Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Oktober 2010

MELIHAT POTRET PENDIDIKAN DI INDONESIA

MELIHAT POTRET PENDIDIKAN DI INDONESIA
(Studi Kritis Peran Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia)
Oleh: Mahsun Mahfudz


A. Pendahuluan

Suatu kenyataan, masyarakat terlanjur memandang Perguruan Tinggi sebagai kawah candradimuka para intelektual "murni". Di dalamnya dihuni para mahasiswa yang memiliki keberpihakan kepada keadilan, kebenaran, penegakan hak-hak civil society belum memiliki interest kekuasaan, kepentingan pribadi, apalagi kepentingan politik. Jika pandangan ini benar, maka sesungguhnya amanat Tri Dharma Perguruan tinggi, yang meliputi bidang keilmuan (pendidikan dan pembelajaran), penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, akan mudah dilaksanakan.
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertinggi di Indonesia, PTAI (PTAIN dan PTAIS) menjadi satu harapan terbaik bagi masyarakat yang ingin mendalami kajian keislaman, bahkan biasa dikatakan sebagai the best offer you can get. Oleh karenanya, dalam bidang keilmuan, PTAI diharapkan menjadi tempat bermuaranya berbagai pandangan, pemikiran, dan pendekatan studi Islam. Sedangkan dalam bidang pengabdian kepada masyarakat, diharapkan Perguruan Tinggi dapat mewujudkan peran sosialnya kepada masyarakat luas. Bidang ini dimaksudkan agar Perguruan Tinggi tidak menjadi tempat bermuaranya para elit terpelajar, tetapi menjadi lembaga pencari dan pemberi solusi atau way out terhadap problem-problem sosial (social problem solver). Dengan demikian mahasiswa sebagai salah satu asetnya diharapkan menjadi generasi intelektual, agen perubahan (agent of change), dan mempunyai kepedulian sosial (sense of social crisys). Namun hasil yang ideal itu nampaknya hanyalah sebuah harapan yang jauh dari kenyataan ibarat api jauh dari panggangnya.
Persoalannya adalah pertama, kurikulum yang masih bersifat eklusif, dan sarat muatan. Kedua, corak dan kecenderungan mahasiswa yang, menurut Kuntowijoyo, terbagi menjadi dua yaitu mahasiswa aktifis sosial dan mahasiswa profesionalis-pragmatis. Dari sana muncul pertanyaan akademiknya adalah mengapa pendidikan di Indonesia tidak dapat memajukan bangsa?. Apa saja faktor yang mempengaruhi?. Makalah sederhana ini mencoba menjawab kegelisahan akademik tersebut dengan mengambil sampel kasus pendidikan tinggi di Indonesia. Asumsinya adalah pendidikan tinggi sebagai pendidikan orang dewasa dirasa cukup untuk menjelaskan gagal atau tidaknya sebuah pendidikan di Indonesia.

B. Pendidikan Sarat Beban
Pendidikan adalah usaha sadar dan direncanakan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Dalam pelaksanaannya sering kali dihadapkan problem-problem sistemik pembelajaran. Beberapa diantaranya adalah sistem kurikulum pendidikan yang sarat dengan muatan (materi pembelajaran) dan dalam kasus tertentu adalah problem manajemen yang kliru.
Problem-problem tersebut muncul akibat kesalahan mendasar pada tataran paradigma dalam memahami filosofi pendidikan dan ilmu. Begitu pula tata kelola dan manajemen yang tidak tepat juga memberikan andil yang signifikan dalam memunculkan problem sistemik tersebut. Akibatnya muncul kesenjangan antara harapan yang dicita-citakan dalam Undang-Undang Sisdiknas dan kenyataan yang ada. Pertanyaannya adalah mengapa hal itu harus terjadi pada dunia pendidikan di Indonesia?. Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita melihat filosofi ilmu dan moral yang hendak dicapai oleh sebuah proses pendidikan.
Secara ontologi ilmu selalu berusaha menemukan kebenaran dan menghindar dari kesalahan. Benar dan salah diukur dengan logika. Oleh karenanya pada hakikatnya berpikir sebagai upaya mendapatkan ilmu itu bebas nilai. Oleh karenanya ilmu menjadi bebas nilai. Mengapa, karena ketika ilmu dipasung dengan nilai-nilai tertentu, maka sesungguhnya itu merupakan awal ketakberdayaan manusia. Ketika manusia tak berdaya, maka pada saat yang bersamaan kebudayaan akan punah. Begitu pula, ketika dunia ini kosong kebudayaan, maka sudah tidak perlu lagi apa yang di sebut sistem nilai-budaya (cultural value system) .
Tetapi pada ranah aksiologi, ketika ilmu telah melampaui batas kesantunannya yang secara faktual telah dipergunakan secara destruktif bahkan akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri (misalnya rekayasa genetika manusia dan teknik perubahan sosial), maka sudah saatnya ilmu harus dibatasai dengan nilai yakni secara moral ilmu harus ditujukan untuk kebaikan (al-maslahah) dan kesejahteraan manusia. Dengan demikian aplikasi pendidikan sebagai proses epistemologi untuk mendapatkan ilmu, secara operasional-manajerial harus diarahkan pada pencapaian kecakapan dalam tiga ranah utama yaitu ranah kognitif (akal-pikir), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan) secara seimbang dan memadai. Jika tiga ranah tersebut telah tergarap secara baik dengan manajemen yang tepat maka kiranya tidak mustahil sumberdaya manusia Indonesia menjadi berkualitas tidak saja pada tataran berteori tetapi terampil dan mempunyai moral yang baik.
C. Akibat dan Solusi
Cara pandang dan manajemen pendidikan (tidak terkecuali pendidikan Islam) yang tidak tepat mengakibatkan pendidikan tidak menjadikan cerdas secara intelektual, sosial, emosional dan spiritual secara seimbang. Kondisi seperti ini pada akhirnya berdampak ketidakmampuan pendidikan tersebut untuk menjadi sarana bagi manusia mencapai kesejahteraannya. Pendidikan tidak dapat menciptakan harmonisasi kehidupan, dan kesejahteraan social tetapi hanya menciptakan individu-individu yang egois, elitis, dan tidak mempunyai kepekaan sosial
Ada satu kritik yang cerdas dari Mastuhu, bahwa pendidikan Islam dewasa ini masih berkutat pada kerangka pendidikan Islam dengan nalar Islami klasik, belum berkutat pada nalar Islami kontemporer. Nalar Islami kontemporer yang dimaksud adalah memahami Islam tidak lagi pada tataran konsep (teoritis-normatif) tetapi lebih melihat kepada kenyataan pada ranah sosial dengan mengedepankan metode empiris-historis. Kecerdasan dan kearifan bersumber dari daya kritis dan kesadaran atas nilai diri dan sosial, sehingga tumbuh kepedulian pada sesama.
Susah memang, untuk memproduk mahasiwa menjadi sarjana yang ideal dalam arti tersebut di atas, karena pada kenyataannya kurikulum di Perguruan Tinggi masih berkutat (setidaknya masih dominan) pada penggarapan ranah kognitif yang sarat muatan, belum (setidaknya masih minim) pada ranah afektif dan psikomotorik. Sementara kehidupan di luar kampus sangat menunggu peran aktif para mahasiswa dan lulusan Perguruan Tinggi, akibatnya mahasiswa dihadapkan delima pada aktualisasi diri. Satu sisi mereka harus mampu menyelesaikan beban kuliah yang sangat padat, di sisi lain mereka harus mampu membaca dan merespon dunia masyarakat di luar kampus. Akibatnya mahasiswa memilih kecenderungannya masing-masing.
Bagi mahasiswa yang memilih corak profesional-pragmatis, akan memilih aktif kuliah di kelas dengan harapan cepat lulus, IP bagus, "cepat mendapat pekerjaan", proses belajar yang diikuti hanya dipahami sebagai transfer of knowledge. Mahasiswa dengan corak seperti ini akan gagap ketika menghadapi kenyataan sosial masyarakatnya, bahkan kurang peka terhadap keinginan masyarakat secara sosial. Kondisi ini setidaknya dapat dilihat ketika mereka mengambil mata kuliah Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai mata kuliah praktis-aplikatif. Mereka sama sekali (setidaknya pasif) tidak mempunyai ide kreatif dalam penyusunan maupun pelaksanaan program-progaram KKN di kelompoknya. Jika dalam lingkup kecil dan bersifat latihan saja mereka gagap, apa jadinya ketika mereka telah menjadi sarjana. Jelas mereka tak akan mampu menggunakan ilmunya untuk mensejahterakan dirinya apalagi mensejahterakan orang lain.
Sedangkan bagi mahasiswa yang memilih corak aktivis sosial, mereka terlibat aktif dalam kegiatan secara intens yang bersifat extrakurikuler di luar aktivitas akademik intra kampus (kuliah). Mahasiswa dengan corak seperti ini lebih peka dan peduli terhadap perubahan dan tuntutan masyarakatnya, sehingga salah satu mainstream wacana dan kegiatannya adalah pada upaya pemberdayaan masyarakat, dengan spirit penegakan keadilan, anti diskriminasi dan penegakan hak-hak civil society. Efek negatifnya mereka lama lulusnya, IP pas-pasan, biaya kuliah lebih banyak. Setelah menjadi sarjana biasanya mereka lebih memilih beraktivitas di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), karena tidak harus membutuhkan IP tinggi, tetapi butuh keterampilan, yang dapat diperoleh di luar kampus. Salah satu cara untuk itu adalah terjun langsung berbaur dengan masyarakat untuk melihat realita sehingga dengan demikian seorang mahasiswa akan terstimulasi untuk berkreasi dan berinovasi dan sekaligus mendapat pengetahuan keterampilan. Lagi-lagi sarjana dengan corak seperti ini belum juga bisa diharapkan dapat mensejahterakan secara social.
Solusinya adalah pertama, menyederhanakan kurikulum dengan memberikan muatan materi ilmu-ilmu pokok saja (ilmu-lmu bantu diposisikan sebagai kokurikuler atau ekstra kurikuler). Kedua, memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi peserta didik untuk beraktualisasi disamping melakukan internalisasi ilmu yang sedang mereka pelajari. Ketiga, keseriusan pemerintah dan political will dalam menangani pendidikan dengan memberikan kebijakan yang berpihak pada lembaga pendidikan, tenaga pengajar, dan peserta didik. Keempat, membuat standar mutu pendidikan yang jelas, terukur, terjangkau, dan tidak membebani.

















DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Mamduh M., Manajemen, Yogyakarta: Unit penerbitan dan Percetakan Akademi manajemen Perusahaan YKPN, 1997.

Jabali, Fuad dan Jamhari (peny.), IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 2002.

Kuncaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Cet. XIX, Jakarta: Djambatan, 2002.

Mahfud, Mahsun, "Tri Dharma Perguruan Tinggi, Sebuah Upaya Membumikan Lembaga pendidikan Tinggi", Makalah, disampaikan pada acara Studi Pengenalan Kampus di STAI An-Nawawi Purworejo tanggal 28 Agustus 2002.

-------, "Hakikat Kebebasan Berpikir (Mengintip Ruang Bertemu dan Ruang Berpisah)" dalam Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol. 6, Nomor 1, Januari – Juni 2007.

Mastuhu, "Tradis Penelitian Agama: Dari Paradigma Normatif ke Arah Empirisisme", dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan antar Disiplin Ilmu, Cet. I, Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998.

-------,"Pendidikan Islam di Indonesia Masih Berkutat pada Nalar Islami Klasik", dalam Jurnal Taswirul Afkar, Edisi No. II/2001.

Pidarta, Made, Manajemen Pendidikan Indonesia, Cet. II, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, cet. XVII, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.

Undang-undang No. 2o Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Penjelasannya, Yogyakarta: Media wacana Press, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar