari ilmu secara umum) sangat menekankan aspek aksiologisnya yakni kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat. Dengan demikian, akal sebagai peretas ilmu (sain) betapapun hebatnya tidak boleh meninggalkan bahkan harus mau dikontrol oleh wahyu sebagai pembawa pesan moral agar akal dan ilmu sebagai anak kandungnya menjadi meaningfull bukan meaningless.

C. Makna Kebebasan
Kebebasan yang akan dibicarakan disini dibedakan antara kebebasan dalam berbuat yang terikat oleh ruang dan waktu, hukum moral dan hukum sosial, dan kebebasan dalam berpikir yang pada dasarnya berwatak bebas.
Secara sederhana kebebasan dapat dirumuskan sebagai keleluasaan untuk bertindak atau tidak bertindak berdasarkan pilihan yang tersedia bagi seseorang. Seseorang dikatakan bebas jika tak ada hambatan dan larangan baginya untuk melakukan apa saja. Kebebasan muncul dari doktrin bahwa setiap orang memiliki hidupnya sendiri dan serta memiliki hak untuk bertindak menurut pilihannya. Dalam konteks sosial, kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam artian ini, kebebasan manusia mengandung pengertian bahwa di balik kebebasan terdapat tanggungjawab dalam artian tidak ada kebebasan tanpa tanggungjawab, dan bigitu pula tidak ada tanggungjawab tanpa kebebasan. Antara tanggungjawab dan kebebasan adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Dalam teologi Islam, kebebasan pada manusia (termasuk kebebasan berpikir) selalu ada batasan dan kekuatan yang tidak bisa dilawan. Batasan itu bisa bersifat fisik dan bisa berupa moral keagamaan. Sebebas-bebas manusia dalam mengekplorasi potensi yang ada pada dirinya, ia tetap terikat dengan hukum fisik, misalnya hukum alam yang membatasai manusia tidak bisa mencapai semua imajinasi dan angan-angannya, terkait dengan keterbatasan ruang dan waktu. Secara moral, semua tindakan manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, kebebasan yang sejati adalah kebebasan seseorang agar tidak terbelenggu oleh kebodohan dan kenistaan hidup. Dari sudut pandang moral keagamaan, orang yang merdeka adalah mereka yang bebas dari keterikatan dan ketundukan pada kekuatan yang menurunkan derajad kemanusiaannya.
Dalam upaya menilai semua upaya penyelarasan kehendak bebas dengan daya dan pengetahuan ilahi sangat penting diamankan dan didamaikan fakta-fakta berikut; kebebasan manusia, tanggungjawab, harkat moral, keadilan Allah, dan kejujuran, juga ketergantungan secara total ciptaan pada penciptanya. Menurut Kant, kehendak bebas bisa tercapai karena adanya kemungkinan, yang tidak tergantung pada semua kepentingan diri, untuk menundukkan diri sendiri pada hukum moral sedemikian rupa sehingga kehendak itu menentukan hukum bagi dirinya sendiri.
Berbeda dengan kebebasan bertindak atau berbuat, kebebasan berpikir sebagai bentuk kerja akal tidak terikat oleh nilai-nilai tertentu dalam arti, apapun boleh dan tidak haram dipikirkan, bahkan dalam kontek mempertahankan eksistensi kebudayaan, kebebasan berpikir mutlak diperlukan bagi kebudayaan. Ini berarti manusia sebagai khlaifah Allah yang mengemban amanat memakmurkan dunia diberikan kebebasan menggunakan amanat tersebut dalam kaitannya pengembangan kebudayaan manusia itu sendiri. Punahnya kebudayaan pada hakekatnya adalah pertanda punahnya kehidupan manusia itu sendiri. Misalnya, kebebasan berpikir dalam melakukan ijtihad merupakan sesuatu yang vital dalam pengembangan kebudayaan Islam. Penutupan pintu ijtihad berarti awal kejatuhan kebudayaan Islam.
Kebebasan berpikir tidak berarti pemutlakan terhadap hasil pemikiran. Dengan demikian kebebasan berpikir tidak seharusnya dipandang berbahaya sepanjang hasilnya tidak dipandang absolut. Pemutlakan dari hasil pemikiran seseorang untuk orang lain pada dasarnya akan menimbulkan tindakan anarkhis. Dalam konteks ini, betapa pun validnya sebuah hasil pemikiran harus dipahami dan diletakkan dalam ketidakmutlakan (kenisbian), yang bersifat terbuka menerima perubahan secara dinamis sesuai dengan watak keilimiahannya itu sendiri. Jika demikian yang terjadi maka budaya kebebasan berpikir dengan mengambil bentuk kebebasan berijtihad akan membawa kebudayaan Islam mencapai pada tingkatan yang nyaris sempurna.

D. Aksiologi Kebebasan Berpikir dan Eksistensi Kebudayaan
Melalui tinjauan filosofis dan historis, Harun Nasution menyimpulkan bahwa kebudayaan Islam di zaman klasik berkembang pesat bahkan mengambil bentuk peradaban yang tinggi, karena ada kebebasan berpikir, sehingga pemikiran menjadi terbuka dan pandangan menjadi luas, sikap menjadi dinamis, dan pemikiran rasional dapat berkembang dengan baik. Dengan demikian maka kebebasan berpikir berkait erat dengan eksistensi kebudayaan dimana manusia tidak akan bisa terlepas darinya. Dengan kata lain, kemajuan sebuah kebudayaan, salah satunya, ditentukan oleh adanya kebebasan berpikir. Rasio manusia harus dilatih dan dipertajam dengan memberikan dan melengkapinya dengan alat analisis untuk melihat realitas sosial dan mengevaluasi perubahan sosial secara kritis agar tidak membuat diri kita hilang dalam gelombang besar transformasi budaya, Jika tidak, manusia akan tergiring oleh transformasi budaya tersebut ke dalam “kepribadian terbelah” (split personality).
Dalam konteks kebudayaan, nabi Muhammad saw telah memberikan keteladanan dalam sunnah berpikirnya yang mampu mentransendir realitas, imajinatif dan mempunyai komitmen moralitas dan kemanusiaan yang tinggi. Sunnah nabi dalam berpikir tersebut adalah berpikir dengan basis akal qudsi, yang disebut Ibnu Sina dengan al-hads yaitu kecerdasan transenden, yang dalam al-Qur’an bersendikan pada hikmah (diartikan sebagai filsafat) dan kitab al-Qur’an. Adapun prosesnya adalah dengan metode menyatukan pikir dan zikir, dan dengan kesatuan pikir dan zikir itu dikembangkan untuk memasuki pengalaman spiritual, yang akan memberikan makna yang lebih tinggi pada apa yang di langit dan di bumi yang telah Tuhan ciptakan dengan kebenaran, bukan kebatilan, dan dengan rendah hati memohon ampunan atas segala tindakannya yang tidak benar. Oleh karena itu dalam kasus kebebasan berpikir dalam melakukan ijtihad, implementasinya tetap diperlukan sebuah etika. Etika yang dimaksud adalah sikap rendah hati dengan mengosongkan ruang batin dari egoisme sempit yang hanya mementingkan diri sendiri. Terbuka terhadap adanya kebenaran lain, mau mendengarkan dan mempertimbangkannya, serta bersedia menerima pendapat yang baik. Dengan etika demikian pemikirannya akan lebih terjaga dari kekeliruan.
Dalam kontek visi kenabian, kebudayaan manusia, termasuk berpikir adalah tanggungjawab kreatif yang berdimensi moral, artinya kebebasan kreatif yang menjadi pusat tumbuhnya kebudayaan tidak bebas nilai, baik dalam pengertian teleologis maupun etika. Hanya dalam kontek ini, maka kebudayaan akan dapat menjadi ibadah seseorang kepada Tuhan, sebaliknya kebudayaan bisa menjadi perlawanan seseorang kepada hukum-hukum Tuhan, yang pada akhirnya akan menghancurkan dirinya sendiri.
Nilai moral yang menjadi landasan kebudayaan adalah nilai-nilai moral yang bersifat universal, yang berbasis pada kemanusiaan dan spiritualitas agama, yang jika disodorkan kepada seseorang, secara kodrati ia akan menerima dan menyetujuinya sebagai kebaikan. Dengan mengikatkan diri pada nilai moralitas universal tersebut, suatu kebudayaan akan menjadikan kehidupan ini menjadi lebih seimbang artinya tidak melawan kodrat hidupnya, sehingga kebudayaan menjadi bentuk kepatuhan dan ketaatan seseorang pada hukum-hukum Tuhan.

E. Peranan Etika dan Wahyu
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani; ethikos, ethos yang berarti kebiasaan atau watak juga berasal dari bahasa perancis etiquette yang juga berarti kebiasaan atau cara bergaul, berperilaku yang baik. Frankena (1984: 4) sebagaimana dikutip oleh Desi Fernanda mengemukakan bahwa etika (ethics) adalah salah satu cabang filsafat, yang mencakup filsafat moral atau pembenaran-pembenaran filosofi (phylosophical judgments). Secara konseptual, istilah etika memiliki kecenderungan dipandang sebagai suatu sistem nilai, apa yang baik dan buruk bagi manusia dan masyarakat. Dalam implementasinya etika banyak dikembangkan sebagai norma-norma yang mengatur tata kehidupan sebuah komunitas. Etika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak.
Etika yang juga disebut filsafat moral adalah cabang disiplin aksiologi yang membicarakan dan berusaha mendapatkan simpulan tentang norma tindakan serta pencarian ke dalam watak moralitas atau tiondakan-tindakan moral. Etika menganalisis konsep-konsep seperti keharusan, kemestian, tugas, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggungjawab, dan lain-lain. Pembagian bidang kajian etika setidaknya menyangkut empat bidang yaitu pertama, moralitas berdasarkan kitab suci (scriptural morality), kedua, etika teologis (theological ethics), ketiga, etika kefilsafatan (philosophical ethics), dan keempat, moralitas keagamaan (religious morality).
Ada enam prinsip yang merupakan landasan prinsipil dari etika yaitu prinsip keindahan (beauty), persamaan (equality), kebaikan (goodness), keadilan (justice), kebebasan (liberty), dan prinsip kebenaran (truth). Pada prinsip yang terakhir ini biasanya ditakar dengan logika ilmiah yang bersifat realistis, faktual dan dapat dibuktikan. Namun ada pula kebenaran yang hanya dapat dibuktikan dengan keyakinan yaitu kebenaran teologis dan agama. Pada kenyataannya, kebenaran harus dapat dibuktikan dan ditunjukkan secara nyata baik itu kebenaran agama maupun kebenaran ilmiah. Untuk itu perlu ada jembatan penghubung antara kebenaran dalam pemikiran (truth in mind) dengan kebenaran dalam kenyataan (truth in reality). Jembatan yang dimaksud adalah norma atau hukum yang disepakati yang dapat menjamin terciptanya enam prinsip tersebut.
Norma atau hukum yang disepakati ada yang bersifat absolut dan ada yang bersifat relatif. Yang absalut kebenarannya berupa hukum-hukum Allah yang disebut wahyu (syari’at), sedangkan yang bersifat relatif kebenarannya adalah hukum atau norma yang diciptakan oleh manusia misalnya hukum-hukum fiqih dan hukum adat yang diciptakan oleh masyarakat komunitas sosial tertentu.
Kedua norma tersebut yang mesti diharapkan dapat menjembatani antara apa yang dipikirkan manusia dan kenyataan. Oleh karenanya mengukur kebenaran tergantung pada alat ukur dan jembatannya. Jika kebenaran diukur dan melalui jembatan norma yang absolut maka legitimasinya berlaku untuk siapapun yang mengakui keabsolutannya. Jika kebenaran diukur dengan norma yang relatif seperti hukum adat dan etika sosial maka legitimasinya akan berfariasi, artinya sesuatu dapat dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat tertentu dan dalam kasus yang sama bisa dianggap sebaliknya oleh masyarakat yang lain. Misalnya, kriteria pornografi dan pornoaksi, apa yang dianggap oleh orang jawa (khususnya muslim) sebagai tindakan pornografi misalnya membuka aurat di depan umum, mungkin tidak demikian jadinya ketika suku di pedalaman di Papua atau para tourist di Bali. Mengapa demikian, karena etika erat hubungannya dengan norma yang selalu menilai sesuatu dengan baik atau jahat, bukan benar atau salah. Sementara kebebasan berpikir dalam menemukan kebenaran adalah logika dengan metodenya yang disebut metode ilmiah dengan karakternya yaitu dapat dibuktikan dan diuji kembali.

F. Simpulan
Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat pula ruang dimana keduanya harus berpisah. Pada saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sain dan lestarinya budaya dengan memberikan ruang kebebasan akal agar berpikir secara dinamis, kreatif dan terbuka, di sanalah terdapat ruang bertemu antara akal dan wahyu.
Secara ontologis kebebasan berpikir sebagai kinerja akal tidak terikat dengan nilai, tetapi implikasi kebebasan berpikir itu secara aksiologis dibatasi dengan tanggungjawab dan moral. Hanya sebagaian filosof Barat seperti Galileo Galilie dan para pengikutnya yang membebaskan manusia mengembarakan akal pikirnya sebebas-bebasnya. Kebebasan itu tidak ada sangkut pautnya dengan nilai, sehingga mereka berpendapat bahwa ilmu sebagai produk kinerja akal adalah bebas nilai secara total.
Menurut filsafat Islam dimana dasar pijakannya adalah hikmah (fisafat) dan al-Qur’an, akal yang meretaskan budaya berpikir dalam implementasinya, sebagaimana dicontohkan oleh nabi, adalah tidak bebas nilai. Begitu pula ilmu sebagai produk kerja akal melalui proses berpikir tentu juga tidak bebas nilai. Di sinilah antara wahyu (moral agama) yang sarat nilai harus tidak boleh berpisah dengan akal. Secara etika ilmu harus dapat mensejahterakan kehidupan bukan sebaliknya. Oleh karenanya akal sebagai sarana menemukan kebenaran berhimpit dengan etika pelayanan bagi sesama manusia dan tanggungjawab agama. Menurut Imam al-Ghazali, akal betapa pun hebatnya harus mau dikontrol oleh wahyu. Kebenaran yang dicapai oleh akal bersifat relatif-spikulatif, sedangkan kebenaran wahyu bersifat mutlak karena datangnya dari Yang Maha Benar.
























DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, edisi terjemahan oleh Hamzah, Bandung: Penerbit Mizan, 2002.

Asy’arie, Musa, “Konsep Quranik tentang Strategi Kebudayaan”, dalam Abdul Basir Solissa, dkk. (ed.), al-Qur’an dan Pembinaan Budaya Dialog dan Transformasi, Yogyakarta: LESFI, 1993
-
------, Musa,Filsafat Islam tentang Kebudayaan, Yogyakarta: LESFI, 1999.

-------, Musa,Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI, 1999.

al-Muqaddasi, Faidlullah al-Hasani, Fath al-Rahman li Thalib Ayat al-Qur’an,, Jeddah: al-Haramain, t.t.

al-Syahrostani, Kitab al-Milal wa al-Nihal, Muhammad Ibn Fath Allah al-Badran (ed.), Kairo: tp, 1951.

Awing, A.C., Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat, terjemahan Uzair Fauzan, Rika Iffati Farikha, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Cet. II, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Bochenski, J.M., “Apakah Sebenarnya Berpikir”, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Perspektif, Cet. XV, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Daldjoeni, N.,“Hubungan Etika dengan Ilmu”, dalam Jujun S. Suriasumantri, Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Perspektif, Cet. XV, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Fernanda, Desi, Etika Organisasi Pemerintah, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 2003.

Hafsin, Abu “Fiqh Sosial (Suatu Upaya Menjadikan Fiqh sebagai Etika Sosial)”, dalam Jamal Ma’mur Asmuni, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi, Surabaya: Khalista, 2007.

Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Penerbit Teraju, 2004.

Kuncaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Cet. XIX, Jakarta: Djambatan, 2002.

Nasution, Harun, Falsafah Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

-------, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986.

-------, Harun, “Tinjauan Filosofis tentang Pembentukan Kebudayaan dalam Islam”, dalam Abdul Basir Solissa, dkk. (ed.), al-Qur’an dan Pembinaan Budaya Dialog dan Transformasi, Yogyakarta: LESFI, 1993.

Sahakian, William S. dan Sahakian, Mabel Lewis, Realism of Philosophy, Cambridge, Mass: Schenkman, 1965.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Cet. XVII, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.

Suseno, Franz Magnis, “Harun Nasution dan Filsafat Agama di Indonesia”, dalam Teologi Islam Rasional, Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution, Abdul Halim (ed.), Jakarta: Ciputat Pers, 2001.

Rapar, Jan Hendrik,Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar