Cari Blog Ini

Selasa, 12 Oktober 2010

REVITALISASI PERAN USHUL FIQH DALAM TRADISI SANTRI

Oleh: Mahsun Mahfud

A. Pendahuluan
Ajaran dan semangat Islam akan selalu bersifat universal (melintasi batas-batas zaman, ras, dan agama), rasional (akal dan hati nurani manusia sebagai partner dialog), dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri), tetapi respon historis manusia dimana tantangan zaman yang mereka hadapi sangat berbeda dan bervariasi. Oleh karena itu secara otomatis akan menimbulkan corak dan pemahaman yang berbeda pula. Dalam konteks ini, ijtihād merupakan sesuatu yang tak pernah ditutup tetapi harus selalu digelorakan agar persoalan-persoalan seputar hukum fikih senantiasa dapat ditemukan jawabannya. Dengan demikian tidak ada kata ”mauquf” dalam pengkajian jawaban atas masalah-masalah baik yang bersifat waqi’iyyah, maudhu’iyyah, maupun qanuniyyah.
Dalam kontek menggelorakan ijtihad, Ilmu Usul Fiqh merupakan perangkat metodologi baku yang telah dibuktikan perannya oleh para pemikir Islam semisal Imam mazhab dalam menggali hukum Islam dan dalam bidang yang lain, dari sumber aslinya (al-Qur’an dan as-Sunnah). Namun dewasa ini fiqh Islam dianggap mandul karena peran kerangka teoritik ilmu Usūl al-Fiqh dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer. Oleh karenanya, kiranya cukup alasan jika muncul banyak tawaran metodologi baru dari para pakar hukum Islam kontemporer dalam usaha menggali hukum Islam dari sumber aslinya untuk disesuaikan dengan dinamika kemajuan zaman.
Kenyataan ini tidak bisa ditolak karena fenomena keangkuhan modernitas dan industrialisasi global telah menghegemoni seluruh lini kehidupan anak manusia sehingga memicu dinamika pemikiran Islam kontemporer dengan segala perangkat-perangkatnya termasuk metodologi Usūl al-Fiqh dan Qawāid al-Fiqhiyyah. Hal ini merupakan pekerjaan besar yang harus dilakukan dalam rangka membangun cita diri Islam (self image of Islam) di tengah kehidupan modern yang senantiasa berubah dan berkembang.
Kaum santri yang diharapkan dapat memberdayakan metodologi Usūl al-Fiqh tidak saja pada ranah teori tetapi juga pada ranah praktek, ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan harapan tersebut. Pertanyaannya adalah mengapa fenomena itu terjadi, padahal boleh dikata sebagian besar -untuk tidak mengatakan semua- pesantren mengajarkan ushul fiqh bahkan sebagai kurikulum inti?. Makalah ini mencoba membincang revitalisasi peran metodologi Usūl al-Fiqh di kalangan kaum santri.

B. Ber-Ushul Fiqh: Tradisi Akademik Setengah Hati
Sebagai lembaga yang merawat tradisi sunni, pesantren melalui para kyainya mengajarkan kitab kuning yang ditulis para ulama sunni sekitar 800-an tahun yang lalu kepada para santrinya. Berdasarkan bukti-bukti historis yang ada, bisa dikatakan bahwa kitab kuning (termasuk kitab ushul fiqh dan qawaidul fiqhiyyah) di kalangan duni pesantren sesungguhnya telah menjadi text book, refrence, dan kurikulum permanen dalam sistem pendidikan pesantren dimulai dari abad ke-16. Kondisi seperti ini nampaknya menggairahkan jika dalam pembelajarannya betul-betul diarahkan kepada sebuah tujuan tercapainya kompetensi santri dalam melakukan istinbatul ahkam atau paling tidak diarahkan kepada tercapainya kompetensi memahami hasil ijtihad para fukaha dari sisi metodologinya. Artinya pembelajaran ushul fiqh akan bermakna jika didukung dengan praktikum dalam memecahkan persoalan-persoalan yang muncul di tengah masyarakat.
Budaya berfikih secara tektualis kaum santri nampaknya sengaja dipelihara melalui kurikulum yang diajarkan di pesantren dalam rentang waktu tanpa batas dan pada saat mereka berapologi bahwa upaya tersebut sebagai bentuk usaha nyata menjauhkan diri dari kesalahan. Akibatnya kalaupun prilaku istinbatul ahkam masih dilakukan oleh kaum pesantren tetapi paling banter hanya sebatas memberlakukan (tathbiq) nas-nas fuqaha secara dinamis dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Istinbat semacam ini dipilih karena dirasa libih praktis dan dapat dilakukan oleh semua kyai maupun santri yang telah mempunyai kompetensi dalam pembacaan dan pemahaman terhadap kitab-kitab kuning di pesantren.
Akibat prilaku istrinbat tersebut masyarakat pesantren (kyai dan sdantri) sering kali gagap ketika menghadapi persoalan-persoalan hukum yang relative baru dan tidak ditemukan rujukan tekstualnya dalam kitab-kitab standar (al-kutub al-mu’tabarah). Pertanyaannya adalahmengapa masyarakat pesantren lebih mengutamakan pendekatan tektual ketimbang kontekstual dengan dengan pertangkat metodologi keilmuan ushul fiqh dan qawaidul fiqhiyyah? Betulkah hal itu karena faktor keterbatasan intelektual para kyai dan santri, atau hanya karena faktor mencari “yang praktisnya” saja?. Sementara banyak kyai yang oleh masyarakat luas dimaklumkan sebagai tokoh yang mempunyai kepakaran dan kemampuan berpikir dalam persoalan-persoalan keagamaan dengan sebutan ”al-’Alim al-’Allamah”. Penulis menduga jawabnya adalah karena adanya problem epistemologi dalam memahami dan memposisikan teks fikih dalam lapangan pemikiran dalam hukum Islam.
Akibatnya materi ushul fiqh dan qawaidul fiqhiyyah tetap dipelajari namun hanya sebatas “nguri-uri” (merawat) tradisi para ulama pendahulu. Jika pernyataan ini dapat disepakati, tidak salah jika dikatakan bahwa pembelajaran meteri-materi tersebut hanyalah sebatas sebuah upaya para kyai dan ustaz bernostalgia dan membagi kenangan tersebut kepada para santri. Inilah yang saya maksudkan berusul fiqh setengah hati; dipelajari dan dipahami tetapi enggan mengamalkan. Pelajaran ushul fikih pada akhirnya hanya sebagai rutinitas, kontinuitas tradisi, bahkan ritualitas akademik masyarakat pesantren belaka.

C. Santri, Harus Bagaimana?
Membincang peran santri dalam konteks pengembangan intelektual dan keilmuan keislaman sesungguhnya sangat signifikan. Signifikansi peran tersebut akan menjadi sebuah kenyataan kalau santri mau memberdayakan kemampuan intelektualnya, mengekploitasi nalar pikirnya untuk pengembangan pemikiran dalam hukum Islam dengan menggunakan perangkat metodologi ushul fiqh dan qawaidul fiqhiyyah.
Problemnya adalah sering kali santri yang kritis visioner pada saat tertentu mendapatkan tuduhan yang kurang mengenakkan (setidakknya memgganggu gairah berkontemplasi intelektual). Celakanya tuduhan tersebut muncul dari kaum santri tua yang kadang-kadang justru guru dan kyainya sendiri.
Sikap tersebut jelas tidak sesuai dengan tradisi intelektual dan social para imam mazhab, dimana mereka selalu menghormati perbedapaan pendapat bahkan sanggahan walaupun dilakukan oleh seorang murid kepada guru metodologisnya. Ambil Contoh imam Juwaini, Imam Ghazali, memandang al-maslahah sangat penting sebagai pertimbangan dalam merumuskan hukum Islam; suatu konsep yang sangat ditentang Assyafi’I selaku guru metodologis mereka.
Kiranya fakta sejarah ini cukup bagi para santri sebagai rujukan jika ingin melakukan revitalisasi peran ushul fiqh. Artinya ketika seorang santri berbeda pendapat dengan kyai bahkan guru ngajinya sekalipun dalam bidang fiqh maka sepanjang perbedaan tersebut argumentative dengan melibatkan aparatur-aparatur metodologi penggalian hukum Islam yang benar, maka harus dikatakan sah-sah saja. Syarat yang harus dipenuhi adalah adanya kemampuan intelektual yang memadahi, memiliki militansi intelektual (keberanian) menyampaikan pendapat yang berbeda dengan segala resikonya, dan kekuatan kultural alamiah kaum santri (dalam istilah jawa harus terpenuhi secara memadahi dalam segi bibit, bebet, dan bobot).
Dengan demikian tidak ada alasan seorang santri terkungkung oleh sikap tawadlu’ yang salah arah dan bertentangan dengan semangat keilmuan yang bersifat egaliter. Sebaliknya seorang guru, Kyai, ustadz atau apapun namanya sudah bukan waktunya lagi bersikap feodalistik tertutup yang mengakibatkan terpasungsnya kreatifitas santri, siswa, murid dan sebagainya dalam mengembangkan kreatifitas dan kekritisan mereka. Jika ini yang terjadi maka produk-produk pemikiran masa lalu (salah satunya adalah fiqh dan usul fiqh) akan semakin tampak dinamisnya. Santri selaku penjaga kelestarian khazanah-khazanah keislaman semakin menunjukkan eksistensinya dalam rangka menjalankan amanat al-muḥāfaẓatu ’ala al-qadīm al-ṣāliḥ wa al-akhżu bi al-jadīd al-aṣlaḥ

1 komentar: