Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Oktober 2010

KORELASI PENDIDIKAN DAN RITUAL ZIKIR DALAM TAREKAT QĀDIRIYYAH WA NAQSYABANDIYYAH

A. Aspek Pendidikan dalam Ritual Zikir
Proses long life learning (pendidikan seumur hidup) dalam dunia pendidikan informal yang lebih bersifat learning based (berbasis pembelajaran) dari pada teaching based (berbasis pengajaran) akan menjadi kunci perkembangan sumber daya manusia. Pembelajaran dalam dunia pendidikan dapat dilakukan melalui keteladanan seorang guru terhadap peserta didik atau -dalam istilah dunia tarekat- keteladanan syaikh terhadap murid baik dalam ranah duniawi maupun ukhrawi.
Menurut M.J. Langeveld; "Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing orang yang belum dewasa kepada kedewasaan. Sedangkan Ahmad D.Marimba, pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya keperibadian yang utama. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor: 2 Tahun 1989, "Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akang datang. Pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik agar siap menghadapi masa depannya sendiri.
Sedangkan, "pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi perbuatan atau semua usaha generasi tua untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah. Menurut para ahli Filsafat Pendidikan, dalam merumuskan pengertian pendidikan sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan terhadap manusia; hakikat, sifat-sifat atau karakteristik dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Perumusan pendidikan bergantung kepada pandangan hidupnya. "Apakah manusia dilihat sebagai kesatuan badan dan jasmani; badan, jiwa dan roh, atau jasmani dan rohani? Apakah manusia pada hakekatnya dianggap memeiliki kemampuan bawaan (innate) yang menentukan perkembangannya dalam lingkungannya, atau lingkungannyalah yang menentukan dalam perkembangan manusia? Bagimanakah kedudukan individu dalam masyarakat? Apakah tujuan hidup manusia? Apakah manusia dianggap hanya hidup sekali di dunia ini, ataukah hidup lagi di hari kemudian (akhirat)? Demikian beberapa pertanyaan filosofis". Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas , memerlukan jawaban yang menentukan pandangan terhadap hakekat dan tujuan pendidikan, dan dari sini juga sebagai pangkal perbedaan rumusan pendidikan atau timbulnya aliran-aliran pendidikan seperti; pendidikan Islam, Kristen, Liberal, progresif atau pragmatis, komunis, demokratis, dan lain-lain. Dengan demikian, terdapat keaneka ragaman pendangan tentang pendidikan. "Dalam keanekaragaman pandangan tentang pendidikan terdapat titik-titik persamaan tentang pengertian pendidikan, yaitu pendidikan dilihat sebagai suatu proses; dengan proses itu seseorang (dewasa) secara sengaja mengarahkan pertumbuhan atau perkembangan seseorang (yang belum dewasa). Proses adalah kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang sesuai dengan nilai-nilai yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Dengan pengertian atau definisi itu, kegiatan atau proses pendidikan hanya berlaku pada manusia tidak pada hewan".
Dalam kontek yang lebih spesifik yakni dalam lingkup pendidikan Islam muncul sebuah pertanyaan apakah pendidikan Islam itu? Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka sangat dipengaruhi oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam. Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, "Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah. Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge" ataupun "transfer of training", tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan. Dengan demikian, pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia ke arah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan adalah nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits. Jadi, konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya melihat bahwa pendidikan itu sebagai upaya "mencerdaskan" semata (pendidikan intelek, kecerdasan), melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya. ....Pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakekat keberadaan (eksistensi) manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di depan Allah perbedaanya adalah kadar ketaqwaan, sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif. Oleh karena itu, sangat urgen untuk memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang diproses ke arah kebahagian dunia dan akhirat.
Pandangan Islam tentang manusia antara lain:
(a) Konsep Islam tentang manusia, khsusunya anak, sebagai subyek didik.
Sesuai dengan Hadis Rasulullah, anak manusia dilahirkan dalam fitrah atau dengan "potensi" tertentu. Dalam al-Qur'an dikatakan "tegakkan dirimu pada agama dengan tulus dan mantap, agama yang cocok dengan fitrah manusia yang digariskan oleh Allah. Tak ada perubahan pada ketetapan-Nya....." (ar-Rum: 30). Pada mulanya anak itu dilahirkan dengan "membawa potensi" yang perlu dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. Berbeda dengan teori Tabularasa yang menganggap bahwa anak menerima "secara pasif" pengaruh lingkungannya. sedangkan konsep fitrah mengandung "potensi bawaan" aktif (innate patentials, innate tendenceis) yang telah di berikan kepada setiap manusia oleh Allah. Bahkan dalam al-Qur'an, sebelum manusia itu lahir kemudian telah mengadakan "transaksi" atau "perjanjian" dengan Allah yaitu mengakui keesaan Tuhan. Firman Allah dalam surat al-A'raf: 172, "Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan menyuruh agar mereka bersaksi atas diri sendiri; "Bukankah Aku Tuhanmu?", mereka menjawab; "ya kami bersaksi" yang demikian agar kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, "kami tidak mengetahui hal ini". Memperhatikan ayat ini, berarti setiap anak yang lahir dengan membawa "potensi keimanan" terhadap Allah atau disebut dengan "Tauhid". Sedangakan potensi bawaan yang lain adalah misalnya potensi fisik dan intelegensi atau kecerdasan akal dengan segala kemungkinan dan keterbatasannya. Selain itu dalam al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat hakiki manusia yang mempunyai implikasi baik terhadap tujuan maupun cara pengarahan perkembangannya. Misalnya, tentang tanggung jawab, bahwa manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi juga potensi untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan sesuai dengan tingkat kemampuan daya pikul seseorang menurut kodrat atau fitrahnya (al-Mu'minun: 115 dan al-Baqrah: 286), selain itu manusia pada hakekat dan menurut kejadiannya bersedia dan sanggup memikul amanah (pada al-Ahzab : 72).
Di samping itu, hal yang juga penting implikasinya bagi pendidikan adalah menurut al-Qur'an bahwa tanggung jawab yang ada pada manusia bersifat pribadi, artinya tidaklah seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul sendiri tanpa melibatkan orang lain (Faathir: 18). Sifat lain yang ada pada manusia adalah manusia diberi oleh Allah kemampuan al-bayan (fasih perkataan - kesadaran nurani) yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang baik (ar-Rahman: 3-4). Kemudian pada hadis Rasulullah, "barang siapa ingin mencapai kebahagian dunia harus ditempuh dengan ilmu dan barang siapa yang mencari kebahagian akhirat juga harus dengan ilmu, dan barang untuk mencari keduanya juga harus dengan ilmu". Dengan demikian, tugas dan fungsi pendidikan adalah mengarahkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada seseorang seoptimal mungkin sehingga ia berkembang menjadi seorang muslim yang baik.
(b) Peranan pendidikan atau pengaruh perkembanagannya.
Potensi manusia yang dibawah sejak dari lahir itu bukan hanya bias dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga hanya bisa berkembang secara terarah bila dengan bantuan orang lain atau pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik mengarahkan segala potensi subyek didik seoptimal mungkin agar ia dapat memikul amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sesuai dengan profil manusia Muslim yang baik, sehingga mereka mampu beraktualisasi dengan baik pula.
(c) Profil manusia Muslim.
Profil dasar seorang Muslim yang baik adalah ketaqwaan kepada Allah. Maka, perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada pembentukan ketaqwaan.
(d) Metodologi pendidikan.
Metodologi diartikan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya proses belajar-mengajar. Pandangan bahwa seseorang dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang secara aktif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses belajar-mengajar harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif (student active learning). Jadi, pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa "potensi bawaan" seperti potensi "keimanan", potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, potensi fisik. Dengan potensi ini manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampu menjadi khalifah dan mengabdi kepada Allah. Berdasarkan uraian di atas, pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits sangat luas, meliputi pengembangan semua potensi bawaan manusia yang rahmat Allah. Potensi-potensi itu harus dikembangkan menjadi kenyataan berupa keimanan dan akhlak serta kemampuan beramal dengan menguasai ilmu dan keterampilan atau keahlian tertentu sehingga mampu memikul amanat dan tanggung jawab sebagai seorang khalifat dan Muslim yang bertaqwa.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sesungguhnya pendidikan ditinjau dari sisi garapan dan tujuan yang hendak dicapai, meliputi antara lain pertama, pendidikan intelektual dengan bidang garapan kecerdasan akal pikir (intellectual quotion), kedua, pendidikan mental dan afeksi dengan bidang garapan kecerdasan emosi (emosional quotion), dan ketiga pendidikan spiritual dengan bidang garapan kecerdasan budi dan kejernihan hati (spiritual quotion).
Zikir sebagai aktifitas spiritual yang dalam pelaksanaannya melibatkan seluruh anggota tubuh baik yang kasar (hard ware) berupa mulut, tangan kepala dan sebagainya, maupun anggota tubuh yang lunak (soft ware) seperti jantung, dan otak manusia.
Pada awalnya, zikir (mengingat) Allah hanya berarti mengingat Allah dan karunia serta rahmat-Nya. Tetapi selanjutnya berkembang menjadi suatu sistem perenungan yang menyeluruh dimana rumusan-rumusan tertentu harus dibaca dengan cara tertentu secara berulang-ulang. Rumusan-rumusan seperti istigfar, tasbih, tahmid adalah salah satu contoh dalam berzikir.
Secara khusus zikir lā ilāha illā Allāhu yang dilakukan secara berulang-ulang adalah merupakan sebuah pengakuan keimanan seseorang kepada Allah. Zikir ini dalam dunia tarekat lazim disebut ism zāt (Allah) dan zikir nafi isbāt (menyangkal dan menegaskan). Bagian pertamanya dengan peralihan dari penyangkalan lā ke penegasan illā Allāhu, merupakan sarana ideal bagi meditasi panjang, lebih-lebih karena itu dapat dengan mudah digabungkan dengan pernafasan; lā ilāha (tidak ada tuhan) diucapkan ketika menghembuskan nafas untuk menunjuk pada segala sesuatu yang bukan Tuhan, dilanjutkan pengucapan illā Allāhu ketika menarik nafas menunjukkan bahwa segala sesuatu kembali kepada Allah yang mencakup segalanya.
Secara operasional tata cara berzikir yang benar harus dibawah bimbingan seorang guru yang disebut mursyid (sang penunjuk). Begitu pentingnya seorang guru dalam dunia tarekat untuk mengajarkan dan memberikan bimbingan dan pendidikan kepada para muridnya sehingga muncul sebuah postulat "barang siapa yang tidak berguru, maka guru yang menunjukkan adalah syaitan".
Satu hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam kontek pendidikan, dikatakan bahwa seorang mursyid tidak diperkenankan mengikat janji (bai'at) kepada muridnya sebelum melalui proses tarbiyah wa al-izn (pendidikan dan pembimbingan), agar tidak menimbulkan kesalah pahaman dan kekeliruan. Pada titik inilah dapat ditemukan aspek pendidikan dalam zikir, yaitu sebuah pendidikan spiritual dalam rangka membawa peserta didik menjadi manusia yang berbudi dan bertakwa. Bidang garapannya adalah jiwa dan potensi manusia yang senantiasa diusahakan agar menjadi bersih dan produktif. Bagi kaum Sufi kebersihan hati akan termanifestasikan oleh perangkat kasar tubuh manusia pada ranah indrawi dan berpengaruh kepada kebaikan sikap dan tingkah laku.

B. Hubungan Pendidikan Spiritual dengan Ritual Zilir
Dari segi bidang garapannya, ada pendidikan intelektual atau akaliah dan ada pendidikan spiritual. Pendidikan intelektual menggarap pada ranah akal manusia agar menjadi cerdas secara intelektual dengan merangsang otak kanan dan otak kirinya. Sedangkan pendidikan spiritual menggarap pada ranah hati, jiwa, moral atau budi manusia dengan melakukan usaha pencucian karat-karat dalam hati manusia melalui żikir, latihan kontemplasi, dan lain sebagainya. Pada corak yang terakhir inilah aspek pedagogi dalam ritual żikir dalam tarekat dapat diidentifikasi.
Salah satu essensi misi sentral profetik yang diemban oleh Rasul Muhammad adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang benar-benar utuh, tidak hanya secara jasmaniah, tetapi juga secara batiniah. Peningkatan kualitas SDM itu dilaksanakan dalam keselarasan dengan tujuan misi profetis Nabi, yakni untuk mendidik manusia, memimpin mereka ke jalan Allah, dan mengajar mereka untuk menegakkan masyarakat yang adil, dan sejahtera secara material maupun spiritual. Dalam konteks upaya merealisasi dan mengaktualisasikan misi tersebut, sejatinya Rasul melakukan proses pendidikan.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik utama, Nabi Muhammad tentu saja telah dibekali Allah SWT tidak hanya dengan al-Qur'an tetapi juga kepribadian dan karakter yang istimewa. Beliau adalah orang yang suka melakukan refleksi dan merenung tentang alam lingkungan masyarakat sekitarnya, dan Tuhan. Beliau adalah orang yang senantiasa belajar di sekolah tanpa dinding. Memang hanya dengan kepribadian terpuji dan mulia, serta suka mencari hikmah, maka seorang dapat fungsional sebagai pendidik yang berhasil. Salah satu bentuk kontemplasi yang dilakukan oleh Rasul adalah kegiatan berżikir.
Sebagai pendidik dan sekaligus Rasul, misi kependidikan pertama Muhammad saw adalah menanamkan akidah yang benar yakni aqidah tauhid (mengesakan Tuhan), yang by extension, berarti memahami seluruh fenomena alam dan kemanusiaan sebagai suatu kesatuan yang holistic. Dalam kerangka tauhid dalam pengertian terakhir ini, maka kemanusiaan –dan dengan demikian, SDM- adalah manusia yang memiliki kualitas yang seimbang; beriman, berilmu, dan beramal, cakap baik secara lahiriah maupun batiniah, berkualitas secara emosional dan rasional atau memiliki Emotional Quotion (kecerdasan emosional) dan Intellectual Quotion (kecerdasan intelektual), dan juga Spiritual Quotion (kecerdasan spiritual) yang tinggi. Krisis dalam kualitas SDM terjadi ketika harmoni semacam ini tidak lagi dipertimbangkan dan dipedulikan, seperti sering terjadi dalam pendidikan modern. Orang yang memiliki EQ dan IQ yang tinggi dan memiliki SQ yang rendah, ia akan menjadi ilmuwan yang sombong. Disinilah pentingnya menentukan keseimbangan tersebut sebagai target bahkan tujuan sebuah penyelenggaraan pendidikan.
Dalam dunia pendidikan dikenal bahwa tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia cerdas secara emosional, cerdas secara intelektual dan cerdas secara spiritual, secara seimbang. Hasil rumusan tentang tujuan pendidikan Islam menurut Kongres Pendidikan Islam se-Dunia di Islamabad tahun 1980, menunjukkan bahwa pendidikan harus merealisasikan cita-cita (idealitas) Islam yang mencakup pengembangan kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis (jasmaniah) manusia yang mengacu kepada keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan secara berkesinambungan sehingga terbentuklah manusia muslim yang paripurna, berjiwa tawakkal secara total kepada Allah SWT.
Pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang senantiasa bertakwa kepada Allah dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat. Dasar-dasar pendidikan Islam, secara prinsipil diletakkan pada dasar-dasar ajaran Islam yaitu al-Qur'an dan Sunnah Rasul dan seluruh perangkat kebudayaanya. Karakteristik utamanya adalah penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan atas dasar ibadah, menekankan pada nilai-nilai Akhlak, baik akhlak vertikal kepada Allah maupun akhlak horizontal sesama manusia.
Tujuan pendidikan Islam dapat dirumuskan berdasarkan klasifikasi yang bersifat edukatif logis, dan psikologis. Tujuan yang menitikberatkan kekuatan jasmaniah dikaitkan dengan tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka Bumi yang harus memiliki kemampuan jasmaniah yang tinggi disamping rohaniah yang teguh. Secara teologis tujuan pendidikan Islam adalah ibadah dalam arti luas yakni menyangkut ibadah mahdah seperti salat, żikir dan sebagainya maupun pekerjaan-pekerjaan sosial dan individual yang diniatkan semata-mata karena Allah.
Abdullah Hadziq mengatakan bahwa sesungguhnya Psikologi Sufistik merupakan salah satu solusi pengembangan pendidikan multikultural, sebuah pendidikan yang menjadikan pserta didik sadar dan dapat bersikap secara bijak dalam menghadapi kemajemukan budaya manusia. Bentuk kontribusinya adalah konsep pendidikan multikultural berbasis tingkah laku afektif dengan model pembelajaran yang menghasilkan keseimbangan kemampuan fikir, kecerdasan rasa, dan kemuliaan budi pekerti atas dasar norma-norma etis kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan dalam tataran keduniaaan dan keakhiratan. Zikir adalah salah satu yang dapat berfungsi sebagai implementasi Psikologi Sufistik.
Jika dikaji lebih jauh, di balik pengertian pendidikan Islam di atas, terkandung pandangan-pandangan dasar Islam berkenaan dengan manusia dan signifikansi ilmu pengetahuan. Manusia, menurut Islam adalah makhluk Allah yang paling mulia dan unik. Ia terdiri dari jiwa dan raga yang masing-masingnya mempunyai kebutuhan sindiri. Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk rasional, sekaligus pula mempunyai hawa nafsu kebinatangan (al-nafs al-hayawāniyyah). Ia mempunyai organ-organ kognitif semacam hati (qalb), intelek (‘aql) dan kemampuan-kemampuan fisik, intelektual, pandangan kerohanian, pengalaman dan kesadaran. Dengan berbagai potensi semacam itu, manusia dapat menyempurnakan kemanusiaannya sehingga menjadi pribadi yang dekat dengan Allah. Tetapi sebaliknya ia dapat pula menjadi makhluk yang paling hina karena dibawa kecenderungan-kecenderungan hawa nafsu dan kebodohannya.
Jika diperhatikan dari tujuannya, pendidikan Islam dapat dikategorikan dalam humanistic education (pendidikan kemanusiaan), sebuah pola pendidikan yang lebih menekankan pada aspek kemanusiaan yakni menekankan pada aspek pengembangan harkat dan martabat manusia dan pengembangan potensi mereka ke arah aktualisasi diri. Ciri utamanya adalah bahwa humanistic educational lebih menekankan pada aspek kemanusiaan, dengan kata lain pendidikan dengan pola humanistik adalah pendidikan yang lebih memanusiakan manusia dalam ranah yang hakiki.
Pola pendidikan tersebut mencita-citakan terciptanya manusia yang berkepribadian, mempunyai moral yang baik (akhlak yang mulia). Ini semakna dengan tema pokok gagasan Paulo Freire (1970), seorang tokoh dan pemikir yang sangat kritis di bidang pendidikan yang mengacu dan mendasarkan pemikirannya pada landasan dasar bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia kembali.
Adapun fokus garapan pola pendidikan tersebut -sebagaimana dikutib oleh Abdullah Hadziq dari Abraham H. Maslow-, salah satunya adalah mewujudkan kesehatan psikologis, ketentraman batin (spiritual peace) dan hubungan sosial yang harmonis. Di sinilah dapat difahami kesamaan focus garapan antara pendidikan humanistik dengan pola garapan ritual zikir dalam Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah yaitu membentuk manusia agar menjadi manusia yang mempunyai kecerdasan spiritual sehingga mampu mendapatkan ketenangan batin (jiwa mutmainnah).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola pendidikan humanistic educational secara substansial memiliki kesamaan dengan konsep pendidikan afektif dalam pandangan Psikologi Sufistik yang dikembangkan oleh al-Ġazali. Letak kesamaannya adalah pada fokus pengembangan beberapa perasaan seperti perasaan intelektual (intellectual sense), perasaan estetis (estethic sense), perasaan etis (ethic sense), perasaan diri (personal sense), dan perasaan social (social sense). Sedangkan sisi perbedaannya terletak pada pengembangan rasa dalam keterkaitannya dengan Tuhan Yang Maha Esa dan Agama.
Sementara itu, żikir mempunyai tujuan utama yaitu tasfiyah al-Qalb (pembersihan hati), jika dilakukan secara rutin dengan cara yang benar akan dapat mengantarkan pengamalnya menuai kehidupan yang harmoni dengan jiwa yang tenang. Żikir sebagai salah satu bentuk tajrīb ruhāni (latihan spiritual) sesungguhnya tidak hanya dapat menghasilkan kebaikan secara individu tetapi juga mempunyai dampak sosial. Karena seorang pengamal żikir yang baik kejernihan hatinya termanifestasikan dalam aktivitas nyatanya berupa kebaikan budi pekerti.
Syahadat umumnya dipandang sebagai praktik żikir terbaik. Tujuannya adalah mengingat Allah untuk menghilangkan segala sesuatu kecuali Allah dan menjadi kekal di hadirat Allah. Sebagaimana dikatakan Ibn ‘Ātā'illāh, "Seseorang tidak bisa dikatakan telah mengucapkan kalimat lā ilāha illa Allāh dengan benar kecuali apabila dia menghilangkan segala sesuatu kecuali Allah dari jiwa dan hatinya". Najm al-Dīn al-Rāzi (tokoh sejaman dengan Ibn ‘Ātā'illāh) menulis:
Dengan kalimat lā ilāha (tidak ada tuhan), seorang hamba menegasikan segala sesuatu kecuali Yang Maha Benar (al-haqq) dan dengan kalimat illa Allāh (kecuali Allah) meneguhkan kehadiran Yang Maha Suci. Jika dengan tekun dia melaksanakan dan berpegang teguh kepada hal itu, daya tarik spiritual selain Allah lambat laun terputus oleh kalimat lā ilāha (tidak ada tuhan). Keindahan kalimat illa Allāh (kecuali Allah) tersingkap dari beranda Yang Maha Suci. Dalam menepati janji, Ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingatmu (QS. Al-Baqarah [2]: 152), żikir dilepaskan dari selubung huruf dan suara. Karakter khas "segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya." (QS. Al-Qasas [28]: 88) menjadi bukti bagi terungkapnya kekuasaaan Ilahi.

Meskipun banyak ulama sepakat bahwa kalimat lā ilāha illa Allāh merupakan formula zikir yang paling sempurna, sebagian ulama lain berpendapat bahwa " żikir tunggal (al- żikr al-mufrād)" yakni menyebut nama Allah saja lebih tinggi derajadnya. Zikir ini juga disebut zikir ism al-zat. Ibn ‘Arabi sering mengutip ucapan gurunya Abū al-‘Abbās Uryabi, yang berpendapat bahwa nama tunggal (Allah) jelas paling baik, karena dalam mengingat "Tidak ada tuhan kecuali Allah", orang mungkin mati dalam jurang curam penegasian, tetapi dengan mengingat Allah semata, orang mungkin mati dalam akrabnya peneguhan.
Para sufi mengembangkan sistem psikologi untuk memahami cara kerja masing-masing dari sembilan puluh sembilan nama Allah agar orang yang sedang bermeditasi atau berzikir tidak dirugikan oleh penggunaan nama yang salah. Zikir dapat diucapkan dengan suara keras dan pelan. Zikir dengan suara keras biasanya dilakukan pada pertemuan-pertemuan persaudaraan sufi dan diakhiri dengan pengulangan hu huruf terakhir dari Allāhu setelah setiap suara lain secara perlahan-lahan menghilang. Tahap terakhir ini menyerupai suatu helaan nafas dalam menuju kondisi ma'syuq dengan sang Khaliq.
Sedangkan zikir yang diucapkan secara pelan dan bahkan diam digambarkan sebagai suatu perjalanan melalui huruf-huruf yang membentuk kata Allāhu hingga orang yang sedang berzikir seolah-olah dikelilingi oleh lingkaran bercahaya dari huruf h. Ini adalah sebuah kedekatan terbesar yang dapat diharapkan oleh seorang untuk dapat dicapai.
Zikir harus menyusup ke dalam seluruh badan dan jiwa. Para ahli mistik termasuk para mursyid dalam dunia tarekat mengetahui metode-metode yang canggih untuk membantu kepada para muridnya secara perlahan-lahan membuka pusat-pusat kekuatan ruhaniyyah di dalam tubuh meliputi lima atau tujuh titik bercahaya (latā'if). Secara operasional metode-metode tersebut dilakukan dengan gerakan dan sikap yang benar ketika duduk dan pernafasan yang tepat. Sikap dan teknik tersebut harus dipelajari dari seorang guru atau mursyid yang paling tahu bagaimana hati seorang murid harus digosok melalui zikir untuk mengangkat karat keasyikan duniawi. Zikir yang dilakukan terus-menerus dapat mengangkat karat dan membuat hati begitu bersih sehingga ia dapat menerima cahaya Tuhan dan merefleksikan keindahan-Nya merasuk kedalam tubuh dan jiwa. Pada saat dimana seorang mursyid membimbing para muridnya dalam berzikir, sesungguhnya pada saat itu pula proses pendidikan spiritual sedang berlangsung. Proses ini berjalan berulang-ulang mengikuti aturan yang dirancang oleh sang mursyid.
Sampai di sini dapat dipahami bahwa antara pendidikan Islam khususnya Pendidikan Spiritual (Spiritual Education) secara substansial dan tujuan yang hendak dicapai, bertemu dengan essensi dan kegunaan żikir pada satu titik akhir yaitu keduanya sama-sama bertujuan mencetak manusia sempurna dengan keseimbangan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan kecerdasan sosial. Dengan keseimbangan empat kecerdasan tersebut manusia akan hidup secara harmoni yang sering disebut dengan kebahagiaan sejati.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan substansial dan fungsional antara pendidikan, dan ritual żikir. Keduanya berfungsi dalam menghasilkan kecerdasan spiritual manusia. Secara substansial antara pendidikan dan żikir mempunyai kesamaan sebagai proses pembelajaran menuju manusia yang bertakwa, berbudi, dan berakhlak mulia. Dilihat dari sisi tujuannya, żikir sebagai proses pendidikan dan pembelajaran spiritual dapat dikatagorikan dalam rumpun humaisme education (pendidikan kemanusiaan). Sedangkan jika dilihat dari sisi bidang garapannya, maka dapat dikelompokkan dalam marga spiritual education (pendidikan spiritual). Dan juga bisa disebut long life education jika dilihat dari aspek waktu yang unlimited (tak terbatas), bersifat learning based, dan keterkaitannya dengan faktor lingkungan dalam proses pembelajarannya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar