Cari Blog Ini

Selasa, 12 Oktober 2010

Refleksi Hijrah Menuju Peneguhan Citra dan Jati Diri NU

Oleh: Mahsun Mahfud

A. Pendahuluan
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang didirikan para kyai-kyai yang berpengaruh. Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 dalam sebuah rapat di Surabaya, yang menurut KH. Saifuddin Zuhri, dihadiri oleh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisyri, KH. Ridwan, KH. Nawawi, KH. Doromuntaha (menantu KH. Cholil Bangkalan), dan banyak kyai lain. KH. Hasyim Asy'ari merupakan simbol ulama besar yang berpengaruh. Tujuan didirikannya Nahdlatul Ulama di antaranya adalah memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlus Sunnah Wa al-Jama'ah
Kini NU hampir memasuki usia seabad (sekarang berumur 83 tahun), sebuah usia yang cukup panjang untuk sebuah organisasi masyarakat, bahkan lebih panjang dari usia kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Di tengah usia yang menjelang seabad ini, NU menghadapi problem-problem yang jauh kebih kompleks. Saat kelahirannya dulu, NU menghadapi dua hal: globalisasi wahhabi dan globalisasi imperialisme fisik Barat ke negara-negara dunia ketiga, termasuk di nusantara. Kini NU juga mengahadapi dua tantangan sekaligus: globalisasi Islam radikal dan globalisasi neoliberal. Keduanya akan menggerus nasib NU ke depan, bahkan bisa menghempaskan NU menjadi butiran-butiran pasir yang berceceran bila tidak direspon secara baik.
Secara internal, NU yang sudah cukup dewasa secara usia ini dihadapkan kepada dua tantangan yang mendasar yaitu pertama, tantangan untuk merealisasikan tujuan didirikannya NU oleh para founding father-nya. Kedua, tantangan yang bersifat eksistensial yaitu peneguhan citra dan jati diri NU di tengah-tengah realitas kehidupan masyarakat secara luas. Makalah ini mencoba untuk mendiskusikan tantangan yang disebut terakhir dengan menggunakan pendekatan reflektif atas peristiwa hijrah nabi Muhammad SAW.

B. Makna di Balik Peristiwa Hijrah Rasul Muhammad SAW
Jika kita renungkan kembali faktor social, ekonomi, dan teologis yang melatarbelakangi peristiwa hijrah dimana pada saat itu Rasul Muhammad SAW benar-benar dalam situasi yang repot, sulit dan menyedihkan karena terkungkung dalam tekanan orang-orang kafir dalam segala lini kehidupan social dan keagamaan. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa hijrah sesungguhnya tidak sekedar peristiwa pindahnya Rasul Saw dari Mekkah ke Madinah. Secara umum hijrah tidak hanya diartikan pindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi hijrah sesungguhnya adalah sebuah upaya menarik diri dari perhelatan umum untuk melakukan kontemplasi dan mempersiapkan langkah-langkah menuju tercapainya sebuah keberhasilan. Pada titik inilah dapat dipahami bahwa hijrah Rasul Muhammad SAW –dilihat dari aspek sosilanya- sesungguhnya adalah merupakan upaya mencari lingkungan huidup yang baru yang memungkinkan terbentuknya masyarakat ideal yakni masayarakat adil, makmur, damai, tenteram, dan diridhai oleh Allah SWT.
Dalam kontek upaya meneguhkan citra dan jati diri NU, kiranya momentum hijrah dalam arti tersebut seharusnya dapat menjadi spirit NU secara organisasi dan nahdliyyin baik secara individual maupun secara kolektif untuk bahu-membahu meninggalkan masa lalu yang tidak menguntungkan menuju upaya mencapai masa depan yang lebih menguntungkan dalam berbagai aspek baik dalam aspek social, politik, ekonomi, maupun keagamaan dalam arti luas. Untuk melakukan upaya tersebut akata kuncinya adalah “pemberdayaan” NU secara jam’iyyah dan nahdliyyin secara personal sesuai dengan bidang dan kemampuan masing-masing di bawah panji-panji NU ala thariqati ahlissunnah wal jama’ah. Jika upaya ini dapat dilaksanakan maka tidak mustahil pada saatnya citra dan jati diri NU menjadi kenyataan positif bagi kehidupan anak manusia.

C. Citra dan Jati Diri NU
Dalam usia yang cukup dewasa ini kiranya NU dapat memetik hikmah perjalanannya meniti kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka merealisasikan misi Islam rahmatan lil ‘alamin. Secara singkat –meminjam istilah KH. Ali Maksum- dapat disebutkan beberapa hal yang seharusnya dilakukan yaitu sebagai berikut:
1. NU harus banyak belajar dari sejarah hidupnya; Artinya NU harus mau melihat pasang-surut dan pamor kehidupan NU dari dulu hingga sekarang serta berbagai sebab yang melatarbelakangi. Dengan demikian diharapkan akan dapat menarik kesimpulan secara induktif untuk dirumuskan sebagai bekal menghadapi masa yang akan datang.
2. NU harus labih dewasa, arif dan bijak, Sikap arif dapat timbul dari kelembutan pikiran dalam mencerna dan memahami serta menghayati berbagai pengetahuan dan pengalaman. Sedangkan kebijakan dapat muncul karena keluhuran budi dalam menentukan sikap yang dilandasi sifat arif tersebut.
3. NU harus memikirkan masalah regenerasi baik secara fisik maupun secara aspiratif; Secara fisik, kita harus mulai berani menampilkan tenaga/pengurus baru dari kalangan kaum muda. Sedangkan secara aspiratif, kita harus mampu tidak hanya mentransfer nilai-nilai luhur NU secara utuh dalam kehidupan, tetapi juga harus mampu membuat terobosan baru untuk melahirkan rumusan-rumusan baru yang lebih segar tan kahilangan spirit dan nilai-nilai filosofis khittah NU 1926. Untuk itu diperlukan adanya komunikasi timbal balik yang sehat dan obyektif antara generasi tua dan generasi muda agar kelestarian dan kesinambungan estafet dalam mempertahankan nilai-nilai lihur tersebut berjalan secara dinamis dan produktif sesuai dengan konteksnya.
Tiga hal itulah kiranya merupakan citra NU yang harus diupayakan keutuhan dan eksistensinya. Jika citra diri tersebut dapat diimplementasikan dalam kehidupan NU secara jam’iyyah kiranya tidak berlebihan jika dikatakan jati diri atau kepribadian NU akan semakin tampak kokoh dan dapat mewarnai kehidupan anak manusia secara positif. Jati diri yang dimaksud adalah meliputi akidah, prinsip perjuangan, sistem dan pengaturan organisasi.
Dalam bidang akidah NU telah menetapkan dirinya sebagai pengusung dan pengamal serta pembela ajaran ahlissunnah wal jama’ah. Seadngakan prinsip perjuangan yang senantiasa harus dipertahankan adalah menjadikan NU sebagai wadah perjuangan untuk mengabdi dalam rangka meninggikan kalimah Allah dan memperjuangkan nasib kaum muslimin dan umat manusia secara umum. Secara organisasi, ulama yang biasanya ditempatkan pada jajaran syuriah tidak hanya diposisikan sebagai staf ahli atau penasehat yang tidak mempunyai peran yang signifikan, tetapi ulama menempati posisi tertinggi dan strategis serta mempunyai hak prerogatif dalam sistem keorganisasian NU.
Persoalannya adalah sering terjadi miss komunikasi atau bahkan kebuntuan komunikasi antara jajaran tanfidziah dan jajaran syuriah. Bahkan bisa saja terjadi tanfiziah meninggalkan syuriah, ketika tanfiziahnya klewat produktif dan klewat dinamis sementara syuriahnya cenderung pasif, tawakkal, atau bahkan falistik. Atau juga sebaliknya syuriah terlalu aktif dan powerfull dalam mengontrol jalannya organisasi sehingga tidak ada ruang bagi tanfiziah untuk mengembangkan kreatifitas manajemen organisasinya. Semua itu tentu tidak akan menguntungkan bagi kesinambungan NU secara jam’iyyah. Idealnya adalah Syuriah sebagai pemegang kendali organisasi seharusnya bekerja secara pro aktif dan produktif dalam menjalankan tugas strategis organisasi tetapi juga memberikan ruang gerak kepada tanfiziah untuk berkreasi menjalankan tugas organisasi yang telah diamantkan oleh syuriah dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi serta loyalitas yang tinggi kepada jajaran syuriah.

D. Modal Perjuangan di NU
Di samping citra dan jati diri NU, modal utama perjuangan di NU adalah adanya keterikatan dan rasa memiliki warga NU terhadap jamiyyah NU. Selama ini NU terkesan belum menjadi jam’iyyah tetapi masih menjadi jama’ah karena di samping manajemen yang belum mencerminkan adanya jam’iyyah, juga karena keterikatan warga nahdliyyin terhadap NU rata-rata hanya pada tataran kultural dan emosional belum sampai kepada struktural keorganisasian.
Oleh karena itu –sebagaimana diwasiatkan oleh KH. Ali Maksum- kedepan perlu diupayakan adanya keterikatan warga NU terhadap jam’iyyah NU paling tidak dalam lima aspek yaitu:
1. As-Siqatu bi Nahdatil Ulamā; percaya dan berpegang teguh kepada NU.
2. Al-Ma’rifah wal Itqān bi Nahdatil Ulamā; Setiap warga NU harus mengerti tentang NU sehingga mengikuti NU tidak hanya berdasarkan kultur dan kebiasaan leluhur tetapi berdasarkan pengetahuan dan ilmu.
3. Al-‘Amalu bi Ta’līmi Nahdatil Ulamāi; berbuat dan beramal sesuai dengan tuntunan NU (ahlussunnah wal jama’ah.)
4. Al-Jihādu fi Sabīli Nahdatil Ulamā; memperjuangkan NU agar tetap lestari dan berkembang pesat.
5. As-Sābru fi Sabīli Nahdatil Ulamā; tangguh dan ulet dalam memperjuangkan NU.

E. Simpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia akan senantiasa eksis dan dapat berdaya guna bagi kehidupan anak manusia manakala dimanaj dengan baik, ada kepedulian warganya kepada organisasi secara konsisten. Kepedulian itu seharusnya diwujudkan dalam bentuk upaya meneguhkan jati diri dan citra diri Nahdlatul Ulama dengan berlandaskan lima aspek keterikatan perjuangan warga NU terhadap jam’iyyahnya sebagaimana dijelaskan di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar