Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Oktober 2010

MELIHAT POTRET PENDIDIKAN DI INDONESIA (Studi Kritis Peran Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia)

Oleh: Mahsun Mahfudz


A. Pendahuluan

Suatu kenyataan, masyarakat terlanjur memandang Perguruan Tinggi sebagai kawah candradimuka para intelektual "murni". Di dalamnya dihuni para mahasiswa yang memiliki keberpihakan kepada keadilan, kebenaran, penegakan hak-hak civil society belum memiliki interest kekuasaan, kepentingan pribadi, apalagi kepentingan politik. Jika pandangan ini benar, maka sesungguhnya amanat Tri Dharma Perguruan tinggi, yang meliputi bidang keilmuan (pendidikan dan pembelajaran), penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, akan mudah dilaksanakan.
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertinggi di Indonesia, PTAI (PTAIN dan PTAIS) menjadi satu harapan terbaik bagi masyarakat yang ingin mendalami kajian keislaman, bahkan biasa dikatakan sebagai the best offer you can get. Oleh karenanya, dalam bidang keilmuan, PTAI diharapkan menjadi tempat bermuaranya berbagai pandangan, pemikiran, dan pendekatan studi Islam. Sedangkan dalam bidang pengabdian kepada masyarakat, diharapkan Perguruan Tinggi dapat mewujudkan peran sosialnya kepada masyarakat luas. Bidang ini dimaksudkan agar Perguruan Tinggi tidak menjadi tempat bermuaranya para elit terpelajar, tetapi menjadi lembaga pencari dan pemberi solusi atau way out terhadap problem-problem sosial (social problem solver). Dengan demikian mahasiswa sebagai salah satu asetnya diharapkan menjadi generasi intelektual, agen perubahan (agent of change), dan mempunyai kepedulian sosial (sense of social crisys). Namun hasil yang ideal itu nampaknya hanyalah sebuah harapan yang jauh dari kenyataan ibarat api jauh dari panggangnya.
Persoalannya adalah pertama, kurikulum yang masih bersifat eklusif, dan sarat muatan. Kedua, corak dan kecenderungan mahasiswa yang, menurut Kuntowijoyo, terbagi menjadi dua yaitu mahasiswa aktifis sosial dan mahasiswa profesionalis-pragmatis. Dari sana muncul pertanyaan akademiknya adalah mengapa pendidikan di Indonesia tidak dapat memajukan bangsa?. Apa saja faktor yang mempengaruhi?. Makalah sederhana ini mencoba menjawab kegelisahan akademik tersebut dengan mengambil sampel kasus pendidikan tinggi di Indonesia. Asumsinya adalah pendidikan tinggi sebagai pendidikan orang dewasa dirasa cukup untuk menjelaskan gagal atau tidaknya sebuah pendidikan di Indonesia.

B. Pendidikan Sarat Beban
Pendidikan adalah usaha sadar dan direncanakan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Dalam pelaksanaannya sering kali dihadapkan problem-problem sistemik pembelajaran. Beberapa diantaranya adalah sistem kurikulum pendidikan yang sarat dengan muatan (materi pembelajaran) dan dalam kasus tertentu adalah problem manajemen yang kliru.
Problem-problem tersebut muncul akibat kesalahan mendasar pada tataran paradigma dalam memahami filosofi pendidikan dan ilmu. Begitu pula tata kelola dan manajemen yang tidak tepat juga memberikan andil yang signifikan dalam memunculkan problem sistemik tersebut. Akibatnya muncul kesenjangan antara harapan yang dicita-citakan dalam Undang-Undang Sisdiknas dan kenyataan yang ada. Pertanyaannya adalah mengapa hal itu harus terjadi pada dunia pendidikan di Indonesia?. Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita melihat filosofi ilmu dan moral yang hendak dicapai oleh sebuah proses pendidikan.
Secara ontologi ilmu selalu berusaha menemukan kebenaran dan menghindar dari kesalahan. Benar dan salah diukur dengan logika. Oleh karenanya pada hakikatnya berpikir sebagai upaya mendapatkan ilmu itu bebas nilai. Oleh karenanya ilmu menjadi bebas nilai. Mengapa, karena ketika ilmu dipasung dengan nilai-nilai tertentu, maka sesungguhnya itu merupakan awal ketakberdayaan manusia. Ketika manusia tak berdaya, maka pada saat yang bersamaan kebudayaan akan punah. Begitu pula, ketika dunia ini kosong kebudayaan, maka sudah tidak perlu lagi apa yang di sebut sistem nilai-budaya (cultural value system) .
Tetapi pada ranah aksiologi, ketika ilmu telah melampaui batas kesantunannya yang secara faktual telah dipergunakan secara destruktif bahkan akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri (misalnya rekayasa genetika manusia dan teknik perubahan sosial), maka sudah saatnya ilmu harus dibatasai dengan nilai yakni secara moral ilmu harus ditujukan untuk kebaikan (al-maslahah) dan kesejahteraan manusia. Dengan demikian aplikasi pendidikan sebagai proses epistemologi untuk mendapatkan ilmu, secara operasional-manajerial harus diarahkan pada pencapaian kecakapan dalam tiga ranah utama yaitu ranah kognitif (akal-pikir), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan) secara seimbang dan memadai. Jika tiga ranah tersebut telah tergarap secara baik dengan manajemen yang tepat maka kiranya tidak mustahil sumberdaya manusia Indonesia menjadi berkualitas tidak saja pada tataran berteori tetapi terampil dan mempunyai moral yang baik.
C. Akibat dan Solusi
Cara pandang dan manajemen pendidikan (tidak terkecuali pendidikan Islam) yang tidak tepat mengakibatkan pendidikan tidak menjadikan cerdas secara intelektual, sosial, emosional dan spiritual secara seimbang. Kondisi seperti ini pada akhirnya berdampak ketidakmampuan pendidikan tersebut untuk menjadi sarana bagi manusia mencapai kesejahteraannya. Pendidikan tidak dapat menciptakan harmonisasi kehidupan, dan kesejahteraan social tetapi hanya menciptakan individu-individu yang egois, elitis, dan tidak mempunyai kepekaan sosial
Ada satu kritik yang cerdas dari Mastuhu, bahwa pendidikan Islam dewasa ini masih berkutat pada kerangka pendidikan Islam dengan nalar Islami klasik, belum berkutat pada nalar Islami kontemporer. Nalar Islami kontemporer yang dimaksud adalah memahami Islam tidak lagi pada tataran konsep (teoritis-normatif) tetapi lebih melihat kepada kenyataan pada ranah sosial dengan mengedepankan metode empiris-historis. Kecerdasan dan kearifan bersumber dari daya kritis dan kesadaran atas nilai diri dan sosial, sehingga tumbuh kepedulian pada sesama.
Susah memang, untuk memproduk mahasiwa menjadi sarjana yang ideal dalam arti tersebut di atas, karena pada kenyataannya kurikulum di Perguruan Tinggi masih berkutat (setidaknya masih dominan) pada penggarapan ranah kognitif yang sarat muatan, belum (setidaknya masih minim) pada ranah afektif dan psikomotorik. Sementara kehidupan di luar kampus sangat menunggu peran aktif para mahasiswa dan lulusan Perguruan Tinggi, akibatnya mahasiswa dihadapkan delima pada aktualisasi diri. Satu sisi mereka harus mampu menyelesaikan beban kuliah yang sangat padat, di sisi lain mereka harus mampu membaca dan merespon dunia masyarakat di luar kampus. Akibatnya mahasiswa memilih kecenderungannya masing-masing.
Bagi mahasiswa yang memilih corak profesional-pragmatis, akan memilih aktif kuliah di kelas dengan harapan cepat lulus, IP bagus, "cepat mendapat pekerjaan", proses belajar yang diikuti hanya dipahami sebagai transfer of knowledge. Mahasiswa dengan corak seperti ini akan gagap ketika menghadapi kenyataan sosial masyarakatnya, bahkan kurang peka terhadap keinginan masyarakat secara sosial. Kondisi ini setidaknya dapat dilihat ketika mereka mengambil mata kuliah Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai mata kuliah praktis-aplikatif. Mereka sama sekali (setidaknya pasif) tidak mempunyai ide kreatif dalam penyusunan maupun pelaksanaan program-progaram KKN di kelompoknya. Jika dalam lingkup kecil dan bersifat latihan saja mereka gagap, apa jadinya ketika mereka telah menjadi sarjana. Jelas mereka tak akan mampu menggunakan ilmunya untuk mensejahterakan dirinya apalagi mensejahterakan orang lain.
Sedangkan bagi mahasiswa yang memilih corak aktivis sosial, mereka terlibat aktif dalam kegiatan secara intens yang bersifat extrakurikuler di luar aktivitas akademik intra kampus (kuliah). Mahasiswa dengan corak seperti ini lebih peka dan peduli terhadap perubahan dan tuntutan masyarakatnya, sehingga salah satu mainstream wacana dan kegiatannya adalah pada upaya pemberdayaan masyarakat, dengan spirit penegakan keadilan, anti diskriminasi dan penegakan hak-hak civil society. Efek negatifnya mereka lama lulusnya, IP pas-pasan, biaya kuliah lebih banyak. Setelah menjadi sarjana biasanya mereka lebih memilih beraktivitas di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), karena tidak harus membutuhkan IP tinggi, tetapi butuh keterampilan, yang dapat diperoleh di luar kampus. Salah satu cara untuk itu adalah terjun langsung berbaur dengan masyarakat untuk melihat realita sehingga dengan demikian seorang mahasiswa akan terstimulasi untuk berkreasi dan berinovasi dan sekaligus mendapat pengetahuan keterampilan. Lagi-lagi sarjana dengan corak seperti ini belum juga bisa diharapkan dapat mensejahterakan secara social.
Solusinya adalah pertama, menyederhanakan kurikulum dengan memberikan muatan materi ilmu-ilmu pokok saja (ilmu-lmu bantu diposisikan sebagai kokurikuler atau ekstra kurikuler). Kedua, memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi peserta didik untuk beraktualisasi disamping melakukan internalisasi ilmu yang sedang mereka pelajari. Ketiga, keseriusan pemerintah dan political will dalam menangani pendidikan dengan memberikan kebijakan yang berpihak pada lembaga pendidikan, tenaga pengajar, dan peserta didik. Keempat, membuat standar mutu pendidikan yang jelas, terukur, terjangkau, dan tidak membebani.

















DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Mamduh M., Manajemen, Yogyakarta: Unit penerbitan dan Percetakan Akademi manajemen Perusahaan YKPN, 1997.

Jabali, Fuad dan Jamhari (peny.), IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 2002.

Kuncaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Cet. XIX, Jakarta: Djambatan, 2002.

Mahfud, Mahsun, "Tri Dharma Perguruan Tinggi, Sebuah Upaya Membumikan Lembaga pendidikan Tinggi", Makalah, disampaikan pada acara Studi Pengenalan Kampus di STAI An-Nawawi Purworejo tanggal 28 Agustus 2002.

-------, "Hakikat Kebebasan Berpikir (Mengintip Ruang Bertemu dan Ruang Berpisah)" dalam Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol. 6, Nomor 1, Januari – Juni 2007.

Mastuhu, "Tradis Penelitian Agama: Dari Paradigma Normatif ke Arah Empirisisme", dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan antar Disiplin Ilmu, Cet. I, Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998.

-------,"Pendidikan Islam di Indonesia Masih Berkutat pada Nalar Islami Klasik", dalam Jurnal Taswirul Afkar, Edisi No. II/2001.

Pidarta, Made, Manajemen Pendidikan Indonesia, Cet. II, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, cet. XVII, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.

Undang-undang No. 2o Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Penjelasannya, Yogyakarta: Media wacana Press, 2003.







MEMBINCANG PERAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
DALAM MENCIPTA GENERASI KHAIRA UMMAH
Oleh: A. Hambali/08.10.02.0190
A. Pendahuluan
Apa hakekat pendidikan
Mengapa harus ada pendidikan
Bagaimana implementasi pendidikan Islam pada ranah individual dan sosial
B. Azas dan Tujuan Pendidikan
C. Peran Pendidikan Islam
D. Generasi Khaira Ummah: Antara Harapan dan Kenyataan
E. Simpulan






PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM DAN KEPROFESIONALAN GURU DALAM MENJAWAB TANTANGAN GLOBAL
Oleh : A. Hambali/07.MPI.275
Abstrak
Pendidikan Islam sudah harus diupayakan untuk mengalihkan paradigma yang berorientasi ke masa lalu (abad pertengahan) ke paradigma yang berorientasi ke masa depan, yaitu mengalihkan dari paradigma pendidikan Islam yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan Islam yang merintis kemajuan. Mengalihkan paradigma dari yang berwatak feodal ke paradigma pendidikan Islam yang berjiwa inovatif dan demokratis. Untuk itu diperlukan perencanaan terpadu dan kesepakatan bersama bahwa pendidikan Islam harus berorientasi pada peserta didik dan pendidikan Islam harus bersifat multikultural dengan perspektif global. Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah mewujudkan keprofesionalan guru dalam menjalankan tugasnya mengawal tercapainya tujuan pendidikan Islam. Keprofesionalan guru dapat diidentifikasi dari aspek kompetensi, tanggungjawab, kejujuran, kedisiplinan dan dedikasi yang tinggi dalam mengantarkan peserta didik mencapai keberhasilan dalam pendidikan Islam.

Key Word: Paradigma, pendidikan Islam multicultural, keprofesionalan guru.

A. Pendahuluan
Tak dapat disangkal bahwa kebijakan otonomi daerah mempunyai dampak positif terutama meningkatnya peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif dalam upaya pengembangan pendidikan Islam, pemberdayaan institusi masyarakat, seperti keluarga, LSM, pesantren, dunia usaha, lemabag-lembaga kerja dan pelatihan, dalam upaya pengelolaan dan pengembangan pendidikan Islam, yang diorientasikan kepada terbentuknya masyarakat madani Indonesia adalah suatu keniscayaan yang perlu mendapatkan perhatian. Berdasarkan pandangan ini, pendidikan Islam sudah harus diupayakan untuk mengalihkan paradigma yang berorientasi ke masa lalu (abad pertengahan) ke paradigma yang berorientasi ke masa depan, yaitu mengalihkan dari paradigma pendidikan Islam yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan Islam yang merintis kemajuan. Mengalihkan paradigma dari yang berwatak feodal ke paradigma pendidikan Islam yang berjiwa inovatif dan demokratis, Mengalihkan paradigma dari pendidikan Islam sentralisasi ke paradigma pendidikan Islam desentralisasi, sehingga menjadi pendidikan Islam yang kaya dalam keberagaman, dengan menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat dan peserta didik. Dalam proses pendidikan Islam, perlu diupayakan pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk mencapai keunggulan, penciptaan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus dalam kemajemukan. Dari pandangan ini, berarti diperlukan perencanaan terpadu dan kesepakatan bersama bahwa pendidikan Islam harus berorientasi pada peserta didik dan pendidikan Islam harus bersifat multikultural dengan perspektif global” . Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah mewujudkan keprofesionalan guru dalam menjalankan tugasnya mengawal tercapainya tujuan pendidikan.
Rumusan paradigma tersebut, paling tidak memberikan arah sesuai dengan arah pendidikan Islam, yang secara makro dituntut menghantarkan masyarakat menuju masyarakat madani Indonesia yang demokratis, relegius, dan tangguh menghadapi lingkungan global. Pada tataran konsep, pendidikan Islam baik formal maupun non formal “pada dasarnya memiliki peran penting tidak untuk melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada tetapi sebaliknya pendidikan Islam merupakan proses perubahan sosial. Peran pendidikan Islam terhadap sistem dan struktur sosial tersebut, sangat bergantung pada paradigma pendidikan Islam yang mendasarinya”. Makalah ini mencoba umtuk membincangkan bagaimana seharusnya desain ideal pendidikan Islam dan implementasi keprofesionalan guru dalam konteks kekinian.

B. Desain Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani
Berdasarkan pandangan di atas, maka peran pendidikan Islam mestinya tidak hanya dipahami dalam konteks mikro (kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan Islam), melainkan juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya”, sehingga pendidikan Islam integratif antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat (learning society). Sedangkan, secara mikro senantiasa memperhitungkan individualitas atau karakteristik perbedaan antara individu peserta didik dalam kerangka interaksi proses belajar. Dengan demikian, kerangka acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan Islam menuju masyarakat madani Indonesia, harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara selektif sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep, yaitu: Pertama, pendidikan Islam harus membangun prinsip kesetaraan antara sector pendidikan Islam dengan sektor-sektor lain. Sistem pendidikan Islam harus senantiasa bersama-sama dengan sistem lain untuk mewujudkan cita-cita masyarakat madani Indonesia. Pendidikan Islam bukan merupakan sesuatu yang eksklusif dan terpisah dari masyarakat dan sistem sosialnya, tetapi pendidikan Islam sebagai suatu sistem terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya. Kedua, pendidikan Islam merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh, seperti keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha. Ketiga, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi social yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda, diberdayakan untuk dapat mengembangkan fungsi pendidikan Islam dengan baik serta menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan Islam. Keempat, prinsip kemandirian dalam pendidikan Islam dan prinsip pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama. Kelima, dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan konsensus. Keenam, prinsip perencanaan pendidikan Islam. Pendidikan Islam selalu dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat secara normatifsesuai dengan cita-cita masyarakat madani Indonesia. Maka, pendidikan Islam selalu bersifat progresif tidak resisten terhadap perubahan, sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi arah perubahan. Ketujuh, prinsip rekonstruksionis, bahwa kondisi masyarakat selalu menghendaki perubahan mendasar. Rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang. Kedelapan, prinsip pendidikan Islam berorientasi pada peserta didik. Layanan pendidikan Islam untuk kelompok usia anak berbeda dengan remaja dan dewasa, pendekatan pendidikan Islam bagi anak-anak di daerah terpencil tidak dapat disamakan dengan anak-anak di perkotaan. Kesembilan, prinsip pendidikan Islam multikultural. Sistem pendidikan Islam harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, sehingga pluralisme harus menjadi acuan dalam mengembangkan pendidikan Islam dan mendayagunakan perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat positif dan konstruktif. Kesepuluh, pendidikan Islam dengan prinsip global, artinya pendidikan Islam harus berperan dan harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global.
Upaya membangun pendidikan Islam berwawasan global bukan mudah, karena pada waktu bersamaan pendidikan Islam harus memiliki kewajiban untuk melestarikan, menanamkan nilai-nilai ajaran dan di pihak lain berusaha untuk menanamkan karaktek budaya nasional Indonesia dan budaya global. Sebagai analogi misalnya, bangsa Jepang tetap merupakan bangsa yang mengglobal dengan tanpa kehilangan karakternya sebagai suatu bangsa yang maju dengan tetap kental dengan nilai-nilai tradisi dan nilai-nilai relegius. Dari contoh tersebut dapat dipahami bahwa pembinaan dan pembentukan nilai-nilai tetap relevan, bahkan tetap dibutuhkan dan harus dilakukan sebagai “kapital spritual” untuk masyarakat dan bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan global menuju masyarakat madani Indonesia yakni sebuah pendidikan Islam yang dapat mewujudkan kemampuan dan tingkah laku manusia yang dapat menjawab tantangan internal maupun tantangan global menuju masyarakat madani Indonesia. Dari pandangan ini, tergambar bahwa peran pendidikan Islam sangatlah vital dalam kehidupan masyarakat yang senantiasa mengalami penggeseran, sementara “sistem sosial, politik, dan ekonomi bangsa selalu menjadi penentu dalam penetapan dan pengembangan peran pendidikan Islam”.
Pendidikan Islam harus dikembangkan berdasarkan tuntutan acuan perubahan tersebut dan berdasarkan karakteristik masyarakat madani yang demokratis. Sedangkan untuk menghadapi kehidupan global, proses pendidikan Islam yang diperlukan adalah mampu mengembangkan kemampuan berkompetisi, kemampuan kerja sama, mengembangkan sikap inovatif, serta meningkatkan kualitas. Dengan acuan ini, yang akan terjadi adalah penggeseran paradigma pendidikan Islam, sehingga kebijakan dan strategi pengembangan pendidikan Islam perlu diletakan untuk menangkap dan memanfaatkan semaksimal mungkin kesempatan tersebut agar tidak termarginalkan dan tertinggal di tengah-tengah kehidupan masyarakat global.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran paradigma pendidikan Islam antara lain pertama, terjadinya aliran informasi dan pengetahuan yang begitu cepat melalui media teknologi dunia maya seperti internet dan sebagainya. Kedua, adanya kemauan dan upaya untuk melakukan reformasi total di berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara, termasuk pendidikan Islam. Ketiga, akibat konsekuensi logis dari perubahan masyarakat yang berkeinginan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan, menghargai hak asasi manusia, taat hukum, menghargai perbedaan dan terbuka menuju masyarakat madani Indonesia. Keempat, akibat dari percepatan aliran ilmu pengetahuan yang menantang sistem pendidikan Islam konvensional. Sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga pendidikan Islam formal yang konvensional tetapi tersebar dimana-mana dan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan. Paradigma ini dikenal sebagai distributed intelligence (distributed knowledge)” Kondisi ini, akan berpengaruh pada fungsi tenaga pendidik dan lembaga pendidikan Islam. Fungsi seorang pendidik beralih dari sebagai "sumber" ilmu pengetahuan menjadi “mediator” dari ilmu pengetahuan tersebut.
Proses long life education (pendidikan Islam seumur hidup) dalam dunia pendidikan Islam informal yang lebih bersifat learning based (berbasis pembelajaran) dari pada teaching based (berbasis pengajaran) akan menjadi kunci perkembangan sumber daya manusia. Hal ini secara langsung akan menentang sistem pendidikan Islam dengan kurikulum yang rigid, mapan dan lebih difokuskan pada pengajaran (teaching) dan kurang pada pembelajaran (learning based). Sudah saatnya kini dimunculkan sebuah paradigma ilmu pengetahuan yang terbentuk secara kolektif dari banyak pemikiran, bersifat konsensus bersama dan tidak terikat pada dimensi birokrasi atau struktural.
Dengan demikian, dunia pendidikan Islam harus mulai berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menyongsong dan dapat menjawab tantangan perubahan tersebut agar pendidikan Islam tidak tertinggal dalam persaingan global. Untuk menyusun strategi menjawab tantangan perubahan tersebut, paling tidak harus memperhatikan beberapa ciri, yaitu pertama, pendidikan Islam hendaknya lebih diorientasikan pada pemberdayaan peserta didik. Pendidikan Islam harus lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran (learning) dari pada pengajaran (teaching)”. Kedua, pendidikan Islam diorganisasi dalam suatu struktur yang lebih bersifat fleksibel. Ketiga, pendidikan Islam hendaknya memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan keempat, pendidikan Islam harus dipahami sebagai proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Keempat ciri ini, dapat disebut dengan paradigma pendidikan Islam sistematik-organik yang “menuntut pendidikan Islam bersifat double tracks, artinya pendidikan Islam sebagai suatu proses yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat”. Dalam “pelaksanaan pendidikan Islam senantiasa mengaitkan proses pendidikan Islam dengan kebutuhan masyarakatnya pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Karena keterkaitan ini memiliki arti, bahwa peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan peserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya”. Dengan kata lain pendidikan Islam yang bersifat double tracks, menekankan pengembangkan pengetahuan melalui kombinasi terpadu antara tuntutan kebutuhan masyarakat, dunia kerja, pelatihan, dan pendidikan Islam formal persekolahan, sehingga sistem pendidikan Islam akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat yang senantiasa berubah dengan cepat.
Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa paradigma baru pendidikan Islam yang dimaksud di sini adalah pemikiran yang terus-menerus harus dikembangkan melalui pendidikan Islam untuk merebut kembali kepemimpinan Iptek, sebagaimana zaman keemasan pada masa lalu. Pencarian paradigma baru dalam pendidikan Islam dimulai dari konsep manusia baik dalam tataran individu maupun social, pandangan terhadap Iptek, dan setelah itu baru dirumuskan konsep atau sistem pendidikan Islam secara utuh.. Bebarapa hal yang harus dilakukan dalam kontek pengembangan paradigmatic dalam dunia pendidikan Islam adalah pertama, pengembangan sistem pendidikan Islam hendaknya didasarkan pada filsafat teocentris dan antroposentris sekaligus secara seimbang. Dengan demikian pendidikan Islam yang ingin dikembangkan adalah pendidikan Islam yang menghilangkan dikotomi antara ilmu dan agama, ilmu tidak bebas nilai artinya dalam tataran aksiologi ilmu betapapun hebatnya harus mau dikontrol oleh norma agama dan etika. Selain itu, mengajarkan agama dengan bahasa ilmu pengetahuan dan tidak hanya mengajarkan sisi tradisional, melainkan juga sisi rasional. [2] Pendidikan Islam mampu membangun keilmuan dan kemajuan kehidupan yang integratif antara nilai spritual, moral dan meterial bagi kehidupan manusia. [3] Pendidikan Islam mampu membangun kompotisi manusia dan mempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa manusia demokratis, kompetetif, inovatif berdasarkan nilai-nilai . [4] Pendidikan Islam harus disusun atas dasar kondisi lingkungan masyarakat, baik kondisi masa kini maupun kondisi pada masa depan, karena perubahan kondisi lingkungan merupakan tantangan dan peluang yang harus diproses secara capat dan tepat. Pendidikan Islam yang dikembangkan selalu diorientasikan pada perubahan lingkungan, karena pendekatan masa lalu hanya cocok untuk situasi masa lalu dan sering tidak tepat jika diterapkan pada kondisi berbeda, bahkan sering kali menimbulkan problem yang dapat memundurkan dunia pendidikan Islam. [5] Pembaruan pendidikan Islam diupayakan untuk memberdayakan potensi umat yang disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan masyarakat. Sistem pendidikan Islam harus dikembangkan berdasarkan karakteristik masyarakat yang demokratis, memiliki kemampuan partisipasi sosial yang tinggi, mentaati dan menghargai supremasi hukum, menghargai hak asasi manusia, menghargai perbedaan (pluralisme), memiliki kemampuan kompetitif dan kemampuan inovatif. [6] Penyelenggaraan pendidikan Islam harus diubah berdasarkan pendidikan Islam demokratis dan tidak sentralistik . Pendidikan Islam harus mampu mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi di dalam dunia kerja, mengembangkan sikap dan kemampuan inovatif serta meningkatkan kualitas manusia. [7] Pendidikan Islam lebih menekankan dan diorientasikan pada proses pembelajaran, diorganisir dalam struktur yang lebih bersifat fleksibel, menghargai dan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang, dan diupayakan sebagai proses berkesinambungan serta senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. [8] Pendidikan Islam harus di arahkan pada dua dimensi, yaitu “Pertama, dimensi dialektika [horizontal] yaitu pendidikan Islam hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya dan manusia harus mampu mengatasi tantangan dunia sekitarnya melalui pengembangan iptek, dan Kedua, dimensi ketunduhan vertikal, yaitu pendidikan Islam selain sarana untuk memantapkan, memelihara sumberdaya alam dan lingkungannya, juga memahami hubungannya dengan Sang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT”. [9] Pendidikan Islam lebih diorientasikan pada upaya “pendidikan Islam sebagai proses pembebasan, pendidikan Islam sebagai proses pencerdasan, pendidikan Islam menjunjung tinggi hak-hak anak, pendidikan Islam menghasilkan tindakan perdamaian, pendidikan Islam sebagai proses pemberdayaan potensi manusia, pendidikan Islam menjadikan anak berwawasan integratif, pendidikan Islam sebagai wahana membangun watak persatuan, pendidikan Islam menghasilkan manusia demokratik, pendidikan Islam menghasilkan manusia perduli terhadap lingkungan”, dan harus dibangun suatu pandangan bahwa “sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan Islam”, karena pada era informasi sekarang ini, informasi ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai media ilektornik dan media massa, seperti : internet dengan peran web, homepage, cd-rom, diskusi di internet, dan televisi, radio, surat kabar, majalah yang merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge. Mencermati fenomena perubahan paradigma baru tersebut, maka paradigma lama pendidikan Islam yang telah terbangun sejak abad pertengahan (periode ), dengan mengkaji dan mempelajari teks-teks keagamaan dengan metode hafalan, bersifat mekanis, mengutamakan pengkayaan materi, sudah harus ditinggalkan untuk menuju paradigma baru pendidikan Islam. Faisal Ismail, menyatakan bahwa pendidikan Islam dan pengajaran dalam bukanlah sekedar kegiatan untuk mewariskan harta kebudayaan dari generasi terdahulu kepada generasi penggantinya yang hanya memungkinkan bersifat reseptif, pasif, menerima begitu saja. Akan tetapi pendidikan Islam harus berusaha mengembangkan dan melatih peserta didik untuk lebih bersifat direktif, mendorong agar selalu berupaya maju, kreatif dan berjiwa membangun.

C. Paradigma, Orientasi dan Peran Pendidikan Islam
Pendidikan Islam harus berorientasi kepada pembangunan dan pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualitas, keterampilan, kecakapan penalaran yang dilandasai dengan “keluhuran moral” dan “kepribadian”, sehingga pendidikan Islam akan mampu mempertahankan relevansinya di tengah-tengah laju pembangunan dan pembaruan paradigma sekarang ini, sehigga pendidikan Islam akan melahirkan manusia yang belajar terus (long life education), mandiri, disiplin, terbuka, inovatif, mampu memecahkan dan menyelesaikan berbagai problem kehidupan serta berdayaguna bagi kehidupan dirinya dan masyarakat. Paradigma baru pendidikan Islam harus diorientasikan kepada pembangunan, pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualisme, keterampilan, kecakapan, penalaran, inovatif, mandiri, disiplin dan taat hukum, terbuka dalam masyarakat plural, dan mampu menghadapi serta menyelesaikan persoalan pada era globalisasi dengan dilandasi moral dan akhlak dalam usaha membangun manusia dan masyarakat yang berkualitas bagi kehidupan dalam masyarakat madani Indonesia.
Paradigma pendidikan Islam yang strategis adalah paradigma yang sangat terkait dengan peranan pendidikan Islam itu sendiri. John C. Bock, dalam Educational and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peranan pendidikan Islam, yaitu: (a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, (b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, (c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Paran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan Islam dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi. Dari pandangan ini berbagai paradigma dirumuskan, misalnya peranan pendidikan Islam dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan pendidikan Islam, yaitu paradigma fungsional dan sosialisasi. Paradigma fungsional melihat keterbelakngan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Sedangkan paradigma sosialisasi melihat peran pendidikan Islam dalam pembangunan adalah (a) mengembangkan kompotensi individu, (b) kompotensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan (c) secara umum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat. Paradigma fungsional dan paradikma sosialisasi telah melahirkan dua pandangan. Pertama, paradigma pendidikan Islam yang bersifat analis-mekanisasi dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Doktrin reduksionisme melihat pendidikan Islam sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan lain. Doktirn mekanistik melihat pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional. Akibatnya, pendidikan Islam direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil, terpisah dan tidak saling berhubungan, seperti kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, pekerjaan rumah, dan lain-lain. Kemudian muncul paradigma pendidikan Islam Input-Proses-Output, menjadikan sekolah sebagai proses produksi, murid diperlakukan bagaikan masukan material suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas pendidikan Islam diperlakukan sebagai instrumental input.
Paradigma pendidikan Islam diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya dapat bersifat parsial. Paradigma ini tidak pernah melihat pendidikan Islam sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat”. Kedua, “para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan Islam sebagai engine of growth (mesin pertumbuhan) yakni pendidikan Islam sebagai penggerak dan lokomotif pembangunan.
Kemudian agar berhasil melaksanakan fungsinya, pendidikan Islam harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan Islam formal sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khusunya dunia ekonomi. Pendidikan Islam harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain, bukan sebaliknya. Dalam lembaga pendidikan Islam formal berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori diuji, berbagai metode akan dikembangkan, dan berbagai tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih. Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan Islam dengan sistem persekolahan tidak dapat berperan sebagai penggerak dan loka pembangunan. Goss (1984) dalam Education versus Qualifications, menyatakan pendidikan Islam telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vakasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik. Berbagai problem pendidikan Islam yang muncul tersebut bersumber pada kelemahan sistem pendidikan Islam yang tidak mungkin disempurnakan hanya lewat upaya pembaruan yang bersifat tambal sulam, tetapi harus dimulai dari mencari paradigma peran pendidikan Islam dalam upaya memberdayakan masyarakat. (b) Pendidikan Islam menuju tercapainya sikap dan perilaku "toleransi", lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini. (c) Pendidikan Islam yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan. (d) Pendidikan Islam yang menumbuhkan ethos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur (e) Pendidikan Islam didesain untuk mampu menjawab tantangan masyarakat global. Untuik itu kiranya perlu mewarnai bidang-bidang kajian tingkat tinggi yang rasional dan logis dengan nilai-nilai moral. Pendidikan Islam tinggi sudah semestinya dikonstruk dalam kerangka membuat peserta didik mampu menwujudkan produktivitas intelektual yang kreatif dalam semua bidang. Usaha kreatif tersebut membutuhkan perluasan wawasan intelektual dengan cara menaikkan standar-standar intelektualnya yang kemudian dituangkan dalam standar kurikulum pembelajarannya.

D. Keprofesionalan Guru
Sudah menjadi common sense bahwa keberhasilan dalam pendidikan Islam ditentukan oleh tiga hal utama yaitu proses pembelajaran yang baik, peserta didik yang berkualitas, dan guru atau pendidik yang professional. .Pendidik atau guru merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, mengevaluasi hasil belajar, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Islam Nasional nomor 2 Tahun 1989 dinyatakan bahwa "pendidikan Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akang datang. Undang-undang ini mengisyaratkan adanya amanat kepada dunia pendidikan Islam termasuk didalamnya pendidik agar agar secara professional dapat melakukan perannya dengan titik tekan dan tujuan utamanya adalah memberdayakan peserta didik agar dapat mengidentifikasi realitas dirinya untuk menghadapi masa depan.
Seorang tokoh pendidikan Islam, Paulo Friere mengatakan bahwa pendidikan Islam haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan diri sendiri. Dengan kata lain gagasan Friere pada dasarnya mengacu pada landasan bahwa pendidikan Islam adalah "proses memanusiakan manusia kembali". Pola orientasi seperti ini berkonsekuensi logis akan keharusan diberdayakannya perserta didik. Dalam pemberdayaan tersebut antara guru dan murid harus pada fungsi yang seimbang artinya tidak ada dominasi atau bahkan hegemoni guru terhadap murid. Antara murid dan guru masing-masing dapat memerankan fungsi sebagai subyek dan obyek pendidikan Islam sekaligus. Guru bukan lagi menjadi pusat segalanya bagi murid/peserta didik yang harus digugu dan ditiru apa adanya tanpa ada kearifan dan kreatifitas sebagai mana terjadi selama ini. Kondisi seperti ini mengakibatkan regenerasi yang melanggengkan status quo.
Bagi Friere, sistem pendidikan Islam justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia. Fungsi lembaga pendidikan Islam biasanya dirumuskan sebagai (1)sarana pengembangan sumberdaya manusia untuk perubahan ekonomi, (2)sarana socialisasi nilai dan rekonstruksi social, dan (3)sarana penyadaran dan pembangunan politik. Pada akhirnya Friere ingin menyampaikan kesimpulannya bahwa pendidikan Islam harus diformulasikan untuk pembebasan, dan bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan Islam harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan social-budaya (social and cultural domestication). Pendidikan Islam bertujuan menggarap realitas manusia, dank arena itu secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total.
Jika pendapat Friere tersebut disetujui maka profesionaltas guru tidak boleh mengabaikan tujuan pendidikan Islam yang sesungguhnya yaitu pemerdekaan peserta didik dari sikap dominasi guru, agar mereka dapat melakukan pengembangan diri untuk melakukan perubahan, tidak hanya sekedar meniru. Dengan demikian guru tidak boleh mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan sebagai pembebas dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid. Sebaliknya guru justru harus memerankan fungsinya secara profesional (konsisten dan bertanggungjawab) sebagai subyek dan obyek sekaligus dalam proses pembelajaran. Dengan demikian dominasi dan hegemoni guru terhadap murid akan terhindarkan.
Semangat yang harus dikembangkan oleh guru sebagai dasar pijakan menjalankan profesinya adalah memaknai pendidikan sebagai proses menjadikan peserta didik menjadi manusia seutuhnya. Selanjtnya mengejawantahkan semangat tersebut dalam bentuk usaha kreatif dan inovatif dalam menjalankan tugasnya.

E. Simpulan
Ketika globalisasi telah menjadi keniscayaan yang akan menggilas segala yang tidak dapat menyesuaikan dan mensiasati dengan baik, maka perubahan paradigma pendidikan Islam adalah merupakan konsekuensi logis dari derasnya arus globalisasi tersebut. Perubahan itu ditekankan pada aspek pendayagunaan pendidikan Islam, pemberdayaan manusia, dan manajemen pendidikan Islam. Dalam konteks ke arah perubahan dan pembaharuan, pendidikan Islam Islam tidak boleh tercerabut dari akar filosofinya yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadis. Sedangkan dalam konteks keindonesiaan tidak boleh tercerabut dari watak dasar dan budaya adiluhung bangsa Indonesia yakni kebhinekaan dalam bingkai persatuan dan saling menghormati antar sesama umat manusia. Pendidikan Islam harus diarahkan untuk membawa manusia kritis, kreatif, inovatif, mempunyai daya saing tinggi dengan landasan moral agama (akhlak mulia) yang kokoh.


End Note:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar