Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Oktober 2010

PENDIDIKAN, RITUAL ZIKIR DAN KECERDASAN SPIRITUAL

A. Pendidikan
1. Asal-usul Pendidikan
Berbicara tentang asal-usul pendidikan tak dapat dilepaskan dari epistemologinya yaitu membicarakan tentang bagaimana mendapatkan pendidikan. Pendidikan sebagai aktifitas anak manusia untuk mendapatkan pengetahuan adalah merupakan sebuah budaya yang telah muncul sejak diciptakannya Adam as.
Sejarah kehidupan manusia menjelaskan bahwa pembentukan masyarakat dimulai dari keluarga Adam dan Hawa sebagai unit terkecil paling awal dari masyarakat besar umat manusia di muka bumi. Dalam keluarga Adam as. dan Hawa telah dimulai proses kependidikan umat manusia, meskipun dalam ruang lingkup terbatas dan sangat sederhana sesuai dengan kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya.
Sejak manusia menuntut kemajuan dalam kehidupan, sejak itu pula timbul gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Dalam sejarah pertumbuhan masyarakat, pendidikan senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan kehidupan generasi sejalan dengan tuntutan kemajuan masyarakatnya. Pendidikan adalah merupakan kebutuhan mendasar fitrah manusia.
Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani "Paedagogike". Ini adalah kata majemuk yang terdiri dari kata "Paes" yang berarti "anak" dan kata "Ago" yang berarti "Aku membimbing". Jadi "Paedagogike" berarti aku membimbing anak. Orang yang pekerjaannya membimbing anak dengan maksud membawanya ke tempat belajar, dalam bahasa Yunani disebut "Paedagogos".
Secara terminologis menurut John Dewey pendidikan (paedagigie) diartikan sebagai proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Menurut Roussseau, Pendidikan adalah memberi kepada anak didik perbekalan yang tidak ada pada masa anak-anak, tetapi dibutuhkan pada waktu dewasa. SA. Bratanta memberikan definisi pendidikan sebagai usaha yang sengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaannya.
Dari tiga definisi tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan sesungguhnya adalah sebuah proses transformasi pengetahuan dari seorang pendidik kepada peserta didik agar mendapatkan kecakapan intelektual, emosional dan spiritual dalam rangka menjaga eksistensi kehidupannya.
Transformasi pengetahuan yang disebut pendidikan tersebut dilakukan mulai dalam bentuk yang sangat sederhana malalui cara ta'lim (pemebelajaran) yang bersifat individual sampai kepada bentuk pembelajaran secara komunal dan bahkan dengan cara yang professional.
Dalam perkembangannya, pengertian pendidikan berkembang mengikuti ragam dasar dan tujuannya. Secara garis bersar dapat dipilah menjadi dua bagian besar yaitu pendidikan umum dan pendidikan agama. Secara lebih spesifik pengertian pendidikan agama diterjemahkan secara khusus oleh masing-masing agama manusia, salah satunya adalah pendidikan Islam.
Banyak pakar pendidikan memberikan definisi tentang pendidikan Islam yang secara garis besar ditekankan pada aspek tujuan pendidikan Islam itu sendiri yakni terbentuknya peserta didik menjadi manusia yang sempurna dengan terpenuhinya kesejahteraan dunia dan akhirat. Ahmad D. Marimba misalnya, mendifinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam, menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Suatu pendidikan dinamakan pendidikan Islam jika pendidikan itu bertujuan membentuk individu menjadi bercorak diri derajad tertinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya untuk mewujudkan tujuan itu adalah ajaran Allah. Usman Sai'd memberikan definisi bahwa pendidikan Islam ialah segala usaha untuk terbentuknya atau membimbimbing, menuntun rohani dan jasmani seseorang menurut ajaran Islam. Dari beberapa definisi tersebut terdapat benang merah persamaan dalam tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan Islam yaitu tercitnya manusia yang bermartabat, berkepribadian, berakhlak, dan beribadah dalam arti luas. Dengan kata lain, tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya peserta didik menjadi hamba Allah yang beriman dan bertaqwa, bertanggungjawab melaksanakan pekerjaan duniawi dan ukhrawi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, penentuan dan pemilihan materi pendidikan adalah merupakan suatu factor yang sangat urgen dalam pendidikan Islam. Pada dasarnya sumber materi pokok bagi pendidikan Islam adalah al-Qur'an dan al-Hadis karena kedua sumber inilah yang paling otoritatif merepresentasikan ajaran-ajaran Islam termasuk dalam bidang pendidikan. Ajaran-ajaran tersebut secara garis besar meliputi tiga bidang garapan yaitu keimanan atau aqidah, keislaman atau syari'at, dan keihsanan atau akhlak. Pada pernyataan terakhir inilah ritual żikir sebagai salah satu pelajaran yang menjadi materi pendidikan dalam dunia sufi yang disebut dengan "tarekat", menjadi semakin jelas tarikannya kepada pendidikan Islam.
2. Metode dan Macam-macam Pendidikan
Metode berasal dari kata majemuk dari bahasa yunani methodos, tersusun dari dua kata yaitu meta yang artinya melalui dan kata hodos yang artinya jalan atau cara. Jadi metode artinya suatu jalan yang dilalui untuk mencapai sutu tujuan. Banyak cara orang berproses dalam dunia pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu terwujudkannya tiga kecerdasan pada diri peserta didik yaitu kecerdasan kognitif (kecerdasan intelektual), kecerdasan afektif (kecerdasan emosional), kecerdasan psikomotorik (kecerdasan dalam berkarya dan berkarsa) dan kecerdasan spiritual. Setidaknya ada sebelas metode pendidikan Islam untuk mencapai kecerdasan tersebut yaitu:
a. Mutual Education; suatu metode mendidik secara kelompok
b. Instructional Education; suatu metode yang bersifat mengajar
c. Mendidik Melalui Bercerita; mendidik dengan menggunakan cerita sebagai materi yang harus dipahami aspek pedagogisnya sepert cerita dalam QS. Yusuf: 111.
d. Bimbingan dan Penyuluhan
e. Memberi Contoh dan Teladan
f. Metode Diskusi
g. Metode Tanya-Jawab
h. Metode Tarhīb dan Tarġīb;
i. Metode Taubat dan Ampunan
j. Metode Acquisition (Self Education), Explanation, dan Exposition
k. Metode Tamsil (Memberi Perumpamaan)
Adapun ragam pendidikan dapat dibedakan dari beberapa segi yaitu sebagai berikut:
a. Dari segi tingkat dan sistem persekolahan, dibedakan menjadi tiga yaitu pendidikan pra sekolah, pendidikan sekolah dasar, dan pendidikan tinggi.
b. Dari segi tempat berlangsungnya pendidikan, dibedakan menjadi tiga yang disebut tripusat pendidikan yaitu pendidikan di dalam keluarga, pendidikan di dalam sekolah, dan pendidikan di dalam masyarakat.
c. Menurut cara berlangsungnya pendidikan, dibedakan menjadi dua yaitu pendidikan fungsional, dan pendidikan intensional. Pendidikan fungsional yaitu pendidikan yang berlangsung secara naluriah tanpa rencana dan tujuan yang direncanakan tetapi berlangsung begitu saja. Sedangkan pendidikan intensional ialah kebalikan pendidikan fungsional yaitu program dan tujuan sudah direncanakan dengan baik.
d. Menurut sifat pendidikan, dibedakan menjadi tiga yaitu pendidikan infirmal, pendidikan formal, dan pendidikan non formal. Pendidikan informal ialah pendidikan yang diperoleh sepanjang hayat melalui pengalaman dan pergaulan sehari-hari di lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial masyarakat secara luas. Pendidikan formal atau bisa disebut pendidikan sekolah yaitu pendidkan yang berlangsung secara teratur, bertingkat, dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Sedangkan pendidikan non formal adalah pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu dan sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang ketat.
e. Dari segi bidang garapannya, ada pendidikan intelektual atau akaliah dan ada pendidikan spiritual. Pendidikan intelektual menggarap pada ranah akal manusia agar menjadi cerdas secara intelektual dengan merangsang otak kanan dan otak kirinya. Sedangkan pendidikan spiritual menggarap pada ranah hati, jiwa, moral atau budi manusia dengan melakukan usaha pencucian karat-karat dalam hati manusia melalui żikir, latihan kontemplasi, dan lain sebagainya. Pada corak yang terakhir inilah aspek pedagogi dalam ritual żikir dalam tarekat dapat diidentifikasi.
3. Kegunaan Pendidikan dalam Kehidupan
Pendidikan adalah usaha sadar dan direncanakan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Dalam pelaksanaannya sering kali dihadapkan problem-problem sistemik pembelajaran. Beberapa diantaranya adalah sistem kurikulum pendidikan yang sarat dengan muatan (materi pembelajaran) dan dalam kasus tertentu adalah problem manajemen yang kliru.
Problem-problem tersebut muncul akibat kesalahan mendasar pada tataran paradigma dalam memahami filosofi pendidikan dan ilmu. Begitu pula tata kelola dan manajemen yang tidak tepat juga memberikan andil yang signifikan dalam memunculkan problem sistemik tersebut. Akibatnya muncul kesenjangan antara harapan yang dicita-citakan dalam Undang-Undang Sisdiknas dan kenyataan yang ada.
Berbicara tentang kegunaan pendidikan tidak bisa terlepas dari keguanaan ilmu bagi kehidupan karena pendidikan adalah salah satu proses untuk mendapatkan ilmu. Secara aksiologis ketika ilmu dihadapkan pada persoalan moral, ketika ternyata ilmu dan teknologi membawa ekses yang merusak kehidupan, misalnya bom atom, senjata kimia dan sebagainnya, maka sudah saatnya ilmu harus mau dikontrol oleh moral agar ilmu dapat membawa kesejahteraan bagi kehidupan. Begitu pula pendidikan, harus senantiasa dilengketkan dengan etika dan moral termasuk moral agama agar pendidikan dapat mengantarkan manusia kepada kondisi yang baik bagi kehidupannya.
Dalam kontek ilmu (juga pendidikan tentunya) sebagai produk kebudayaan adalah merupakan tanggungjawab kreatif yang berdimensi moral. Hanya dalam kontek ini, kebudayaan dengan segala produknya akan dapat menjadi ibadah seseorang kepada Tuhan. Jadi pendidikan harus dapat menjadi sarana ibadah dan sarana peningkatan ibadah seseorang. Pendidikan tidak semestinya membawa seseorang menjadi lebih jauh dari Tuhannya.
Al-Ġazali sebagai seorang tokoh Psikologi Sufistik menawarkan pendidikan melalui kajian fikihnya yang dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia agar peserta didik mempunyai tiga keseimbangan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik yang berdampak positif bagi kedewasaan mental yang termaniversatisakan dalam wujud kesempurnaan dalam berfikir, berkeinginan dan berperasaan (cipta, karya, dan karsa).
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan tiga aspek dalam kehidupan pada diri seseorang yakni pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup. Tiga aspek tersebut merupakan hal yang saling berkelindan dan tidak mungkin terlepas dari kehidupan seorang anak manusia. Dengan mendasarkan pada konsep ini, sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau "enculturation", seuatu proses untuk menjadikan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu.
Pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggungjawab kepada Allah dan masyarakat manusia merupakan karakteristik pendidikan Islam. Di sini pengetahuan bukan hanya untuk diketahui, dan dikembangkan, melainkan sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian terdapat konsistensi antara apa yang diketahui dengan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Islam, mengetahui suatu ilmu pengetahuan sama pentingnya dengan pengamalannya secara konkret.
Perkembangan pendidikan pada diri seseorang seharusnya berbanding lurus dengan tingkat kedewasaan dan keharmonisannya dalam menatap sebuah kehidupan baik secara individual maupun secara sosial. Artinya bahwa jika tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi maka meningkat pula kedewasaan dan kebijakannya dalam memandang dan mensikapi dunia, dengan demikian harmonisasi dalam hidupnya semestinya juga meningkat. De Meningkatnya sumber daya manusia secara kualitatif tergantung faktor determinannya yaitu pendidikan. Walhasil secara aksiologis, pendidikan harus berguna dan berdayaguna bagi bagi kehidupan manusia. Pendidikan harus dapat menjadi agent of change (agen perubahan) menuju kondisi positif.
B. Ritual Żikir
1. Pengertian dan Epistemologi Żikir
Menurut teori fungsional, agama adalah penting sehubungan dengan unsur-unsur pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan yang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia. Maka agama dapat menjadi tumpuan akhir bagi masyarakat. Dalam hal ini agama menyediakan dua fungsi bagi manusia yaitu pertama, Cakrawala pandang (world view) tentang dunia luar yang transenden. Kedua. Agama sebagai sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan yang diluar jangkauannya yang memberikan jaminan keselamatan bagi manusia. Terkait dengan fungsinya yang kedua tersebut, agama mempunyai ajaran bagi pemeluknya agar selalu ingat kepada Yang Maha kuasa yang disebut al-żikr.
Secara etimologi żikr merupakan derifasi dari kata żakara – yażkuru - żikr berarti mengisyaratkan, menyebut, menutur, mengingat. Sedangkan secara terminologi żikr adalah segala lafal atau capan yang disukai manusia untuk dibaca (diamalkan) sebagai jalan mengingat, mengenang dan membuka jalan menuju Allah SWT. Żikr juga merupakan aktivitas latihan yang bernilai ibadah untuk senantiasa mendekatkan diri dan merasa dekat dengan Allah SWT yang memberikan ketenangan jiwa.
Epistemologi żikir dapat dilacak dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an istilah żikr Allāh (mengingat Allah) digunakan sebanyak 26 kali dalam bentuk nomina atau verba. Kedudukan penting żikr Allāh dalam al-Qur'an menjadi jelas setelah kita mencermati bahwa kitab itu sungguh-sungguh memerintahkan dilakukannya aktifitas żikr Allāh.
Konon, kaum sufi menggunakan kata żikr sebagai metode untuk mencapai satu titik pemusatan pikiran kepada Sang Kekasih. Lebih dari yang lainnya, praktik inilah yang membedakan kaum muslim sufi dari yang tidak sufi. Żikr tidak hanya berarti mengingat, tetapi juga menyebut. Karena praktik żikr kaum sufi dapat digambarkan sebagai sesuatu yang mirip dengan mantra, kata żikr pun sering diartikan sebagai "membaca do'a".
Dalam bentuknya yang paling mendasar, żikr yang secara harfiah berarti mengingat, menyebut, menutur, melibatkan aktivitas lahir dan batin. Aktivitas lahir berupa menyebut, dan menutur kalimat yang mengandung nama Allah. Sedangkan aktivitas batin dengan cara mengingat, nama Allah secara berualng-ulang seperti nama yang ada dalam frasa al-hamdulillāh (segala puji bagi Allah).
Makna prinsipil dari istilah żikr dapat ditemukan dengan cara menjawab tiga buah pertanyaan –apa, mengapa, dan bagaimana. Apa yang diingat? Mengapa harus diingat? Bagaimana cara mengingatnya?. Obyek aktivitas mengingat adalah Allah, yang realitasnya terungkap secara padat dalam kalimat lā ilāha illa Allāh dan secara lebih terperinci lagi dalam keseluruhan nama dan sifat yang disebutkan dalam al-Qur'an. Obyek ini wajib diingat karena Dialah yang memerintahkan manusia untuk mengingat-Nya dank arena kebahagiaann tertinggi bergantung pada żikr. Obyek itu bisa diingat dengan cara meneladani nabi Muhammad saw., yang melalui sunnahnya beliau telah memberikan pola bagi aktivitas maupun cara mengingat yang benar.
Singkatnya, untuk memahami sepenuhnya implikasi istilah żikr dalam al-Qur'an dan tradisi, orang mesti memiliki pemahaman secara jernih tentang obyek żikr. Untuk memahami Allah, orang harus memahami cara Dia mengungkapkan diri-Nya sendiri melalui al-Qur'an. Ini berrarti bahwa żikr menimbulkan tiga buah topic mendasar yaitu Allah dalam dirinya sendiri, ungkapan Allah tentang diri-Nya sendirin dan implikasi dari pengungkapan diri Allah bagi manusia. Ketiga hal ini dipandang sebagai prinsip keimanan yakni tauhīd, nubuwwah, dan rujū‘ ila al-Haq. Prinsip yang disebut terakhir ini perlu ditelaah dalam cakupan luas maknanya, yang meliputi "cara kembali secara paksa (karāhiyatu al-rujū')" melaui kematian dan "cara kembali sukarela (ikhtiyāriyatu al-rujū')" dengan meneladani Nabi Muhammad saw.
Selanjutnya jawaban mengapa dan untuk apa manfaat żikir dapat dilacak dari beberapa ayat al-Qur'an yang jelas-jelas memerintahkan perbuatan żikir kepada manusia yaitu perintah menjalankan ritual berzikir dan mengingat Allah karena kehidupan yang hakiki yaitu kehidupan akhirat dimana manusia beriman yang senantiasa mengingat-Nya, akan diberikan keistimewaan bersanding dengan-Nya di syurga, sebaliknya orang yang melupakan-Nya akan disiksa dengan api neraka. Misalnya Allah berfirman, "Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini dan tempat kembalimu ialah neraka" (QS. Al-Jāśiah [45]: 34).
Betapa pentingnya żikir dalam arti sebuah kegiatan batin mengingat keagungan Allah, mengingat adanya kehidupan hakiki yaitu kehidupan setelah mati (living after deat) sebagaimana diisyaratkan pada ayat tersebut, membantu mendorong Ibn ‘Atā'illāh as-Sakandari (w. 1309 M) dapat mengatakan, dalam risalah populernya tentang keistimewaan żikir, bahwa "Semua amal ibadah seorang hamba akan hilang pada hari kiamat, kecuali mengingat Allah, yang meneguhkan keesaan (tauhīd) maupun pujian bagi-Nya". Bahkan konon kiamat tidak akan segera datang sepanjang masih terdapat orang yang melakukan żikr Allāh.
Sebagaimana halnya żikir membawa kebahagiaan di akhirat, demikian pula żikir memberikan jalan untuk mencapai kedekatan dengan Allah di dunia. Singkatnya melalui żikir manusia dijamin oleh Allah akan mendapatkan ketenangan didunia dalam bentuk hati yang damai dan ketenangan dia khirat dengan merasakan kehidupan di syurga bersanding dengan Allah dan Rasyul-nya.
Disamping beberapa ayat al-Qur'an di atas, literatur hadis menyajikan bahan berlimpah yang memperkokoh gambaran al-Qur'an dan menekankan manfaat żikir di akhirat. Nabi Muhammad saw. menyebut żikir sebagai amal ibadah yang paling baik. Setiap kata yang diucapkan seseorang di dunia ini akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak, kecuali amr ma‘rūf, nahy munkar, dan żikr Allāh. Pada masa nabi pertemuan-pertemuan untuk kegiatan żikr Allāh telah banyak digelar oleh nabi Muhammad saw., dan inilah kemudian menjadi contoh bagi tradisi perkumpulan-perkumpulan kaum sufi yang tidak terorganisir maupun yang terorganisir seperti organisai perkumpulan pengamal tarekat di Indonesia.
2. Pendekatan Irfāni dalam Żikir
Tradisi keilmuan secara global dapat dipetakan dalam tiga kategori; bayāni, irfāni, dan burhāni. Irfani berasal dari akar kata 'irfan yang berasal dari kata 'rafa-ya'rifu-irfan-ma'rifah artinya mengetahui. Kata 'irfan muncul dari para sufi muslim yang menunjuk pada suatu bentuk pengetahuan yang tinggi, terhunjam dalam hati dalam bentuk kasyf atau ilham. Ilham di sini bukan dalam pengertian "ilham" kenabian, tetapi merupakan intuisi seketika yang biasanya ditimbulkan oleh praktik-praktik ruhani. Ilham ini datang dari pusat wujud manusia yang berada di luar batas waktu atau dari pancaran akal universal yang menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Istilah irfān itu sendiri belum tersebar pemakaiannya dalam literature-literatur sufistik kecuali pada periode belakangan. Sejak awal para sufi membedakan antara pengetahuan yang diperoleh melalui indera atau akal, atau melalui keduanya dengan pengetahuan yang didapatkan melalui kasyf. Dzinnun al-Mishri (w. 245 H) misalnya, membagi pengetahuan menjadi tiga. Pertama, pengetahuan (ma'rifah) tauhid yang berlaku untuk kalangan umum; mukmin dan mukhlis. Kedua, pengetahuan argumentative (bayān), yaitu khusus bagi para hukamā', bulāġā' dan ulama'. Ketiga, pengetahuan sifat-sifat wihdaniyah yaitu khusus bagi ahli wilāyatullāh yang menyaksikan Allah melalui hatinya sehingga nampak suatu kebenaran yang belum pernah terlihat oleh orang lain.
Secara metodologis, pengenalan langsung (al-idrāk al-mubāsyir) terhadap Allah yang dilakukan seorang sufi, pertama-tama dimulai dari kegoncangan jiwa atau keraguan yang bersumber dari konflik antara nafsu dan akal pada satu sisi dan dari perenungan filosofis terhadap alam pada sisi lain. Sedangkan eksistensi pengenalan (al-idrāk) itu sendiri adalah terbukanya hijāb (tabir) inderawi sehingga terbuka rahasia dan pengetahuan Allah.
Para sufi pada tahap ini akan mengetahui hakikat-hakikat wujud yang tidak diketahui oleh orang lain pada umumnya. Jadi ilmu yang diperoleh melui kasyf dengan hilangnya hijāb inderawi ini adalah pengetahuan langsung akan eksistensi tau zat Allah dan sifat-Nya, juga pengetahuan akan hakikat setiap realitas dan rahasia-rahasia alam serta dimensi batin syari'ah dan hukum-hukumnya.
Ajaran sufi secara umum dapat dibedakan menjadi dua bidang utama yaitu al-haqā'iq (metafisika) atau kebenaran-kebenaran universal dan al-daqā'iq (ilmu tentang jiwa) yang berkaitan dengan manusia dan tingkatan-tingkatan perjalanan individu. Ada yang membagi ajaran sufi menjadi tiga wilayah utama yaitu metafisika, kosmologi, dan psikologi rahani. Pemetaan yang disebut terakhir ini semakna dengan konsep "tiga serangkai" yaitu Tuhan, dunia (makrokosmos), dan jiwa (mikrosmos).
Disamping itu, dalam sejarah perkembangan sufi, secara umum telah berkembang empat kecenderungan pemikiran. Pertama, non Aretotelian, dimana dasar konsep-konsep epestemik muncul dalam teks-teks filsafat yang mencakup 'ilm hudūri (knowledge by presence), kasyf (revealment), żauq (authentic-encounter-taste), syauq (existential exuberance), żikr (archetypal recall) dan ta'wil (hermeneutic reflection). Pemikiran-pemikiran ini sedikit banyak telah dipengaruhi oleh Plato.
Kedua, kecenderungan kepada teks-teks yang menunjukkan perbedaan antara akal żihni dan ġairu al-żihni. Ketiga, kecenderungan kepada pemikiran Deskrates tentang cogeto ergo sum (aku berpikir maka aku ada) dan penggunaan diri (self) transendental sebagai subyek pengalaman untuk membuktikan posisi epistemologi mereka. Keempat, kecenderungan kepada dimensi ekspresi pragmatis dalam wujud ahwāl dan maqāmāt. Dalam hal ini kerangka teoritik pengetahuan sufistik yang dipakai adalah tariqah, suatu bagian sufistik untuk mencapai perwujudan diri (self realization). Proses perwujudan diri ini adalah suatu terapi, epitemologi, dan pendakian normatif. Tujuan akhir perjalanan sufistik bukanlah pengetahuan diskursif, pengetahuan deskriptif atas fakta-fakta, atau analisis-analisis konsep, juga bukan pelaksana ritual-ritual keagamaan, akan tetapi untuk mentransformasikan keterasingan individu (firāq dan tafrīq) menuju kondisi kesatuan. Dalam kondisi seperti ini, terjadi secara hudūri pertemuan antara wujud dengan kesatuan wujud (wahdat al-wujuūd).
3. Tarekat sebagai Sarana Ibadah Kaum Sufi
Tarekat sebagai sarana ibadah kaum sufi dapat dilacak dalam tata cara berzikir yang telah diformulasikan oleh para syekh-syekh sufi untuk membimbing para muridya, baik yang kemudian diorganisasi secara modern dalam bentuk "Jam‘iyyah ahl al-Ṭarīqah (Organisasi Pengamal Tarekat)", maupun secara tradisional dalam bentuk "padepokan-padepokan sufi". Kedua bentuk perkumpulan zikir tersebut pada intinya berfungsi sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah.
Dengan sentralitas mengingat Allah dalam al-Qur'an dan hadis, maka tidak ada lagi persoalan bahwa żikir merupakan praktik dasar Islam di sepanjang abad pertama. Akan tetapi, ketika para ulama melaksanakan kodifikasi atas syari'at, mereka tidak menekankan żikir pada umat. Meskipun al-Qur'an berulang-ulang memerintahkan manusia untuk mengingat Allah, sengan sendirinya zikir harus dikaitkan dengan kekuatan perhatian dan kesadarn dari pada dengan aktivitas lahiriah yang diatur oleh hukm fiqih. Meskipun demikian, karena luasnya cakupan makna yang digunakan oleh al-Qur'an, hal itu dianggap tidak menyimpang dari makna al-Qur'an yang menyatakan bahwa membaca al-Qur'an dan żikir dalam arti khusus adalah praktik mengingat Allah. Di samping itu, al-Qur'an menjelaskan bahwa salat itu sendiri adalah aktivitas mengingat Allah (aqim al-salā li żikrī). Dalam pengertian ini, ulama menjadikan żikir sebagai kewajiban atas kaum muslimin. Mereka menulis banyak do'a dan rumusan żikir yang bisa diamalkan oleh para muslimin. Akan tetapi, bagi syariat, żikir hanyalah amalan yang dianjurkan atau disunnahkan dan tidak wajib.
Dalam kontek berzikir, kaum sufi berbeda dengan kaum muslim pada umumnya dimana kaum sufi memposisikan amal ibadah żikir sebagai amal yang wajib dilakukan tidak sekedar dianjurkan. Mereka inilah yang selalu mengingatkan kita bahwa essensi setiap aktivitas ibadah adalah mengingat Allah. Mengapa orang harus berpuasa dan menjalankan salat?, yaitu hanyalah untuk mengingat Allah dan Menghadirkan-Nya dalam pikiran. Syaikh an-Naqsyabandiyyah khawaja Muhammad Parsa (w. 1420 M) menulis bahwa prinsip menjadi seorang muslim adalah lā ilāha illa Allāh. Oleh karenanya ruh salat dan amal ibadah yang lain seperti puasa, haji dan lain-lain adalah memperbaharui żikir Allāh di dalam hati. Bahkan dalam bahasa yang sangat indah Abu Sa‘id al-Kharrāz ra. Mengatakan, "Bukanlah seorang disebut al-kāmil orang yang muncul darinya banyak karāmah, sesungguhnya yang disebut al-kāmil adalah orang yang duduk di antara manusia, berjual beli dengan mereka, juga menikah, dan bergumul dengan mereka tetapi hatitinya tidak selintaspun lupa dari Allah". Inilah yang disebut hakekat żikir.
Syahadat umumnya dipandang sebagai praktik żikir terbaik. Tujuannya adalah mengingat Allah untuk menghilangkan segala sesuatu kecuali Allah dan menjadi kekal di hadirat Allah. Sebagaimana dikatakan Ibn ‘Ātā'illāh, "Seseorang tidak bisa dikatakan telah mengucapkan kalimat lā ilāha illa Allāh dengan benar kecuali apabila dia menghilangkan segala sesuatu kecuali Allah dari jiwa dan hatinya". Najm al-Dīn al-Rāzi (tokoh sejaman dengan Ibn ‘Ātā'illāh) menulis:
Dengan kalimat lā ilāha (tidak ada tuhan), seorang hamba menegasikan segala sesuatu kecuali Yang Maha Benar (al-haqq) dan dengan kalimat illa Allāh (kecuali Allah) meneguhkan kehadiran Yang Maha Suci. Jika dengan tekun dia melaksanakan dan berpegang teguh kepada hal itu, daya tarik spiritual selain Allah lambat laun terputus oleh kalimat lā ilāha (tidak ada tuhan). Keindahan kalimat illa Allāh (kecuali Allah) tersingkap dari beranda Yang Maha Suci. Dalam menepati janji, Ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingatmu (QS. Al-Baqarah [2]: 152), żikir dilepaskan dari selubung huruf dan suara. Karakter khas "segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya." (QS. Al-Qasas [28]: 88) menjadi bukti bagi terungkapnya kekuasaaan Ilahi.

Meskipun banyak ulama sepakat bahwa kalimat lā ilāha illa Allāh merupakan formula zikir yang paling sempurna, sebagian ulama lain berpendapat bahwa " żikir tunggal (al- żikr al-mufrād)" yakni menyebut nama Allah saja lebih tinggi derajadnya. Ibn ‘Arabi sering mengutip ucapan gurunya Abū al-‘Abbās Uryabi, yang berpendapat bahwa nama tunggal (Allah) jelas paling baik, karena dalam mengingat "Tidak ada tuhan kecuali Allah", orang mungkin mati dalam jurang curam penegasian, tetapi dengan mengingat Allah semata, orang mungkin mati dalam akrabnya peneguhan.
Dari bernbagai pandangan para sufi tersebut yang kemudian menjadi landasan pengembangan ajaran sufi kepada generasi berikutnya melalui formula-formula berzikir sesuai dengan pengalaman batin para sufi dan pemahaman mereka terhadap ajaran-ajaran Islam baik yang didapatkan dari al-Qur'an maupun hadis Rasul saw. Formula-formula tersebut dikenal dengan sebutan tarekat. Salah satu tarekat tersebut adalah tarekat naqsyabandiyyah yang diklaim oleh pendirinya Syekh an-Naqsyabandi sebagai tarekat yang paling mudah dan paling bisa diharapkan untuk mendekatkan para murid menuju tauhīd.
Para guru (syekh) sufi menggunakan nama-nama dan formula zikir tertentu untuk mengukuhkan potensi spiritual dan meluluhkan sifat-sifat para muridnya. Banyak karya sufi yang menyajikan informasi tentang nama-nama yang pantas digunakan –meskipun tidak pernah tanpa seizing (talqīn) seorang guru- oleh murid-muridnya pada tahapan yang sesuai dengan pertumbuhan spiritual. Karya-karya sufistik tentang "Nama-nama Paling IndahAllah", misalnya karya al-Ghazali al-Maqsad al-Aśnā (Tujuan Tertinggi), sering membahas sifat moral dan sikap spiritual yang mencerminkan masing-masing nama individual pada tahapan kemanusiaan. Ibn ‘Ātā'illāh mempersembahkan beberapa halaman buku bagi keunggulan nama-nama Allah dan pengaruhnya terhadap pengembara spiritual pada tahapan berbeda di jalan sufistik. Dia mengemukakan, misalnya bahwa nama Allah Yang Maha Kaya (al-Ġaniy) sangat bermanfaat bagi orang yang ingin lepas dari fenomena, tetapi tidak mampu mencapainya. Para sufi mengembangkan sistem psikologi untuk memahami cara kerja masing-masing dari kesembilan puluh sembilan nama Ilahi (al-Asmā' al-Husnā) agar orang yang sedang bermeditasi tidak dirugikan oleh penggunaan nama yang salah.
Dalam ajaran sufi yang disebut taṛīqah as-sulūk (metode jalan menuju Allah) dikatakan bahwa żikir harus menyusup ke seluruh badan dan jiwa, dan para ahli mistik mengetahui metode-metode yang canggih untuk dengan perlahan-lahan membuka pusat-pusat kekuatan ruhaniah di dalam tubuh –lima atau tujuh titik bercahaya yang terkenal dikalangan para pengamal tarekat sebagai latā'īf. Teknik-teknik ini bersama dengan gerakan-gerakan yang benar atau sikap ketika duduk dan pernafasan yag tepat, harus dipelajari dari seorang guru yang paling tahu bagaimana hati para murīd dapat digosok dan dibersihkan. Sebab żikir selalu dianggap sebagai sarana untuk menggosok cermin hati, dan jika dilakukan secara berulang-ulang secara konsisten dapat mengangkat karat dan membuat hati begitu bersih, sehingga ia dapat menerima cahaya Ilahi dan merefleksikan keindahan Ilahi. Demikianlah dunia sufi memposisikan tarekat sebagai salah satu sarana beribadah melalui żikir. Dengan żikir secara benar dan dilakukan secara kontinyu akan dapat membersihkan hati dari karat penghalang menuju sang Khaliq.

C. Hubungan Pendidikan, Ritual Zikir Dan Kecerdasan Spiritual
Tak dapat disangkal, bahwa salah satu misi sentral profetik yang diemban oleh Rasul Muhammad adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang benar-benar utuh, tidak hanya secara jasmaniah, tetapi juga secara batiniah. Peningkatan kualitas SDM itu dilaksanakan dalam keselarasan dengan tujuan misi profetis Nabi, yakni untuk mendidik manusia, memimpin mereka ke jalan Allah, dan mengajar mereka untuk menegakkan masyarakat yang adil, sehat, harmonis, sejahtera secara material maupun spiritual.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik utama, Nabi Muhammad tentu saja telah dibekali Allah SWT tidak hanya dengan al-Qur'an tetapi juga kepribadian dan karakter yang istimewa. Beliau adalah orang yang suka melakukan refleksi dan merenung tentang alam lingkungan masyarakat sekitarnya, dan Tuhan. Beliau adalah orang yang senantiasa belajar di sekolah tanpa dinding. Memang hanya dengan kepribadian terpuji dan mulia, serta suka mencari hikmah, maka seorang dapat fungsional sebagai pendidik yang berhasil. Salah satu bentuk kontemplasi yang dilakukan oleh Rasul adalah kegiatan berżikir.
Sebagai pendidik dan sekaligus Rasul, misi kependidikan pertama Muhammad saw adalah menanamkan aqidah yang benar yakni aqidah tauhid –mengesakan Tuhan, yang by extension, memahami seluruh fenomena alam dan kemanusiaan sebagai suatu kesatuan, suatu yang holistic. Dalam kerangka tauhid dalam pengertian terakhir ini, maka kemanusiaan –dan dengan demikian, SDM- adalah manusia yang memiliki kualitas yang seimbang; beriman, berilmu, dan beramal, cakap baik secara lahiriah maupun batiniah, berkualitas secara emosional dan rasional atau memiliki Emotional Quotion (kecerdasan emosional) dan Intellectual Quotion (kecerdasan intelektual), dan juga Spiritual Quotion (kecerdasan spiritual) yang tinggi. Krisis dalam kualitas SDM terjadi ketika harmoni semacam ini tidak lagi dipertimbangkan dan dipedulikan, seperti sering terjadi dalam pendidikan modern. Orang yang memiliki EQ dan IQ yang tinggi dan memiliki SQ yang rendah, ia akan menjadi ilmuwan yang sombong. Disinilah pentingnya menentukan keseimbangan tersebut sebagai target bahkan tujuan sebuah penyelenggaraan pendidikan.
Dalam dunia pendidikan dikenal bahwa tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia cerdas secara emosional, cerdas secara intelektual dan cerdas secara spiritual, secara seimbang. Hasil rumusan tentang tujuan pendidikan Islam menurut Kongres Pendidikan Islam se-Dunia di Islamabad tahun 1980, menunjukkan bahwa pendidikan harus merealisasikan cita-cita (idealitas) Islam yang mencakup pengembangan kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis (jasmaniah) manusia yang mengacu kepada keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan secara berkesinambungan sehingga terbentuklah manusia muslim yang paripurna, berjiwa tawakkal secara total kepada Allah SWT.
Pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang senantiasa bertaqwa kepada Allah dan dapa mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat. Dasar-dasar pendidikan Islam, secara prinsipil diletakkan pada dasar-dasar ajaran Islam yaitu al-Qur'an dan Sunnah Rasul dan seluruh perangkat kebudayaanya. Karakteristik utamanya adalah penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan atas dasar ibadah, menekankan pada nilai-nilai Akhlak, baik akhlak vertical kepada Allah maupun akhlak horizontal sesame manusia.
Tujuan pendidikan Islam dapat dirumuskan berdasarkan klasifikasi yang bersifat edukatif logis, dan psikologis. Tujuan yang menitikberatkan kekuatan jasmaniah dikaitkan dengan tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka Bumi yang harus memiliki kemampuan jasmaniah yang tinggi disamping rohaniah yang teguh. Secara teologis tujuan pendidikan Islam adalah ibadah dalam arti luas yakni menyangkut iabadah mahdah seperti salat, żikir dan sebagainya maupun pekerjaan-pekerjaan social dan individual yang diniatkan semata-mata karena Allah.
Abdullah Hadziq mengatakan bahwa sesungguhnya Psikologi Sufistik merupakan salah satu solusi pengembangan pendidikan multicultural, sebuah pendidikan yang menjadikan pserta didik sadar dan dapat bersikap secara bijak dalam menghadapi kemajemukan budaya manusia. Bentuk kontribusinya adalah konsep pendidikan multicultural berbasis tingkah laku afektif dengan model pembelajaran yang menghasilkan keseimbangan kemampuan fakir, kecerdasan rasa, dan kemuliaan budi pekerti atas dasar norma-norma etis kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan dalam tataran keduniaaan dan keakhiratan.
Jika dikaji lebih jauh, di balik pengertian pendidikan Islam di atas, terkandung pandangan-pandangan dasar Islam berkenaan dengan manusia dan signifikansi ilmu pengetahuan. Manusia, menurut Islam adalah makhluk Allah yang paling mulia dan unik. Ia terdiri dari jiwa dan raga yang masing-masingnya mempunyai kebutuhan sindiri. Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk rasional, sekaligus pula mempunyai hawa nafsu kebinatangan (al-nafs al-hayawāniyyah). Ia mempunyai organ-organ kognitif semacam hati (qalb), intelek (‘aql) dan kemampuan-kemampuan fisik, intelektual, pandangan kerohanian, pengalaman dan kesadaran. Dengan berbagai potensi semacam itu, manusia dapat menyempurnakan kemanusiaannya sehingga menjadi pribadi yang dekat dengan Allah. Tetapi sebaliknya ia dapat pula menjadi makhluk yang paling hina karena dibawa kecenderungan-kecenderungan hawa nafsu dan kebodohannya.
Jika diperhatikan dari tujuannya, pendidikan Islam dapat dikategorikan dalam humanistic education (pendidikan kemanusiaan), sebuah pola pendidikan yang lebih menekankan pada aspek kemanusiaan yakni menekankan pada aspek pengembangan harkat dan martabat manusia dan pengembangan potensi mereka ke arah aktualisasi diri. Ciri utamanya adalah bahwa humanistic educational lebih menekankan pada aspek kemanusiaan, dengan kata lain pendidikan dengan pola humanistik adalah pendidikan yang lebih memanusiakan manusia.
Pola pendidikan tersebut mencita-citakan terciptanya manusia yang berkepribadian, mempunyai moral yang baik (akhlak yang mulia). Ini semakna dengan tema pokok gagasan Paulo Freire (1970), seorang tokoh dan pemikir yang sangat kritis di bidang pendidikan yang mengacu dan mendasarkan pemikirannya pada landasan dasar bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia kembali.
Adapun fokus garapan pola pendidikan tersebut -sebagaimana dikutib oleh Abdullah Hadziq dari Abraham H. Maslow. adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan kemampuan anak dalam menentukan pilihan-pilihan yang baik dan tepat
2. Mengusahakan agar kebutuhan dasar psikologis anak selalu terpenuhi
3. Mengembangkan anak agar dapat menikmati pertumbuhan psikologisnya hingga sampai tingkat akulturasi diri
4. mengembangkan potensi psikologis anak agar dapat mengontrol hati nuraninya sendiri
5. Mewujudkan kesehatan psikologis, ketentraman batin (spiritual peace) dan hubungan sosial yang harmonis.
Pola pendidikan humanistic educational di atas secara substansial memiliki kesamaan dengan konsep pendidikan afektif dalam pandangan Psikologi Sufistik yang dikembangkan oleh al-Ġazali. Letak kesamaannya adalah pada fokus pengembangan beberapa perasaan seperti perasaan intelektual (intellectual sense), perasaan estetis (estethic sense), perasaan etis (ethic sense), perasaan diri (personal sense), dan perasaan social (social sense). Sedangkan sisi perbedaannya terletak pada pengembangan rasa dalam keterkaitannya dengan Tuhan Yang Maha Esa dan Agama.
Sementara itu, żikir sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai tujuan utama yaitu tasfiyah al-Qalb (pembersihan hati), jika dilakukan secara rutin dengan cara yang benar akan dapat mengantarkan pengamalnya menuai kehidupan yang harmoni dengan jiwa yang tenang. Żikir sebagai salah satu bentuk tajrīb ruhāni (latihan spiritual) sesungguhnya tidak hanya dapat menghasilkan kebaikan secara individu tetapi juga mempunyai dampak sosial. Karena seorang pengamal żikir yang baik kejernihan hatinya termanifestasikan dalam aktivitas nyatanya berupa kebaikan budi pekerti.
Sampai di sini dapat dipahami bahwa antara pendidikan khususnya pendidikan Islam secara substansial dan tujuan yang hendak dicapai, bertemu dengan essensi dan kegunaan żikir pada satu titik akhir yaitu keduanya sama-sama bertujuan mencetak manusia sempurna dengan keseimbangan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan kecerdasan social. Dengan keseimbangan empat kecerdasan tersebut manusia akan hidup secara harmoni yang sering disebut dengan kebahagiaan sejati.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan substansial dan fungsional antara pendidikan, ritual żikir, dan kecerdasan spiritual. Antara pendidikan dan żikir berfungsi dalam menghasilkan kecerdasan spiritual manusia.







BAB IV

A. Aspek Pendidikan dalam Ritual Zikir
Proses long life learning (pendidikan seumur hidup) dalam dunia pendidikan informal yang lebih bersifat learning based (berbasis pembelajaran) dari pada teaching based (berbasis pengajaran) akan menjadi kunci perkembangan sumber daya manusia. Pembelajaran dalam dunia pendidikan dapat dilakukan melalui keteladanan seorang guru terhadap peserta didik atau -dalam istilah dunia tarekat- keteladanan syaikh terhadap murid baik dalam ranah duniawi maupun ukhrawi.
Menurut M.J. Langeveld; "Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing yang belum kepada kedewasaan. Sedangkan Ahmad D.Marimba, pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya keperibadian yang utama. Demikian dua pengertian pendidikan dari sekian banyak pengertian yang diketahui. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor : 2 Tahun 1989, "pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akang datang.
Sedangkan, "pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi perbuatan atau semua usaha generasi tua untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah. Menurut para ahli Filsafat Pendidikan, dalam merumuskan pengertian pendidikan sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan terhadap manusia; hakikat, sifat-sifat atau karakteristik dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Perumusan pendidikan bergantung kepada pandangan hidupnya. "Apakah manusia dilihat sebagai kesatuan badan dan jasmani; badan, jiwa dan roh, atau jasmani dan rohani? Apakah manusia pada hakekatnya dianggap memeiliki kemampuan bawaan (innate) yang menentukan perkembangannya dalam lingkungannya, atau lingkungannyalah yang menentukan dalam perkembangan manusia? Bagimanakah kedudukan individu dalam masyarakat? Apakah tujuan hidup manusia? Apakah manusia dianggap hanya hidup sekali di dunia ini, ataukah hidup lagi di hari kemudian (akhirat)? Demikian beberapa pertanyaan filosofis". Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas , memerlukan jawaban yang menentukan pandangan terhadap hakekat dan tujuan pendidikan, dan dari sini juga sebagai pangkal perbedaan rumusan pendidikan atau timbulnya aliran-aliran pendidikan seperti; pendidikan Islam, Kristen, Liberal, progresif atau pragmatis, komunis, demokratis, dan lain-lain. Dengan demikian, terdapat keaneka ragaman pendangan tentang pendidikan. "Dalam keanekaragaman pandangan tentang pendidikan terdapat titik-titik persamaan tentang pengertian pendidikan, yaitu pendidikan dilihat sebagai suatu proses; dengan proses itu seseorang (dewasa) secara sengaja mengarahkan pertumbuhan atau perkembangan seseorang (yang belum dewasa). Proses adalah kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang sesuai dengan nilai-nilai yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Dengan pengertian atau definisi itu, kegiatan atau proses pendidikan hanya berlaku pada manusia tidak pada hewan". Apakah Pendidikan Islam itu? Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka sangat dipengaruhi oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam, atau menurut Abdurrahman an-Nahlawi, "Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah. Pendidikan Islam bukan sekedar "transper of knowledge" ataupun "transper of training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan. Dengan demikian, pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia kearah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan adalah "nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits. Jadi, "konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya melihat bahwa pendidikan itu sebagai upaya "mencerdaskan" semata (pendidikan intelek, kecerdasan), melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya. ....Pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakekat keberadaan (eksistensi) manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di depan Allah perbedaanya adalah kadar ketaqwaan, sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif". Karena pendidikan berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pada manusia , maka sangat urgen untuk memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang diproses kearah kebahagian dunia dan akhirat. Pandangan tentang manusia antara lain : (a) Konsep Islam tentang manusia, khsusunya anak, sebagai subyek didik. Sesuai dengan Hadits Rasulullah, anak manusia dilahirkan dalam Fitrah atau dengan "potensi" tertentu. Dalam al-Qur'an dikatakan "tegakkan dirimu pada agama dengan tulus dan mantap, agama yang cocok dengan Fitrah manusia yang digariskan oleh Allah. Tak ada perubahan pada ketetapan-Nya.....( ar-Rum : 30). Pada mulanya anak itu dilahirkan dengan "membawa potensi" yang perlu dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. "Berbeda dengan teori Tabularasa yang menganggap anak menerima "secara pasif" pengaruh lingkungannya, sedangkan konsep fitrah mengandung "potensi bawaan" aktif (innate patentials, innate tendenceis) yang telah di berikan kepada setiap manusia oleh Allah. Bahkan dalam al-Qur'an, sebelum manusia itu lahir kemudian telah mengadakan "transaksi" atau "perjanjian" dengan Allah yaitu mengakui keesaan Tuhan, firman Allah surat al-A'raf : 172, "Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan menyuruh agar mereka bersaksi atas diri sendiri; "Bukankah Aku Tuhanmu?" firman Allah. Mereka menjawab; "ya kami bersaksi" yang demikian agar kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, "kami tidak mengetahui hal ini". Memperhatikan ayat ini, berarti setiap anak yang lahir dengan membawa "potensi keimanan" terhadap Allah atau disdebut dengan "Tauhid". Sedangakan potensi bawaan yang lain misalnya potensi fisik dan intelegensi atau kecerdasan akal dengan segala kemungkinan dan keterbatasannya. Selain itu dalam al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat hakiki manusia yang mempunyai implikasi baik terhadap tujuan maupun cara pengarahan perkembangannya. Misalnya : Tentang tanggung jawab, bahwa manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi juga potensi untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan sesuai dengan tingkat kemampuan daya pikul seseorang menurut kodrat atau fitrahnya (pada al-Mu'minun : 115 dan al-Baqrah : 286), selain itu manusia pada hakekat dan menurut kejadiannya bersedia dan sanggup memikul amanah (pada al-Ahzab : 72).
Di samping itu, hal yang juga penting implikasinya bagi pendidikan adalah menurut al-Qur'an bahwa tanggung jawab yang ada pada manusia bersifat pribadi, artinya tidaklah seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul sendiri tanpa melibatkan orang lain (pada Faathir : 18). Sifat lain yang ada pada manusia adalah manusia diberi oleh Allah kemampuan al-bayan (fasih perkataan - kesadaran nurani) yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang baik( pada ar-Rahman : 3-4). Kemudian pada hadits Rasulullah, "barang siapa ingin mencapai kebahagian dunia harus ditempuh dengan ilmu dan barang siapa yang mencari kebahagian akhirat juga harus dengan ilmu, dan barang untuk mencari keduanya juga harus dengan ilmu". Dengan demikian, tugas dan fungsi pendidikan adalah mengarhkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada seseorang seoptimal mungkin sehingga ia berkembang menjadi seorang muslim yang baik. (b) Peranan pendidikan atau pengarah perkembanagan. Potensi manusia yang dibawah sejak dari lahir itu bukan hanya bias dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga hanya bisa berkembang secara terarah bila dengan bantuan orang lain atau pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik mengarahkan segala potensi subyek didik seoptimal mungkin agar ia dapat memikul amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sesuai dengan profil manusia Muslim yang baik. (c) Profil manusia Muslim. Profil dasar seorang Muslim yang baik adalah ketaqwaan kepada Allah. Maka, perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada pembentukan ketaqwaan. (d) Metodologi pendidikan. Metodologi diartikan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya proses belajar-mengajar. Pandangan bahwa seseorang dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang secara aktif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses belajar-mengajar harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif (student active learning). Jadi, pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa "potensi bawaan" seperti potensi "keimanan", potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, potensi fisik. Dengan potensi ini manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampu menjadi khalifah dan mengabdi kepada Allah. Berdasarkan uraian di atas, pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits sangat luas, meliputi pengembangan semua potensi bawaan manusia yang rahmat Allah. Potensi-potensi itu harus dikembangkan menjadi kenyataan berupa keimanan dan akhlak serta kemampuan beramal dengan menguasai ilmu dan keterampilan atau keahlian tertentu sehingga mampu memikul amanat dan tanggung jawab sebagai seorang khalifat dan Muslim yang bertaqwa
B. Hubungan Pendidikan Spiritual dengan Ritual Zilir

1 komentar:

  1. ada satu pendapat,,, ada yang salah pada pola pendidikan di Indonesia, 95 % pelajar hanya mampu menghafal, dan hanya 5 % saja yag mampu menalar... terus dimana salahnya? hanya pada siswa kah? sistem kah? atau tak terdeeksi?

    BalasHapus